"Tawamu laksana Oasis di dalam gurun pasir buatanku, tapi kenapa hadirmu justru sebuah fatamorgana untukku ?" (Vee Arkarna)
"Apa sesulit itu untuk Tuhan mengabulkan keinginanku merasakan cinta?" (Almira Rubi)
TAMAN KOTA
Suasana di taman kota pagi ini dipenuhi dengan atmosfer kehangatan dan tawa canda dari pengunjung taman yang terdiri dari, anak-anak bersama dengan orang tua mereka dan tidak sedikit sepasang muda mudi yang tengah menghabiskan waktu Jogging mereka dengan saling memadu kasih.
Kicauan suara burung Passeridae (burung gereja) yang beterbangan dari atas rindangnya pohon Akasia, terdengar merdu seperti lantunan simfoni lagu yang tercipta dari suara alam.
Hamparan rumput hijau dan bentangan langit biru menjadikan sebuah kolaborasi cantik dari pemandangan taman kota di akhir pekan yang sangat indah ini.
Seorang pria remaja dengan mengenakan setelan casual santai, duduk menyilangkan kedua kaki serta tangannya yang menggenggam sebotol minuman dingin. Matanya menatap lurus ke depan, memperhatikan kebahagiaan dari sebuah keluarga kecil di mana seorang balita yang tengah berlari berkejaran dengan kedua orang-tuanya, dengan tawa khas mungil yang menghiasi wajah lucunya.
"Mereka keliatan bahagia banget, ya?" Sebuah suara tiba-tiba terdengar dari arah belakang remaja pria itu, yang tak lain adalah Vee Arkarna.
Vee mengalihkan atensinya dan menatap tertegun sosok gadis cantik yang berdiri tepat di sampingnya. Matanya ia arahkan dari ujung rambut sampai kaki Almira. Sementara itu Almira menampilkan senyum gummy nya terlebih dulu ke arah Vee, baru ia mengambil posisi duduk di sebelah Vee.
Tidak lama setelah Almira duduk, Vee melirik ke arahnya dan berdecak sebal lalu melepas jaket yang ia kenakan untuk diberikan kepada Almira, "Kebiasaan banget sih."
Almira yang mulai paham dengan rekasi Vee, hanya tersenyum lebar dan memakai jaket yang Vee berikan.
Mata Almira beralih pada pemandangan yang tadi sempat menjadi pusat perhatian Vee, lalu sebuah senyum getir terbit dari wajah sendunya. Ia mengarahkan jari telunjuknya, menunjuk ke arah keluarga kecil yang bahagia itu, "Kalau nanti gue punya keluarga kecil seperti itu, gue akan selalu ajak mereka berakhir pekan dan bermain kaya gini." ucap Almira entah pada dirinya sendiri atau kepada Vee yang kini tengah menatapnya dengan sangat dalam.
"Lo mau punya anak berapa?" Vee melanjutkan pernyataan dari Almira tentang keluarga dan anak.
"Dua aja," jawab Almira.
"Kenapa?" Sepertinya Vee mulai tertarik dengan arah pembicaraan mereka.
"Dua aja udah cukup untuk merasakan bahagia, seperti sepasang suami istri yang hanya terdiri dari satu suami dan satu istri."
"Menurut lo, kebahagiaan itu apa?" Kali ini Vee berusaha bertanya hal yang sangat crusial baginya, sebagai orang yang belum mengerti apa arti dari kebahagiaan.
"Bahagia menurut gue adalah dari hati, kalau hati lo menerima semua hal yang terjadi di dalam hidup lo, maka kebahagiaan itu akan datang dengan sendirinya, tapi kalau lo menolak menerimanya, maka seumur hidup lo ga akan pernah merasakan kebahagiaan." Almira bertutur dengan sangat bijak.
"Dan lo sendiri ... bahagia?" Pertanyaan selanjutnya dari Vee membuat Almira kembali memaksakan senyum di wajahnya, ia mengangguk lalu tertunduk.
"Gue bahagia, karena gue yang menciptakannya sendiri." Almira menjawab dengan diplomatis, sangat kontras dengan hatinya yang menyimpan banyak luka dan sakit.
KAMU SEDANG MEMBACA
VEE : THE ASSASSIN (END)
Romance"Kalau aku tidak bisa memilikimu di dunia nyataku, dapatkah aku memilikimu di dunia mimpiku?" "Kenapa harus kamu anak dari pembunuh ayahku." "Apa kamu mau menghabiskan sisa hidupmu bersama dengan anak dari pembunuh ayahmu sendiri?" Mata itu menatap...