Part 33 : A Mother's Love

62 9 0
                                    

—🐾

Kalau ditanya, apakah Aletta merasa hancur, maka Aletta ingin mengiyakan pertanyaan tersebut. Hati perempuan mana yang tak hancur saat pernikahannya harus kandas karena masa lalu suaminya tak kunjung usai? Walaupun pernikahan mereka hanyalah sebuah perjodohan, Aletta berusaha semampunya untuk menjadi istri yang baik bagi Seno. Namun, takdirnya berkata lain. Seno yang masih mencintai wanitanya malah memilih mengkhianati pernikahan mereka.

Kalau saja Seno mengatakannya dari awal, mungkin Aletta akan menolak perjodohan itu dulunya, tapi sekarang menyesal pun tak ada gunanya. Lagipula dari pernikahan itukah, kini Aletta memiliki Arsen sebagai anak dan satu-satunya keluarga yang ia miliki setelah orang tuanya meninggal beberapa bulan setelah pernikahannya dengan Seno dulu.

Aletta yang terlarut dalam pikirannya pun tak menyadari kalau Arsen sudah pulang. Pemuda itu hanya menatap Ibunya yang melamun sambil mengaduk teh di cangkir kaca kesukaan wanita itu. Arsen melangkah mendekat dan menepuk pundak Ibunya hingga wanita itu tersentak kecil.

“Eh, Arsen udah pulang. Gimana tadi kuliahnya?” tanya Aletta. Arsen mengangkat bahunya acuh. Melihat putranya takkan menjawab pertanyaannya, Aletta langsung menarik pemuda itu untuk duduk di dekatnya.

“Arsen, Ibu mau tanya sesuatu boleh?” Arsen mengangguk. “Habis kuliah, Arsen mau ngapain?” tanya Aletta.

“Enggak tau.”

“Ikut Ibu mau?” tanya Aletta. Arsen menatap Aletta seolah menanyakan apa maksud Ibunya.

“Kita ... gimana kalo Ibu ngajuin pindah tugas? Kita pergi jauh dari sini. Cari suasana baru, Arsen mau ikut Ibu?” tanya Aletta lagi.

“Memang kenapa dengan kota ini?” tanya Arsen. Ia tahu Ibunya ingin menghindari Seno, Ayahnya Arsen.

“Kita cari suasana baru aja. Biar Arsen sama Ibu makin dekat,” ucap Aletta.

Arsen menggenggam tangan Ibunya, “bukan karena mantan suami Ibu?” tanya pemuda itu. Aletta terdiam. Arsen mengangguk paham, “Arsen bakal ikut kalo memang Ibu ingin pindah bukan lari dari masalah.”

Aletta menatap Arsen sedih, “Ibu enggak lari dari masalah. Ibu bener-bener pengen cari suasana bar—”

“Karena masalah itu, 'kan? Ibu mau cari suasana baru buat menghindari suasana atau kejadian kayak waktu itu lagi. Ibu enggak mau ngeliat mukanya dia.”

Aletta terdiam. Ucapan Arsen benar. Ia ingin melarikan diri dari mantan suaminya. Ia ingin melarikan diri dari Seno. Ia tak ingin Arsen kembali menangis karena Seno.

Arsen mengusap lembut pundak Ibunya. “Ibu cuma pengen Arsen enggak sedih lagi gara-gara Ayahnya Arsen,” ucap Aletta mengaku.

“Selama ada Ibu, Arsen enggak bakal sedih.” Aletta tersenyum dengan mata berkaca-kaca. Ia berterimakasih pada Tuhan. Saat suami dan keluarganya harus pergi, ia masih memiliki Arsen di sisinya. Menjadi penguat bagi Aletta dalam menghadapi dunia. Ia ingin menjadi Ibu yang bisa diandalkan oleh Arsen. Menjadi pelindung agar anaknya tak bersedih lagi.

“Arsen, Ibu mau tanya lagi. Boleh?” Arsen mengangguk. “Arsen memaafkan Ayah?” Arsen terdiam.

Aletta mengulas senyum kecil, “apapun masalah Ibu sama Ayah, itu biar jadi urusan kami. Arsen, biar gimanapun dia tetap Ayahnya Arsen. Walau Ibu enggak rela, tapi dia benar. Ibu enggak seharusnya menghalangi dia buat ketemu sama Arsen. Walaupun Ibu bisa membiayai Arsen, tapi dia tetap harus mengambil peran seorang Ayah. Dia harus menafkahi Arsen dan memberi Arsen kasih sayang yang harusnya Arsen dapatin dari seorang Ayah.”

“Apa Ibu maafin dia?” tanya Arsen balik. Aletta menjawab, “Ibu enggak mungkin bisa memaafkan dia. Ibu perlu waktu lebih banyak, tapi setelah Ibu pikir-pikir, Arsen berhak menghabiskan waktu dan dapet kasih sayang dari Ayahnya Arsen. Jadi, apapun masalah kami, Arsen jangan melibatkan diri, ya? Cukup kami aja yang mengurus masalah kami, Arsen harus bahagia. Kalau Arsen bahagia, Ibu juga ikut bahagia.”

“Sama Ibu aja, Arsen bahagia.” Arsen menjawab.

“Tapi Ibu pengen Arsen juga ngerasain apa yang harusnya Arsen rasain. Ayahnya Arsen masih hidup, walaupun udah punya keluarga sendiri, Arsen masih bisa mendapatkan kasih sayang Ayah. Arsen juga bisa deket sama anaknya Ayah. Apalagi istrinya Ayah lagi hamil,” ucap Aletta. Mati-matian ia menahan sesak dalam hatinya. Ia hanya ingin Arsen bahagia. Ia tak peduli bahwa ia harus terluka.

Setelah berbicara dengan Yasmine, ia sadar. Arsen biar bagaimanapun tetap membutuhkan kasih sayang orang tua, apalagi Ayahnya Arsen masih ada dan tetap ingin mengakui Arsen sebagai anak. Harusnya Aletta tak melarang Seno untuk menemui dan memberikan kasih sayang pada Arsen. Urusan mereka biarlah harusnya diurus oleh para orang tua. Anak-anak mereka tak perlu memusingkan hal itu.

“Gimana kalau minggu depan kita ketemu keluarganya Ayah? Arsen kenalan sama anaknya Ayah juga, siapa tau kalian bisa jadi temen deket. Kalau enggak salah, anaknya Ayah ada yang seumuran Arsen. Gimana?” tawar Aletta.

“Ibu seneng?” tanya Arsen. “Kalau Arsen seneng, Ibu bakal seneng.” Aletta membalas.

Arsen mengangkat bahunya, “terserah Ibu aja.”

Aletta tersenyum dan mengusap sayang wajah anaknya, “bagi Ibu, selama Arsen seneng dan bahagia, walau harus mati sekalipun, Ibu rela.”

“Ibu jangan ngomong gitu,” ucap Arsen. Ia tak suka saat Ibunya mengatakan seolah-olah ia akan pergi meninggalkan Arsen. Aletta terkekeh kecil, “mandi gih. Ibu bakal masak buat makan siang.” Arsen mengiyakan dan kemudian pergi meninggalkan Aletta sendirian.

Setelah memastikan Arsen sudah pergi, Aletta langsung menelpon mantan suaminya. Demi anaknya, ia akan berdamai dengan masa lalu.

“Halo? Siapa ini?” suara Seno di seberang sambungan terdengar.

“Ini aku, Aletta.”

“Mau apa lagi?”

“Ayo kita bicarakan mengenai kewajiban dan hak kamu sebagai Ayahnya Arsen,” ucap Aletta.

“Kamu serius?”

“Serius. Kalo kamu masih mau menjadi Ayah bagi Arsen, kita selesaikan semua ini secepatnya.”

“Aku bisa ketemu Arsen lagi? Kamu enggak akan larang lagi?”

“Enggak.”

“Kenapa sekarang? Kenapa baru sekarang, Letta?”

Aletta terdiam sejenak sebelum membalas, “karena aku sadar. Kalau bukan hanya aku yang harus memberikan kasih sayang kepada Arsen. Orang tuanya Arsen masih hidup dua-duanya, jadi dia berhak dapatkan kasih sayang itu. Dari keduanya,” ucap Aletta.

“Letta, makasih banyak. Aku tau kamu perempuan yang baik. Maafin aku, harusnya kamu enggak menikah sama laki-laki seperti aku dulu.”

“Kalo enggak menikah sama kamu, maka aku enggak akan punya Arsen sekarang. Sudahlah, jangan dibahas lagi, enggak ada akhirnya juga kalo menyesal. Kamu mau hak kamu sebagai Ayah, 'kan? Kalo gitu kita bicarain kesepakatannya besok. Tempatnya kamu yang pilih. Bawa aja istrimu. Aku tau mood perempuan hamil itu enggak menentu.”

Huft, kamu bener. Mila moodnya hari ini enggak jelas banget. Kadang nangis, kadang seneng kadang marah. Aku sampai mikir dia kena bipolar atau semacamnya.”

“Aku tau, karena aku pernah hamil.”

“Bener juga. Kalau gitu kita ketemu besok di restoran. Aku kirimin alamatnya besok. Kita ketemu jam sembilan. Gimana?”

“Oke.”

“Udah dulu, ya? Mila nangis pengen makan ayam goreng. Aku mau siap-siap masakin buat dia.”

Aletta mengangguk dan segera mematikan panggilan mereka. Setelah memutuskan panggilan tersebut, Aletta langsung siap-siap memasak makan siang untuknya dan Arsen.

—🐾

Mini theater 🎭

Elvano  : Gila, di sini Arsen banyak ngomong.
Arsen    : ʕ⁠ಠ⁠_⁠ಠ⁠ʔ
Penulis  : Kebutuhan cerita. Iyain aja!
Elvano  : Gue kapan munculnya?
Penulis  : Kalo gue mood.
Elvano   : anj—

[END] Strike up a Friendship Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang