2

10.3K 128 2
                                    

Aku masih terus menunggu pesan dari Mas Nando. Bohong sekali kalau aku tidak merindukan kontolnya yang besar dan tebal itu. Padahal baru sekali aku merasakan kontol di mulutku dan aku langsung ketagihan. Efeknya memang agak menyeramkan. Setiap kali ada lelaki di sekitarku, aku langsung memperhatikan sekilas selangkangan mereka. Membayangkan apakah kontol mereka sebesar kontol Mas Nando dan apakah enak untuk dikenyot.

Aku pernah mencoba ngechat Mas Nando duluan tapi ternyata nomor whatsappnya tidak aktif. Dan ternyata nenekku jadi rajin membayar utang setelah aku cerita soal kedatangannya. Dan aku menyesal. Padahal kalau nenekku telat bayar lagi, aku bisa menikmati lagi kontol Mas Nando.

Kemudian waktu itu, di bulan Agustus, dua bulan setelah kejadian hari Jumat itu, aku pulang kemalaman setelah seharian kuliah dan mengerjakan tugas kelompok di rumah temanku. Karena GoPayku tinggal 10ribu, aku memutuskan turun sekilo dari rumah dan sisanya aku jalan kaki. Aku mengenakan earphone di telinga dan berjalan di trotoar. Musik memang menjadi teman terbaik.

Jantungku hampir copot ketika tiba-tiba ada yang menyentuh pundakku. Ternyata Mas Nando. Dia naik motor dan memakai jaket kulit.

"Halo, Mas," kataku ceria. Melihat matanya saja, satu-satunya fitur wajahnya yang tidak tertutupi oleh helm, membuat jantungku berdebar. Kontolku langsung ngaceng. "Darimana?"

"Dari sono," katanya. "Mau kemana lo? Pulang?"

"Iya, Mas."

"Gue anterin."

Aku mau sok sungkan menjawab tapi kemudian aku melirik ke arah selangkangannya. Memang kontolnya yang besar tidak bisa disembunyikan. Kontol Mas Nando terlihat menyembul di balik celana jeansnya. Aku mengangguk kemudian naik ke atas motornya.

Aku naik kemudian dia bilang, "Pegangan."

Karena aku tak mau terlihat terlalu bernafsu, aku pegangan di pinggiran motor. Dan motor pun melaju cepat.

Jantungku deg-degan. Apakah Mas Nando mau mengantarku pulang? Kalau iya berarti kekecewaan karena tidak bisa ngapa-ngapain juga. Di rumah ada nenek. Tidak mungkin tiba-tiba aku memasukkan Mas Nando ke dalam kamar.

Tiba-tiba aku kesal sendiri kenapa aku tidak punya uang dan kos sendiri dan bisa membawa Mas Nando ke kamarku dan menikmati kontolnya yang begitu menyegarkan untuk aku jilati sampai pagi.

Sibuk memikirkan tentang nasib dan kontol Mas Nando, aku tidak memperhatikan jalanan karena ternyata Mas Nando tidak mengantarkanku pulang. Rutenya berbeda. Harusnya tadi di belokan kami ke kiri. Tapi ini lurus. Aku tidak sempat bertanya karena percuma saja berkomunikasi di motor. Jadi aku diam saja.

Sampai akhirnya kami sampai di depan sebuah rumah yang masih batu bata.

"Turun," katanya.

Aku pun turun.

Mas Nando melepas helmnya dan memarkir motornya kemudian mengambil kuncinya.

"Masuk."

Aku mengikuti Mas Nando dari belakang. Rumah ini belum jadi karena semuanya belum beres. Masih ada semen dan lain-lain. Mas Nando membuka pintu kemudian aku masuk dan Mas Nando menguncinya.

"Rumah siapa ini, Mas?"

Aku mengekori Mas Nando yang mengajakku ke lantai dua. Di dalam rumah keadaannya lebih ancur. Dindingnya beberapa belum dipasang. Lantainya masih tanah. Lampu cuman ada satu jadi keadaannya temaram.

"Tempat aku kerja," katanya sambil terus jalan. "Aku kan kemarin jadi debt collector cuman bantuin opungku. Sebenernya sehari-harinya ya aku nguli."

"Oh gitu..." kataku. "Pantesan badannya bagus."

Petualangan Si BinalWhere stories live. Discover now