Part 12 : Elvano's Story with Lecturer Assistants

70 10 5
                                    

—🐾

Elvano yang terlalu stres memikirkan skripsinya sering diejek oleh Elena dengan sebutan jomblo. Padahal sendirinya si Elena juga belum ada gandengan. Selama perjalanannya berkuliah dari semester satu sampai sekarang, hanya Elena dan Inka satu-satunya perempuan yang ia kenal dekat.

Inka tidak mungkin ia dekati karena bagi Elvano sendiri gadis itu sudah seperti adiknya dan lagi, Inka sudah punya pacar yang mungkin menjadi beban Inka seumur hidup. Elena juga sudah ia anggap seperti adiknya sendiri, bedanya kalau Inka adik yang penurut, Elena adalah adik yang nakal sehingga sering ia jahili.

Selain mereka berdua, Elvano jarang berdekatan dengan perempuan lain di Kampus, kecuali dosen. Biasanya mahasiswi lain kalau mau berinteraksi dengan Elvano sering merasa ragu. Elvano Memang lebih ramah daripada Arsen kalau urusan berinteraksi, tapi interaksinya pun hanya sebatas percakapan singkat. Ibarat kata si Arsen udah singkat, si Elvano tuh versi panjangnya dikit. Sedikit aja.

Menurut Elvano, perempuan tuh kadang terlalu merepotkan. Contohnya saja Elena. Kalau bosan, suka sekali bikin orang repot. Mending mengurus skripsi biar cepat lulus. Lagipula, semua perempuan yang mencoba mendekati Elvano juga sudah menyerah duluan karena prioritas Elvano tuh kalau tidak skripsi ya tiga temannya. Kalau kamu tahan dinomorsekiankan oleh Elvano, boleh mencalonkan diri jadi pacarnya dia.

Namun, biar menomorsatukan skripsi begitu, si Elvano juga bisa lho merasakan suka pada perempuan. Perempuan yang beruntung itu adalah salah satu kakak tingkatnya yang juga menjadi asisten dosen mata kuliah Metodologi Penelitian di Program Studi mereka.

Saat itu, Elvano baru akan mengajukan draft judulnya yang masih sangat mentah ke Kantor Program Studi. Bermodalkan nekat, Elvano berdoa dalam hati semoga judulnya bisa diterima atau kalaupun ditolak, ia diberikan arahan untuk membuat judul baru.

Dalam perjalanannya menuju Kantor Program Studi, ia tak sengaja bertemu dengan seorang perempuan yang juga sedang membawa berkas-berkas dalam map kuning. Sepertinya sama-sama akan pergi menuju Kantor Program Studi.

Sebagai adik tingkat yang baik, Elvano melemparkan senyum tipis, hanya bersikap ramah dan juga menundukkan kepalanya sedikit. Respon perempuan itu juga bagus, ia tersenyum dan bertanya, “mau ke Kantor Prodi, ya?”

Elvano mengangguk pelan, ”iya, Kak. Mau ngajuin judul.”

Perempuan itu terkejut, ”oh, iya? Wah, udah ada judul. Keren banget. Pendekatan penelitiannya apa?” tanya perempuan itu lagi.

“Kualitatif deskriptif, Kak.”

Perempuan itu mengangguk, “boleh Kakak liat judulnya?” tanyanya dengan hati-hati. Ya, biasanya mahasiswa tuh enggan memberitahukan judul mereka, sebelum resmi diterima atau ditolak. Takutnya dicuri dan dipakai temannya duluan.

Elvano mengangguk dan kemudian memperlihatkan lembar draft miliknya kepada kakak tingkatnya itu. Perempuan itu membaca judul, latar belakang, pertanyaan penelitian serta beberapa penelitian terkait yang telah dirangkum oleh Elvano dengan teliti.

Melihat kakak tingkatnya menautkan alisnya, Elvano bertanya, “kenapa, Kak?”

“Kamu yakin mau pakai judul ini?” Elvano mengangguk mantap. “Iya, Kak. Udah dua minggu mikirin judulnya, setelah bertapa di kamar mandi akhirnya nemu judul ini.”

“Udah riset dulu? Penelitian terkait yang kamu rangkum juga beda lho topiknya sama judul kamu. Beda jauh,” ucap perempuan itu.

Elvano langsung menatap lembar draft miliknya, “masa sih? Bedanya gimana? Sama-sama kualitatif deskriptif kok,”

“Iya, pendekatan penelitiannya sama, tapi topiknya beda. Kamu pengen mendeskripsikan fenomena ini, tapi yang kamu jadikan penelitian terkait malah membahas hubungan dua fenomena. Hampir semua penelitian terkait kamu itu jatuhnya kayak mendeskripsikan bagaimana fenomena A memberikan implikasi kepada fenomena B. Harusnya sih kalau penelitian terkait kamu itu malah pendekatan campuran. Kualitatif-kuantitatif. Coba deh, kamu baca lagi pertanyaan penelitian kamu. Korelasinya enggak pas dengan judul kamu. Kalau kamu pakai rumusan masalah itu, berarti pendekatan yang kamu pakai itu pendekatan kuantitatif.”

”Gitu, ya? Duh, tapi gue enggak berani kuantitatif. Enggak pinter sama angka-angka gue mah. Gimana dong, Kak?”

“Lo punya pedoman buku penelitian?” tanya perempuan itu yang dibalas gelengan oleh Elvano.

“Gue punya tapi udah dipinjem sama yang lain. Kantor Program Studi harusnya ada sih buku yang mirip. Nanti gue bantu lo pinjem, tapi lo fotokopi aja ya, biar besok dibalikin lagi. Kalo lo punya Shopee, beli aja di sana. Judul bukunya tuh Metode Penelitian karya Sugiyono, itu biasanya yang dipake. Kalo lo mau yang lebih bagus lagi ada tuh judulnya Research Design : Qualitative, Quantitative, and Mixed Methods Approaches karya Cresswell, tapi bahasa Inggris gitu. Anak-anak Bahasa Inggris biasanya make yang Cresswell, kalo yang lain ya karya Sugiyono.” Elvano mendengarkan baik-baik perkataan dari kakak tingkatnya itu.

“Berarti judul gue jangan diajuin dulu ya, Kak?” tanya Elvano.

“Saran gue sih jangan dulu. Lo revisi aja dulu, daripada lo dateng ke sana trus malah diomelin Ketua Program Studi dan nolak judul lo, ’kan? Saran gue sih, kalo lo keukeh mau make pendekatan kualitatif deskriptif, coba lo baca buku-buku metodologi penelitian yang gue saranin tadi atau kalo enggak, lo baca-baca skripsi orang yang make pendekatan itu. Lo pahami dulu pendekatan kualitatif deskriptif tuh pendekatan yang bagaimana, gimana cara menganalisisnya sama kalo mau nemuin ide judul lo baca tuh skripsi orang atau artikel jurnal yang kualitatif deskriptif. Lo baca rumusan masalah mereka trus baca hasilnya. Bagaimana cara mereka menganalisis tuh rumusan masalah. ATM tuh namanya. Amati, Tiru, Modifikasi.” Perempuan itu memberikan saran.

Elvano yang biasanya tak pernah tertarik pada apapun selain kuliahnya dan persahabatan, kini merasakan apa yang namanya kagum. Ia hampir tak paham beberapa detail apa yang diucapkan oleh perempuan itu, tapi di mata Elvano, perempuan itu terdengar begitu pintar dan Elvano merasa ia seperti mendapatkan pencerahan.

“Gimana? Paham enggak?” tanya perempuan itu.

“Enggak salah sih, Kak. Lo pinter banget,” balas Elvano.

Malu, perempuan itu menggeleng pelan. “Enggak kok. Cuma gue paham dikit aja. Soalnya skripsi gue juga kualitatif kok, cuma gue pake model yang studi kasus aja.”

“Udah seminar proposal, Kak?” Perempuan itu mengangguk, “udah, sekarang gue lagi bimbingan bab empat. Doain ya, moga bisa ngejar Wisuda tahun ini,” ucap perempuan itu.

Elvano mengangguk, “pasti! Gue doain. Lo baik banget, ngasih gue pencerahan. Gue bakal balik buat revisi draft gue dulu!”

“Eh, enggak mau pinjem bukunya di Prodi?” tanya perempuan itu lagi. Elvano menggeleng, “gue checkout aja! Hehe, biar puas gue bacanya.”

Perempuan itu tersenyum, “semangat ya. Semoga bisa seminar proposal tahun ini,” ucapnya.

“Makasih, Kak! Gue duluan ya!”

Perempuan itu mengangguk dan menatap kepergian Elvano dengan tatapan gemas. “Jadi inget waktu ngajuin judul. Hihi, diomelin Ketua Program Studi trus pas bimbingan pertama juga diomelin sama pembimbing satu,” gumamnya bernostalgia.

—🐾

Mini theater 🎭

Penulis     : [Melamun]
Elvano      : Kesambet lo?
Penulis      : Kepikiran skripsi juga jadinya.
Elvano       : Ya dikerjain, bego!
Penulis      : Gue kerjain kok. Tiap Minggu bimbingan.
Elvano       : Nah, tingkatkan lagi. Tiga hari sekali.
Penulis      : Wah, sialan nih cowok! Ngajak gelud!
Elvano       : [Kabur]
Elena        : Gini nih kalo udah skripsi, makanya nanti-nanti aja.

[END] Strike up a Friendship Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang