—🐾
Elena saat ini sedang pergi ke Alfamart untuk membeli beberapa camilan. Niatnya ingin meminta tolong kepada Elvano, tapi pemuda itu sedang merevisi skripsinya. Minta tolong Inka, entah sedang kemana gadis itu terakhir ia hanya mengabari kalau ia sedang bersama Altair. Jadilah, pilihan terakhir hanya dengan Arsen.
Arsen sendiri sebenarnya juga baru selesai bimbingan dan ketika Elena mengirimkan pesan bertanya apakah ia bisa menemaninya membeli camilan ke Alfamart, ia pun mengiyakannya. Kenapa harus ditemani? Kalau kata Elvano, Elena itu harus dipantau ketika belanja. Elena bisa saja menghabiskan sampai satu juta hanya untuk membeli camilan dan Elvano sering sakit kepala gara-gara itu.
Karena berbelanja ditemani oleh Arsen, Elena jadi sungkan untuk membeli macam-macam. Kalau dengan Inka, ia akan ditegur secara lembut dan masih bisa dinegosiasikan oleh Elena. Kalau dengan Elvano, Elena sering diomeli karena mengambil camilan aneh-aneh yang tentunya nanti takkan dimakan karena rasanya tak sesuai dengan minat Elena. Arsen sendiri dia hanya diam menatap Elena yang mulai memilih camilan. Kalau dengan Arsen, Elena merasa takut dan pasti takkan memilih camilan aneh-aneh.
“Elena, ya?”
Keduanya menoleh dan mendapati Sagara sedang tersenyum ke arah mereka. “Ngapain lo?” tanya Elena dengan ketus.
Sagara hanya tersenyum tipis dan mengangkat keranjang kuning miliknya yang terisi penuh dengan beberapa makanan ringan serta minuman botol, “beli camilan. Orang-orang di Kantor pada ngajakin nonton bola bareng di ruang rapat malam ini. Lo berdua ngapain?” jawab Sagara tak lupa dengan senyumannya.
Elena memutar bola matanya jengah, “urusannya sama lo apaan?!” Sagara tersenyum dan kemudian menunjuk keduanya, “kalian pacaran, ya? Kayaknya lo lebih sering sama Arsen sekarang, padahal dulu waktu kita pacaran lo sering sama Elvano,” ucap Sagara.
Elena tersinggung, “jadi maksud lo gue gatel sama mereka, iya?! Wah, mulut lo tuh, ya! Ngaca, setan!” bentak Elena. Ia bahkan mengabaikan tatapan pengunjung yang lain yang kini terarah ke mereka. “Belum juga seminggu lo putus sama si Valerie-Valerie itu, udah ada aja gandengan lo. Gue liat yang lo posting di Instagram juga beda sama yang bikin lo putus dari Valerie. Sekarang tau dong, mana yang gatel?” balas Elena.
Sagara tetap tersenyum, “wah, masih mantau sosial media gue, ya? Masih susah nih ngelupain gue?” ejek Sagara.
Elena memerah karena marah, “dijaga ya, setan! Mulut lo tuh minta ditamp—”
Arsen langsung menarik Elena pergi ke kasir. Elena tak melawan atau protes karena biarpun sedang emosi, ia tak ingin melawan Arsen. Takut dibentak dan ingatlah, bagi Elena, Arsen kalau marah itu menyeramkan.
“Totalnya 400ribu, Kak.” Kasir Alfamart langsung membungkus belanjaan Elena. Arsen langsung mengeluarkan uangnya ketika Elena akan membayar. Ia memberikan kasir itu uang pas dan langsung menarik belanjaan Elena serta Elena keluar dari sana.
—🐾
Setelah kejadian itu, Arsen mengajak Elena untuk nongkrong di sebuah kafe. Setidaknya untuk menenangkan pikiran Elena. Arsen sendiri hanya diam sambil bermain ponsel yang mana mengabaikan Elena yang masih misuh-misuh sendiri sambil meminum minumannya.
“Lho, Elena bukan?”
Keduanya menoleh dan mendapati teman sekelas Elena di salah satu mata kuliah sedang tersenyum ke arah mereka. “Gue Meira. Kita satu kelas di mata kuliahnya Pak Putra,” ucap orang itu.
Elena mengangguk, “oh. Kenapa?”
Orang itu, Meira melirik Arsen sejenak dan kemudian menatap Elena dengan tatapan menggoda, “gapapa. Gue ganggu kencan lo nih. Maaf, deh. Gue duluan, ya?”
Elena langsung menepuk keningnya, “sialan! Tambah bad mood gue!” gerutunya.
Elena menatap Arsen yang sama sekali tak terganggu, “lo enggak kesel gitu? Digosipin kayak gitu?” tanyanya ragu. Demi Tuhan, Elena juga berharap kalau Arsen merasa terganggu. Ia tak bisa membayangkan kalau sahabatnya itu dan dia berpacaran secara nyata.
Arsen menggeleng, “nanti juga ilang sendiri gosipnya.” Benar. Dulu saat awal pertemanan mereka, ada yang menyebarkan gosip kalau Arsen menjadi selingkuhan Inka yang saat itu sudah berpacaran dengan Altair. Inka mencoba meluruskan gosip itu dan Altair saat itu juga sering menatap Arsen dengan tatapan sinis, sedangkan Arsen sendiri hanya diam tak peduli. Terbukti, tak sampai dua minggu, gosip itu hilang.
“Lo enggak ada niatan nyari pacar gitu?” tanya Elena iseng. Arsen hanya menggeleng sebagai jawaban. “Kenapa?” tanya Elena.
Arsen langsung menatap Elena dan berkata, “memang apa yang bisa dipercaya sama anak broken home kayak gue? Cinta?”
Elena terdiam sejenak. Apa ini alasan Arsen enggak mau nyari pacar? Dia trauma sama pernikahan orang tuanya? Batin Elena.
“Kalo ada yang tulus suka dan cinta sama lo, gimana?” tanya Elena lagi.
Arsen mengangkat bahunya acuh. Elena yang mendapatkan jawaban seperti itu hanya bisa menarik napas panjang, “gue juga sekarang suka mikir. Memang cinta itu ada apa cuma ilusi? Mantan gue si Sagara yang kayak anjing gitu bikin gue enggak mau punya pacar lagi. Lo tau sendiri kalo gue udah suka sama orang, gue bakal bucin mati kayak gue ke Sagara dulu. Gue enggak mau dimanfaatin doang kayak dulu lagi. Kadang gue ngiri sama Inka. Dia enggak terlalu romantis sama Alta tapi mereka bisa enggak sanggup saling pisah gitu. Kalo si Vano sih, gue yakin dia kalo bisa enggak terlalu gila ke skripsinya, mungkin sekarang udah punya pacar. Kayaknya emang kita berdua enggak hoki sama hubungan percintaan, ya?” gerutu Elena.
Arsen hanya mengangguk mengiyakan. Elena kembali menarik napas panjang, “kalo udah lulus, lo mau kerja apa?” tanya Elena tiba-tiba.
“Apa aja.” Arsen menjawab. Elena mengerutkan keningnya heran, “kok gitu? Lo 'kan ngambil bisnis, harusnya lo lebih paham dong. Punya rencana nanti mau kerja apa,” ucap Elena.
“Lo sendiri?” tanya Arsen balik. Sedikit tidak biasa, karena biasanya Arsen tak banyak bicara, mungkin ia tahu suasana hati Elena sedang jelek jadi dia berusaha menghibur temannya itu. Elena tersenyum cerah, “designer! Gue pengen ngerancang baju, celana, gaun bahkan jas apapun itu. Gue suka banget apalagi ngeliatin baju-baju di pajang di toko-toko gede gitu. Rasanya tuh kayak lo diapresiasi sama dunia dengan karya lo,” ucapnya dengan penuh semangat.
“Tapi itu enggak berhubungan dengan jurusan kuliah lo?” tanya Arsen lagi. “Memang. Ngerancang baju tuh hobi gue. Gue suka ngeliat design baju-baju mewah. Ya, memang sih hobi tuh enggak bisa diandalin buat kerja, tapi ada beberapa orang yang beruntung karena lewat hobi, mereka bisa ngelakuin dua hal.” Elena tersenyum menatap Arsen, “ngelakuin apa yang mereka suka dan bonusnya dapet uang. Keren, ’kan?” ucap gadis itu lagi.
Arsen hanya diam tak menanggapi. Sejenak, ia teringat Dokter yang menjadi teman dekat Ibunya. Arsen dulu sangat menyukai alat musik, ia bahkan pernah membuat lagu untuk ulang tahun Ibunya saat ia baru masuk SMP. Kalau saja ia masih menggeluti hobinya itu, apakah ia akan sebersemangat Elena? Apakah ia akan mengambil musik sebagai pekerjaan nanti setelah ia lulus kuliah?
—🐾
Mini theater 🎭
Penulis : Jurusan kuliah sama hobi tuh enggak mesti sama.
Elvano : Betul banget!
Elena : Nah, apa gue bilang.
Penulis : Gue juga kuliah Bahasa Inggris tapi hobi malah bikin cerita begini. Ya, kadang juga gue suka kok belajar bahasa asing, masuk hobi juga enggak tuh?
Elvano : Bisa banyak bahasa tuh juga keren kok.
Penulis : Tumben lo manis ke gue. Mau nyogok minta dikasih jodoh di sini, ya?
Elvano : ತ_ʖತ
KAMU SEDANG MEMBACA
[END] Strike up a Friendship
Teen Fiction[ B E L U M R E V I S I ] Kata siapa sahabatan sama lawan jenis tuh sering baper? Jangankan mikirin buat naksir temen sendiri, mikirin masalah mereka aja kadang rasanya pengen lompat dari atas gedung tapi karena takut masuk neraka aja mereka masih e...