14

5K 94 2
                                    

Mas Yuli tadinya mau mengentoti aku lagi tapi istrinya keburu datang. Jadinya aku terpaksa pulang. Tapi tidak apa-apa yang penting aku bisa merasakan entotan Mas Yuli.

Malam itu aku sange lagi. Susah memang ternyata menjadi homo yang sangean. Apalagi kalau jadi bottom sepertiku yang harus bergantung dengan kontol orang lain. Coli dan membayangkan orang lain sudah hambar rasanya. Aku butuh kontol.

Malam itu aku mencoba me-whatsapp Mas Nando. Kali saja dia mau mengentoti aku lagi.

Aku mengetik, "Lagi dimana, Mas?"

Balasannya menyedihkan. "Lagi di jalan menuju ke Bali. Pacar gue minta ketemuan."

Aku kemudian memberikan emoticon sedih.

Mas Nando kemudian membalas dengan, "Sabar. Kalo gue pulang gue bakalan entotin lo."

Kemudian Mas Nando mengirimkanku kontol ngaceng di dalam sebuah bis. Berani sekali Mas Nando membuka resleting celananya di tempat umum. Tubuhku jadi bergairah. Tadinya aku mau coli tapi tapi nanti rasanya kentang.

Aku kemudian punya ide. Mungkin Pak Anton masih di kantornya. Kalau saja aku kesana mungkin dia mau mengentotiku.

Aku pun menyiapkan satu dokumen bohongan sebagai properti kemudian berjalan ke jalan depan. Sesampainya disana aku patah hati karena yang menjaga bukan Pak Anton. Bukan juga Mas Yuli. Tapi orang lain. Aku berjalan dengan lunglai ke rumah. Terpaksa coli lagi.

Sedang asik-asiknya berjalan tiba-tiba ada yang menepuk pundakku. Aku kaget dan menoleh. Bambang, berdiri di belakangku dengan senyum lebar.

"Ansos banget lo, At," katanya.

"Eh lo, Bang."

"Mau kemana?" Tanyanya.

"Balik. Lo sendiri mau kemana?"

"Balik ke rumah."

"Gue boleh main nggak?" Tanyaku. "Sekalian silahturahmi. Kan udah lama nggak ke rumah lo," kataku.

Bambang kemudian berbisik, "Lo mau ngenyot kontol gue ya?"

Sebelum aku menjawab Bambang sudah menjawab, "Kebetulan gue emang udah seminggu nggak keluar."

Aku kemudian langsung naik ke atas motor Bambang dan pergi ke rumahnya. Di perjalanan Bambang bilang, "Lo nggak mau pegangan pinggang gue?"

"Nggak ah. Ntar ngaceng lagi lo."

"Alah, bukannya lo doyan," katanya sambil tertawa.

"Ya gak ditempat umum juga kali."

"Ah cemen lo."

"Emang lo pernah ngewe di tempat umum."

"Ya nggak juga sih," Bambang tertawa renyah. Aku memperhatikan dari spion Bambang sepertinya sudah lama tidak cukuran karena bulu-bulu halus di wajahnya mulai tumbuh dan entah kenapa aku melihatnya seperti seorang yang lebih dewasa dariku.

Kami sampai di rumah Bambang pukul setengah sembilan malam. Bapak Bampang, Om Naryo, masih duduk di ruang tamu. Ibu Bambang sudah meninggal sejak Bambang masih kecil. Om Naryo langsung sumringah melihatku datang. Sudah lama kami tidak berjumpa.

"Wah, ini Satria?"

"Iya, Om."

"Lama banget ya nggak main kesini."

"Iya, Om," kataku. Mata jelalatanku memperhatikan Om Naryo. Entah karena aku sekarang baru meletek atau emang aku tidak menyadarinya sebelumnya, Om Naryo terlihat sangat seksi. Dia memakai sarung berwarna hijau dan kaus kutang tipis warna putih. Walaupun usianya sudah menginjak kepala lima, badannya masih terlihat bugar. Perutnya memang buncit tapi entah kenapa itu justru menambah unsur keseksiannya. Membayangkan aku dientot oleh Om Naryo dan Bambang membuatku sange nggak karuan.

Petualangan Si BinalWhere stories live. Discover now