Part 29 : Brothers?

64 8 0
                                    

—🐾

Saat ini Elena sedang berbelanja bulanan ditemani oleh Arsen. Elvano sejak mulai berpacaran dengan Naya, harus bisa membagi waktunya antara teman-temannya dan bersama pacarnya. Inka sendiri sedang sibuk bimbingan jadinya hanya Arsen yang bisa ia mintai tolong untuk menemaninya.

Arsen seperti biasa hanya diam mendorong troli dimana Elena mulai sibuk memilih sayuran segar serta daging di bagian bahan-bahan segar. Arsen sesekali mengambil beberapa bumbu kaleng instan ke dalam troli Elena, ia tahu Elena akan sangat membutuhkan bumbu-bumbu seperti itu ketika dalam keadaan harus memasak cepat.

“Arsen, menurut lo bagusan yang ini atau yang ini?” Elena menanyakan kepada Arsen perihal dua buah semangka dengan berbeda ukuran di tangannya, semangka yang satu berukuran sedang tapi dengan warna yang lebih pekat sedangkan yang satunya berukuran besar tapi berwarna lebih cerah.

Arsen mengambil semangka yang pertama dan langsung memasukkannya ke dalam troli Elena. Melihat itu, Elena mengangguk paham dan kembali memilih daging ayam. Ia ingin membuat katsu.

“Andai aja Mama sama Papa enggak dinas keluar kota, enggak bakal gue belanja sebanyak ini. Biasanya cuma belanja bulanan camilan eh sekarang malah belanja persediaan dapur.” Elena mengeluh sambil terus-menerus memilih bahan-bahan dapur lainnya. Arsen sendiri hanya sibuk mendengarkan tanpa membalas.

“Arsen?”

Arsen dan Elena langsung menoleh dan mendapati seorang pria paruh baya sedang menatap Arsen dengan tatapan lega. “Syukurlah, benar! Arsen ada di kota ini juga? Kenapa enggak ngabarin Ayah?” Ya, pria itu adalah Ayah kandungnya Arsen.

Arsen hanya diam tak membalas. Ia dengan acuh mendorong troli Elena untuk pergi jika saja tak melihat seseorang yang cukup familiar menatapnya dengan tatapan yang tak bisa dijelaskan. Elena yang melihat itu langsung menahan napasnya. Ia merasa terjebak di sebuah situasi yang sangat sulit dijelaskan dan ia merasa tak seharusnya ada di sini.

“Minggir,” ucap Arsen pada orang yang menghalangi jalannya, bukan Ayahnya. Namun, seorang pemuda yang cukup sering ia lihat di Kampus, Altair.

Altair menatap Arsen sejenak kemudian menatap pria paruh baya yang saat ini terdiam. “Serius? Dia?” tanya Altair sambil menunjuk Arsen, sementara yang ditunjuk hanya bisa menatap Altair dengan tatapan datar.

Elena langsung mengandeng lengan Arsen dan mencoba tersenyum ramah, “eh Alta! Gue sama Arsen duluan, ya? Buru-buru soalnya, kapan-kapan aja kalo mau ngomong.”

Mengabaikan ucapan Elena, Altair masih menatap pria itu dengan dengan tatapan tajam, “Arsen itu anaknya Ayah, ’kan?” Arsen yang tadinya akan ikut dengan Elena langsung menghentikan langkahnya. Ia menatap Altair dengan tatapan terkejut dan kemudian langsung menatap Ayahnya dengan tatapan kecewa. Elena sendiri hanya bisa berdoa dalam hati, bertanya kapan semua drama ini akan berakhir.

Pria yang dipanggil Ayah itu pun hanya bisa menarik napas panjang dan kemudian menjawab, “maafin, Ayah. Kalian berdua itu anak ayah.”

Altair tertawa sinis, “lawak banget, bangsat! Selama ini gue satu Kampus sama sodara tiri gue sendiri dan lo!” Altair menunjuk Ayahnya, “lo malah mau punya anak lagi setelah lo tau gimana buruknya lo sama anak-anak lo. Wah, gila enggak nyangka gue!” ucapnya sinis.

Ayahnya menggeleng kecil, “bukan gitu. Ayah ... bagi Ayah, kalian tetap anak Ayah, terlepas siapa Ibu kalian berdua.”

“Basi!” Altair melemparkan topi yang ia pakai ke arah Ayahnya, “makan tuh peran Ayah!” Altair berlalu pergi begitu saja. Meninggalkan Arsen, Elena dan Ayahnya begitu saja. Elena menatap Ayahnya Altair dan Arsen dengan tatapan ragu, “eum ... Om, gapapa?” tanyanya ragu.

Pria itu mengabaikan Elena dan menatap Arsen yang kini menatapnya tajam, “Arsen, Ayah mau ngo—”

“Gue enggak punya Ayah.” Arsen langsung memotong ucapan pria itu hingga membuatnya tak bisa berkata apa-apa karena setelahnya Arsen langsung menarik Elena pergi. Meninggalkan Ayahnya yang kini diam sambil meremat topi yang tadi dilempar oleh Altair kepadanya.

“Seburuk itu Ayah di mata kalian,” gumam pria itu.

—🐾

Sesampainya di rumah Elena, Arsen hendak langsung pamit pulang jika saja Elena tak menahannya. Elena merasa khawatir dengan Arsen.

“Lo gapapa?” tanya Elena cemas. Arsen mengangguk. “Lo tau? Lo bisa cerita sama kita kalo lo mau. Kita udah sahabatan dan bagi kita, kalo lo butuh sandaran, kita bakal siap jadi sandaran buat lo. Lo enggak perlu merasa terbebani sendiri.” Arsen hanya mendengarkan ucapan Elena sebelum akhirnya pamit pulang. Meninggalkan Elena yang menarik napas panjang dan kemudian mengirimkan pesan kepada Inka dengan menceritakan apa yang terjadi. Setidaknya Elena yakin, Altair mungkin juga dalam suasana hati yang buruk. Terlebih mereka sudah tahu kalau mereka adalah saudara satu Ayah.

—🐾

Usai dikabari oleh Elena, Inka langsung datang ke rumah sewa Altair. Begitu tiba di sana, ia melihat Altair sedang duduk di lantai bersandar pada sofa dengan sekaleng soda di tangannya. Tatapan pemuda itu terlihat kosong. Inka dengan insiatif sendiri langsung duduk di dekat pacarnya dan menggenggam tangan pemuda itu.

“Gue sama Arsen ternyata sodara tiri, In. Lucu, ya?” ucap Altair dengan tawa hambar.

Inka tak merespon apapun. Hanya diam mendengarkan dan mengusap tangan pacarnya. Gadis itu tahu ia hanya bisa menjadi sandaran bagi pacarnya dan itu sudah cukup bagi Altair. Pemuda itu hanya perlu mencurahkan isi hatinya dan cukup didengarkan. Altair tak butuh diceramahi saat ia sedang meluapkan isi hatinya. Ia hanya ingin didengar dan diberikan dukungan. Dukungan kalau ia takkan sendiri.

“Gue enggak tau kudu ngapain, In. Gue capek,” ucap Altair. Pemuda itu merebahkan kepalanya di pundak pacarnya dan kemudian tertawa kecil, “capek banget rasanya.”

Inka memindahkan tangannya untuk menepuk pundak Altair sampai pemuda itu memejamkan matanya menikmati usapan lembut Inka di pundaknya. Inka benar-benar tahu apa yang ia butuhkan dan bagi Altair itu lebih dari cukup.

“In.” Inka hanya menatap pacarnya seolah menunggu apa yang ingin diucapkan oleh Altair. “Gue capek. Bener-bener capek. Gue ngerasa bersalah sama Arsen. Dia pasti benci banget sama gue. Nyokap gue ngerebut bokapnya, trus ninggalin dia sama nyokapnya buat hidup sama gue dan Ibu gue. Gue bahkan dulu sempet bahagia banget waktu Ayah bilang dia akan tinggal sama-sama gue dan Ibu selamanya. Itu artinya gue seneng Ayah ninggalin keluarga pertama dia buat hidup sama keluarga simpenan kayak gue dan Ibu. Bener, ’kan?”

Inka menjawab, “lo bukan anak simpenan.”

“Arsen temen lo. Lo harusnya benci sama gue. Gue anak haram bokapnya temen lo,” ucap Altair.

“Arsen memang sahabat gue dan lo pacar gue. Lo bukan anak haram. Enggak ada namanya anak haram, Ta. Apapun dosa yang dilakuin orang tua, itu enggak mesti ditanggung sama anaknya. Lo juga enggak minta dilahirin sebagai anak mereka, jadi berenti bilang lo anak haram karena lo bukan anak haram. Bagi gue, lo itu Altair. Altair yang ngeselin tapi tetep gue cinta. Enggak ada yang lain,” ucap Inka.

Altair tersenyum tipis, “makasih, In. Gue beruntung punya lo,” ucapnya. Inka balas tersenyum, “gue juga beruntung punya lo,” ucapnya.

—🐾

Mini theater 🎭

Penulis   : Kudu cepet tamat.
Elvano    : Gue kagak muncul di sini.
Penulis   : Arsen yang punya dikit dialog aja enggak protes.
Elvano    : ʘ⁠‿⁠ʘ

[END] Strike up a Friendship Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang