6

6.7K 88 1
                                    

Mas Nando masih belum nampak. Aku benar-benar penasaran kemana dia pergi. Walaupun aku bukan siapa-siapanya namun ternyata kehadirannya sungguh membuatku penasaran setengah mati. Aku sempat sok-sokan bertanya ke nenekku tentang Mas Nando tapi nenekku yang memang sudah sepuh malah tidak tahu mana Mas Nando.

Suatu hari datang debt collector lain ke rumah dan ketika aku bertanya soal Mas Nando dia hanya diam membisu. Dia tidak menjawab dan aku makin putus asa.

Suatu hari aku nekat untuk pergi ke rumah tempat dia bekerja dan orang-orang disana malah saling tatap. Salah satu lelaki yang menyebutkan dirinya sebagai Alek bilang, "Mau ngomong apa? Nanti tak sampein."

Aku bilang cuman pengen ketemu aja kemudian akhirnya aku pulang. Perasaanku tak enak. Jangan-jangan Mas Nando pulang kampung dan kawin? Aku jadi iri sama istrinya yang setiap harinya bisa menikmati kontolnya yang pejal dan besar.

***

Semenjak kejadian di lapangan, aku jarang bertemu Mas Yuli. Mungkin karena dia disibukkan dengan profesinya yang baru sebagai bapak. Anaknya perempuan. Dan aku lihat dia suka menjemur anaknya di depan rumahnya sambil tersenyum. Tentu saja aku kangen kontolnya tapi tidak mungkin aku mengganggunya.

Hari ini aku perlu mengirimkan dokumen. Walaupun di samping kampus ada cabang jasa pengiriman, aku memilih ke tempat Mas Yuli bekerja. Kali saja dia lagi kosong dan dia bisa mengentoti mulutku lagi. Sungguh, rasanya lama sekali aku tidak mencicipi kontol. Aku ingin menyusu kontol.

Sampai di tempat Mas Yuli bekerja, aku hanya menemukan seorang laki-laki bekerja. Umurnya mungkin menjelang 40-an. Perutnya agak sedikit buncit. Kulitnya kuning, matanya sipit. Di name tagnya tertulis nama Anton. Kumisnya tebal dan yang paling mencuri perhatianku adalah bulgenya. Bulgenya sangat besar. Lelaki ini duduk agak ngangkang sehingga mataku langsung ke arah selangkangannya.

"Ada yang bisa dibantu?" Tanyanya.

"Saya mau kirim dokumen, Pak," katanya.

"Oke," katanya.

Dia terus memasukkan alamat yang tertera di amplop sementara aku menatapi selangkangannya yang terlihat tebal. Orang ini sepertinya sadar bahwa aku sedang menatapi selangkangannya karena dia sengaja melebarkan kakinya dan malah sesekali mengelus selangkangannya. Tiap kali dia mengelus, aku berani bersumpah, tonjolannya semakin keras.

Aku tidak berani menatap wajahnya walaupun dia sesekali melirik ke arahku. Sejujurnya aku sangat sange dan bergairah melihatnya. Tapi aku tak mungkin mengambil kesimpulan bahwa laki-laki ini menggodaku. Bisa saja mungkin dia memang gatel. Dan semua ini hanya dalam kepalaku. Akhirnya aku membayar dan segera pergi.

Keesokan harinya saat malam hari ternyata nenek menyuruhku untuk mengirimkan dokumen ke kampung. Dia ingin mengirimkan fotokopi keluarga ke anaknya yang ada di Surabaya. Aku sebenarnya malas tapi aku tak mungkin menolak permintaan nenek. Aku pun pergi ke tempat Mas Yuli bekerja.

Dan begitu sampai di tempat Mas Yuli bekerja, ternyata Mas Yuli tidak ada. Sudah jam 10 dan tempatnya mau tutup.

Seorang laki-laki muda yang memakai helm bilang, "Udah mau tutup, Mas."

"Gak papa. Gue aja yang beresin. Lo pulang aja," kata laki-laki bernama Anton tersebut.

Laki-laki muda itu pergi, meninggalkanku sendirian dengan Anton.

"Makasih, Pak Anton," kataku. "Tapi sebenernya nggak buru-buru kok."

"Lho nggak papa. Wong saya juga nggak buru-buru pulang," katanya.

"Rumahnya dimana, Pak?"

"Di perumahan depan situ."

"Oh deket ya..."

Petualangan Si BinalWhere stories live. Discover now