"Untung belum masuk dah"
Helaan nafas lega keluar dari Teresa saat baru saja motornya memasuki parkiran sekolah setelah mengebut dari rumah, kali ini ia akui dirinya salah sebab beberapa menit lagi waktunya lonceng berbunyi.
Dengan mengenakan seragam putih yang dibalut jaket hitam andalannya, tak lupa juga rambut yang terkuncir rapih dan earphone yang senantiasa bertengger di telinganya dengan lantunan musik kesukaannya. Mungkin orang orang akan melihat dirinya seperti gadis nakal dengan langkah angkuh berjalan ke arah kelasnya yang berada di lantai 2.
"Eh itu kak Resa yang cewek gak bener itu gak sih? Gila cantik cantik tapi serem banget"
"Asli, denger denger juga dia tuh suka ngebully tapi gak ada bukti juga sih"
"Pantes aja gak punya temen ..."
"Awas deh gak usah ngomongin dia, ntar dilabrak mampus lo"
"Fuck kak Resa liatin kita"
Bisikan bisikan itu seolah menjadi sambutan normal bagi dirinya, setiap pagi, setiap hari, setiap waktu ia melewati orang orang. Ada saja perkataan buruk tanpa bukti yang terus merujuk pada dirinya. 'Muak', satu kata yang mengungkapkan semua rasa yang ia punya sekarang. Seburuk itu kah dirinya?
Ia menghentikan langkahnya tepat di depan segerombolan siswi kelas 10 tadi, tangannya mengepal erat. Jika sekali dua kali mungkin bisa ia maklumi, tapi kekesalannya hari ini sudah di puncak.
"Maksud lo apa ngomongin gue di belakang? Lo kira gue bocah idiot yang ga denger omongan lo pada? Sini ngomong depan gue sekalian" ucapnya dengan suara yang di tekan dan cukup keras, cukup membuat banyak pasang mata menoleh ke arahnya.
Siswi siswi kelas 10 itu bergerak gusar, "Apaan sih, kak? Geer amat pengen diomongin. Orang kita gak ngomongin lo kok"
"Alah bacot, lo bertiga gue tandain"
Setelah mengucapkan itu, Teresa berjalan cepat menuju kelasnya dan meninggalkan mereka tanpa peduli. Moodnya kini sudah hancur lebur, dan tanpa izin air matanya meluruh seketika tanpa henti.
"Seburuk itukah gue?" Ucapan lirih itu terus keluar dari mulutnya sembari terus menyeka air matanya kasar dengan langkah gusar. Ia sudah lelah mendengar berisiknya orang orang.
Brak!
"BABI AH JANTUNG GUE LONCAT"
"AH MAMAH AYAM AYAM"
Teresa mendorong pintu kelasnya keras dan berlari cepat ke arah bangku miliknya lalu menenggelamkan kepalanya pada lipatan tangan di atas meja. Kegiatannya itu tak luput dari pasang mata semua warga kelas yang masih terkejut dan bingung.
Teresa tak mengindahkan umpatan keterkejutan mereka dan malah mengeluarkan tangisnya di sana.
"Heh kok nangis!" Seru Zea panik dan segera mendekati Teresa, disusul teman temannya yang lain.
"Sa? Kenapa?" Tanya Rigel ragu.
"Sa?" Ulangnya lagi dan malah membuat tangis Teresa semakin keras semakin panik Rigel dibuatnya.
"Gue seburuk itu, ya?"
Dengan nada bergetar karena tangis, Teresa menjawab lirih. Mereka semua diam menunggu Teresa melanjutkan ucapannya.
"Mereka, mereka ngomongin gue yang enggak enggak. Gue beneran gak kuat, anjing. Mereka cuma liat gue dari covernya aja, mereka cuma tau gue yang pemarah, gue yang suka main tangan, gue yang kasar dan semacamnya tanpa tau gue gimana. Kalian kalau terpaksa atau gak nyaman temenan sama gue, tolong bilang dari sekarang"
Zea kelimpungan dan merangkul cepat bahu Teresa, "Mereka gak cape apa ngomongin lo terus? Gedeg gue sialan. Kita ke UKS aja, Sa. Gue temenin sama Milan disana"
Teresa mengangguk lemah, wajahnya pucat pasi saat dituntun Milan dan Zea.
"Lo jangan ikut pelajaran aja sampe nanti, Sa"
Ucapan Sahara diangguki persetujuan oleh Rea, "Bener, nanti tugasnya gue kasih foto ke lo"
"Apa mau gue suruh orang rumah buat jemput lo?" tawar Zaidan yang dihadiahi gelengan oleh Teresa.
"Thanks ya, gak apa apa Dan. Nanti gue pulang sama cowok gue aja. Tolong absenin gue hari ini, Hir"
"Aman"
***
"Makasih udah jemput"
Sembari menutup pintu mobil, Teresa berujar lemas dan menyenderkan badannya pada sandaran kursi mobil.
Lelaki yang berada pada kursi setir itu memberikan senyuman dan memasangkan seatbelt lalu mengusap beberapa keringat dingin pada kening gadisnya.
"It's okay sayang, kamu gimana badannya? Masih lemes banget gak? Kita ke rumah sakit aja ya?"
Galih Arba Yazid, lelaki anak kuliahan semester 1 yang merangkap sebagai pacar Teresa pun segera melajukan mobilnya pada rumah sakit terdekat saat Teresa hanya menjawab dengan anggukan dan lirihan kecil.
Tangan kiri Galih terus mengusap tangan Teresa dalam genggamannya.
"Are you okay?"
Teresa terkekeh kecil lalu menggeleng, "Gak, Gal. Gue gak pernah baik baik aja setelah hari itu"
Galih menatap sendu Teresa. Ia semakin mengeratkan genggamannya pada tangan yang sedikit lebih kecil darinya itu.
"Maaf ya kamu udah ngerasain hari seberat kemarin, terimakasih juga udah kuat. Aku gak bisa ngasih kata kata mutiara gitu, tapi yang pasti aku bangga banget sama kamu. Keren nih pacarku"
Perkataan itu semakin membuat Teresa mengeluarkan kekehannya, juga tangisnya. Dalam hati ia berkata "Ketemu Galih itu salah satu alasan hidup gue tiap hari, makasih ya Gal"
Setelah pulang dari rumah sakit, Teresa kini diberi beberapa obat obatan karena katanya dia terlalu kelelahan juga karena beberapa tekanan. Entah lah, diagnosis dokter seperti itu.
"Kamu beneran mau langsung pulang?" tanya Galih dengan nada khawatir dan dibalas anggukan lemah oleh Teresa.
Galih melajukan mobilnya dalam kecepatan normal, lantunan lagu the 1975 mengiringi perjalanan mereka. Dengan pandangan yang fokus ke arah jalanan, lelaki dewasa itu menggenggam tangan perempuan yang lebih muda darinya, sesekali mengelus lembut dengan tangan yang satunya ia simpan di kendali stir mobil. Sedang Teresa hanya diam menatap bangunan bangunan yang terlewati cepat dibalik kaca mobil. Mulutnya diam namun pikirannya tidak, sedari tadi pemikiran abstrak nan berisik terus saja berdatangan masuk ke otaknya.
"Jangan keseringan mendem masalah sendiri, gunanya aku di sini apa kalau bukan jadi sandaran kamu?"
Ucapan Galih tak membuat Teresa bergeming sedikitpun, perempuan itu tetap memfokuskan diri melihat ke luar jendela dengan pandangan kosong.
"Res, aku sayang kamu. Tolong jangan kaya gini, ya? Aku ikut sakit, Res."
Perkataan Galih yang satu ini cukup membuat Teresa semakin berpikir 'Apa iya benar benar pantas jadi pasangan lelaki sebaik ini?'
***
New cast ;
Galih Arba Yazid, 20 y.o
Tbc.
KAMU SEDANG MEMBACA
TroubELEVEN [og]
Подростковая литература"Kelas tanpa solidaritas itu cuma ampas" --- Kilas balik akan mulainya pertemanan mereka dari awal MOS sampai menginjak kelas XI akan dimulai. Mulainya pertemanan, persahabatan, jalinan asmara, bah...