Vee mengguyur seluruh tubuhnya di bawah pancuran air shower. Walaupun hari sudah menjelang larut malam, tapi Vee seolah tidak memperdulikan perkataan orang yang mengatakan tidak baik jika mandi malam hari.
Pikiran dan otak Vee benar-benar berada di titik terburuk. Sejak ia menerima informasi dari Zevano, bahwa paket yang ia terima kemarin berasal dari alamat pantinya, hati Vee seolah menolak mempercayai hal tersebut.
Walaupun tidak ada kenangan yang tertinggal di hati Vee, selain dari pembulian yang kerap ia terima. Akan tetapi, sosok ibu Sri yang selalu membelanya, tidak mungkin melakukan hal keji seperti meneror dirinya dengan cara mengirimkan foto Almira.
Memang selain anggota geng Danger, hanya ibu Sri-lah yang pernah bertemu dan melihat langsung sosok Almira tapi tidak mungkin sosok bak malaikat yang selalu membela Vee bisa seperti itu.
***
Pagi harinya, Vee memilih untuk tidak masuk sekolah. Ia merasa penat di bagian kepalanya. Ia melihat Anggra yang masih berada di markas.
"Lo ga sekolah,Vee?" tanya Anggra saat melihat Vee menghampiri dirinya yang sedang membaca pesan di dalam kotak masuknya.
Vee menggeleng. "Lo sendiri?" Vee balik bertanya pada Anggra.
"Ada urusan," jawab Anggra singkat. kemudian Vee beranjak menjauh dari posisi Anggra saat ini. Ia menuju ke sebuah ruangan yang biasa dipakai anggota Danger untuk menyelesaikan pekerjaan mereka, ataupun memantau aksi dari salah satu anggota lewat layar monitor.
Di dalam ruangan dengan ukuran tidak begitu luas dan diterangi oleh pencahayaan yang minim , terlihat Vee yang tengah menatap serius ke arah layar laptop di depannya. Ia nampak sedang mengetik sesuatu pada mesin pencarian di Internet.
Wajahnya sangat datar, tidak ada raut ekspresi apapun di sana. Vee benar-benar memperhatikan seluruh isi dari artikel yang ia baca, matanya memicing tajam tiap kali membaca sesuatu yang menurutnya menarik. Tidak lupa, ia juga mencatat beberapa point penting yang bisa ia jadikan sebagai bahan referensi dalam mengusut kematian ayahnya.
Terlalu serius dengan dunianya, sampai-sampai Vee tidak sadar kalau pintu ruangan dibuka oleh Anggra.
"Vee ... sedang apa lo?" Anggra mendekati Vee dan melihat apa yang sedang sahabatnya ini kerjakan.
Awalnya Anggra masuk ke dalam ruangan itu untuk mengerjakan tugas yang baru saja ia terima dari Paman Aren. Tugasnya adalah untuk mengawasi salah seorang target yang nantinya akan dieksekusi oleh Vee.
Akan tetapi, ia justru melihat Vee yang tengah berkutik serius di depan laptopnya dengan mengenakan kaca-mata baca yang bertengger di tulang hidung mancung milik pria itu.
Vee mendengar suara Anggra, tapi dia tidak menghiraukannya sama sekali. Vee tetap serius melihat beberapa artikel berita mengenai kematian seorang asisten profesor yang bernama William Dirgantara, ayah Vee.
Pada akhirnya, Anggra ikut juga memperhatikan apa yang saat ini tengah diamati oleh Vee, tapi matanya justru melihat sebuah lembar kertas usang yang bertuliskan AKTA KELAHIRAN.
"Itu akte lahir lo?" tanya Anggra. Vee tidak menjawab, ia hanya menganggukan kepalanya sekali.
"William Dirgantara itu nama ayah lo?." Anggra kembali bertanya tapi dengan ekspresi wajah yang nampak berpikir keras. Ia lalu melihat sebuah foto suami-istri yang letaknya tidak jauh dari Akta kelahiran Vee, lalu mengambilnya. Anggra memperhatikan foto kedua orang itu dengan kening yang berkerut.
"Ini orang-tua lo?" tanya Anggra untuk memastikan.
Vee mengangkat wajahnya dan menoleh menatap Anggra yang berdiri di sebelahnya, lalu mengangguk memberi kode kalau benar yang di foto itu adalah orang-tuanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
VEE : THE ASSASSIN (END)
Romansa"Kalau aku tidak bisa memilikimu di dunia nyataku, dapatkah aku memilikimu di dunia mimpiku?" "Kenapa harus kamu anak dari pembunuh ayahku." "Apa kamu mau menghabiskan sisa hidupmu bersama dengan anak dari pembunuh ayahmu sendiri?" Mata itu menatap...