Hidup itu pilihan, memilih untuk kuliah juga sebuah pilihan. Tapi lahir di keluarga yang tidak lengkap dan kekurangan bukanlah sebuah pilihan, karena jika lahir adalah sebuah pilihan, maka sudah sepatutnya pula banyak keluarga miskin tidak bisa memiliki anak karena tidak banyak anak yang mau di lahirkan di keluarga kurang mampu. Bukan ingin merendahkan ekonomi orang lain, tapi bicara soal fakta, maka faktanya seperti itu, siapapun ingin lahir di keluarga yang serba ada atau bisa dikatakan mampu.
Salah satu jalan untuk memperbaiki kehidupan bukan bekerja lebih keras, tapi meningkatkan value dalam diri sendiri lebih besar, meningkatkan posisi diri sendiri satu tingkat sama dengan mereka yang berada jauh diatas sebelumnya. Itulah alasan kenapa Amara memilih untuk kuliah ketimbang bekerja, jika dia bekerja, sebagai orang dari golongan menengah kebawah atau mungkin bisa disebut miskin, dia hanya akan bekerja untuk makan dan bertahan hidup, selamanya akan seperti itu. Tapi jika dia meningkatkan kelayakan diri maka dia di masa depan bukan hanya bekerja untuk bertahan hidup, lain juga untuk memperbaiki statusnya.
Amara percaya bahwa dia bisa memperbaiki semuanya, memperbaiki kehidupannya, minimal dia tidak akan membiarkan keturunannya merasakan apa yang dia rasakan. Karena membayangkannya saja membuat Amara sakit, dia tidak akan memberikan hal buruk pada mereka yang menjadi tanggung jawabnya di dunia ini.
Mobil Reksaga sampai di basement fakultas hukum, masih melepaskan seat beltnya, Reksaga lebih dahulu keluar dari mobil membukakan pintu untuk Amara keluar. Amara hanya bisa mengulas senyuman kemudian keluar dari mobil Reksaga, sikap seperti ini yang membuat Amara jatuh hati, pertama kali seumur hidupnya.
"Kak Reksa nggak perlu bukain pintu juga." Ucap Amara karena tidak nyaman.
"Nggak masalah, cuma buka pintu doang." Jawab Reksaga sambil tersenyum.
Amara melihat sekelilingnya yang sepi, gadis itu kemudian melihat ke arah Reksaga seakan ingin mengatakan hal penting.
"Kenapa?." Tanya Reksaga penasaran dengan raut wajah Amara.
"Kak, jangan jemput atau antar ke rumah lagi ya."
"Memangnya kenapa? Lo nggak suka?."
"Bukan gitu, gue bersyukur karena kak Reksa bantuin gue banget. Tapi gue nggak enak sama orang-orang yang tinggal di sekitar rumah."
"Ohh gue paham kok, banyak orang yang mikir negatif tentang lo?."
"Bukan gitu, lagian gue udah biasa jadi perbincangan orang sejak dulu, tapi gue rasa hidup sendiri tanpa diperhatikan orang lain atau dianggap tidak ada lebih baik, gue nggak mau terlalu menonjol."
"Berarti gue tinggal nggak bikin lo menonjol doang kan?."
"Tapi kak Reksa itu nggak ngelakuin apa-apa juga udah kelihatan beda sendiri."
"Benarkah? Berarti sejak awal lo liat gue dong?."
"Kak, ini lagi serius."
"Gue juga serius Ra." Reksaga melihat ke arah Amara dengan tatapan hangatnya "Kenapa lo harus mikirin orang lain yang bahkan nggak kenal lo kayak gimana, kenapa lo dengerin omongan orang lain yang ga guna. Lo berhak bahagia sama kayak yang lain kan."
Amara terdiam, entah kenapa ucapan Reksaga membuatnya sangat tersentuh, dia berhak bahagia, ya dia berhak bahagia sama kayak yang lain. tapi rasanya dunia seakan tidak mengijinkan hal itu untuk seorang Amara.
"Gue bakal tetep deketin lo selama lo nggak ada cowok lain, jangan pikirin hal yang nggak bener tentang lo. Gue nggak bisa liat lo menderita terus Ra."
"Kenapa kak? Kenapa lo datengnya baru sekarang?."
Reksaga melihat Amara yang mendudukkan kepala, bahunya bergetar seakan gadis itu menahan tangisnya yang sudah pecah tapi tidak ingin dia tunjukkan.
Amara menghentikan langkahnya saat melihat seorang wanita paruh baya berpenampilan nyentrik dengan barang-barang bertuliskan merek mahal dengan keaslian yang sulit dibuktikan. Baru saja dia keluar dari lift bersama dengan Reksaga untuk berangkat ke kampus seperti biasanya, namun mendadak suasana hatinya berubah drastis, dia terkejut sekaligus bingung dengan keadaan sekarang. Hampir saja dia melupakan wanita itu, tapi kehadirannya yang mendadak membuat Amara terdiam mencari kalimat pertama untuk menyapanya.
Reksaga yang berada di belakang Amara juga menghentikan langkah saat gadis itu berhenti tiba-tiba, perhatian Reksaga yang semula berada di ponsel genggamnya menjadi ikut melihat wanita paruh baya yang membuat Amara berhenti. Untuk pertama kalinya Reksaga melihat wanita itu secara langsung, karena sebelumnya dia hanya tau melalui foto.
"Selamat pagi tante..." Ucap Reksaga sambil tersenyum dan menghampiri wanita paruh baya tersebut, bahkan menjabat tangannya seakan-akan mereka berdua sangat akrab.
"Kenapa ibu datang kesini?." Kalimat pertama yang keluar dari bibir Amara adalah kalimat yang sebenarnya tidak ingin Amara katakan, hanya saja dia berharap ibunya mengatakan merindukannya, seperti ibu yang merindukan putrinya.
"Ternyata benar, kamu nggak ada bedanya denganku." Jawaban Diandra membuat Amara melihatnya dengan tatapan dingin. "Aku kesini untuk meminta uang sebagai ibumu, bukannya kamu mengencani laki-laki kaya." Diandra melirik kearah Reksaga yang masih tersenyum padanya, walaupun wajah Reksaga tidak bisa di tebak tapi Reksaga tidak menyukai Diandra sedikitpun.
"Aku ingin bicara dengan ibu." Amara menarik tangan ibunya menjauh dari Reksaga, hanya mereka berdua berhadapan satu sama lain.
Amara memperhatikan wajah Diandra yang sekarang tidak lagi sama seperti terakhir kali dia lihat, wajah yang sangat diharapkan menatapnya dengan hangat seperti para ibu lain yang menatap putrinya itu sudah mulai menua walaupun tertutupi dengan make up, tapi umur tidak pernah bohong atas bentuk fisik seorang manusia.
"Ibu mau apa sebenarnya? Kenapa ibu datang secara tiba-tiba."
"Bukankah kamu sekarang punya pacar kaya, aku butuh uang, ayah tirimu habis kena PHK, aku butuh uang untuk biaya adik-adikmu."
"Kenapa datang ke aku? Memangnya ibu pernah menganggapku sebagai keluarga? Lagian bukan aku yang punya uang."
"Kamu kan bisa minta." Diandra melirik pakaian serta barang yang Amara kenakan "Udah kelihatan tuh semua ada harganya? 100 juta nggak akan bikin dia miskin."
"STOP!, tidakkah ibu datang menanyakan bagaimana kabarku? Apa aku sudah makan? Bagaimana hidupku? Banyak yang tidak ibu ketahui tentangku, kenapa datang-datang hanya meminta uang. Apa aku terlihat banyak uang sehingga bisa membuat ibu datang? Tapi setidaknya berikan kalimat yang membuatku luluh. Tapi ibu tidak sama sekali."
"Aku tidak ingin basa basi dan pura-pura baik denganmu, kalau kamu lupa, kamu lah yang membuat hidupku hancur dulu."
"Aku tidak bisa memberikan 100 juta, 10 juta. Kirimkan rekening ibu kepadaku, aku tidak pernah ganti nomor. Datanglah padaku, jangan datang ke siapapun yang aku kenal. Tolong, aku mohon..."
"Aku tunggu 90 juta selanjutnya."
Amara terdiam, setelah mengatakan itu, Diandra benar-benar berjalan meninggalkan Amara disana. Uang 10 juta adalah uang yang dihasilkan dulu, tabungan yang seharusnya digunakan setelah meninggalkan Reksaga, sekarang dia tidak punya apapun lagi setelah uang itu benar-benar dia kirimkan pada ibunya. Amara merasa bersalah, karena dia lahir di dunia sehingga hidup ibunya hancur, sejak kecil otaknya selalu tertanam bahwa kelahirannya tidak pernah diinginkan selama ini.
...
KAMU SEDANG MEMBACA
MILKSHAKE| Give Me More Your Life✓
Romance[END] Warning 21+ "Sayang... kamu kan tau kalau aku masih punya video kita." "Aku mohon jangan lagi." "Aku bisa sebar dan semuanya akan tahu bagaimana kamu. Bukannya lebih baik kamu mengikuti alur hidupmu. Tidak akan ada yang berubah Ra..." Amara Cr...