Part 35 : Inka is Sick

70 9 1
                                    

—🐾

Inka hari itu yang harusnya pergi bimbingan harus dibatalkan karena sedang sakit. Begitu ia bangun di pagi hari, ia merasa pusing dan hampir muntah ketika ia ingin membuat teh hangat. Ia kira ia hanya masuk angin karena semalam ia tidur dengan AC menyala semalaman. Ia merebahkan tubuhnya di kasur dan kemudian mengirimkan pesan kepada pacarnya, mengabarkan kalau ia sedang sakit. Ia tahu, kalau ia mengirimkan pesan seperti itu, Altair akan membolos kuliah dan lebih memilih menemaninya yang sedang sakit.

Inka tertidur sekitar hampir satu jam dan saat ia bangun ia sudah melihat Altair duduk di karpet bulu di lantai dengan laptop yang menayangkan Karun Dora the Explorer yang ada di pangkuan pemuda itu

“Alta ...”

Altair langsung menjeda kartunnya dan kemudian menatap Inka yang menatapnya dengan wajah pucat. Altair naik ke atas ranjang Inka dan mengecek suhu tubuh Inka dengan menempelkan punggung tangannya di kening gadis itu.

“Mau ke rumah sakit enggak?” tanya Altair. Inka menggeleng, “mau peluk.” Altair melepaskan jaketnya dan kemudian duduk bersandar pada kepala ranjang. Inka yang melihat itu langsung mengubah posisinya dengan tidur berbantalkan paha Altair. Pemuda itu mengusap lembut kepala Inka dengan hati-hati.

“Lo bolos, ya?” tanya Inka. “Iya, udah lo diem aja. Suara lo jelek karena lo lagi sakit,” jawab Altair.

“Ta, gue pengen seblak deh.” Altair mengerutkan keningnya, “enggak ada. Lagi sakit juga, macem-macem aja mau lo, udah tidur aja.”

“Gue belum makan dari pagi, belum minum obat juga. Masa lo suruh tidur lagi, kapan sembuhnya yang ada?” ucap Inka.

“Yaudah, lo minggir dulu. Gue beliin bubur ayam di depan,” ucap Altair.

“Enggak mau. Gue pusing. Udah lo elus-elus aja kepala gue,” ucap Inka.

“Tadi protes enggak makan, sekarang protes enggak mau makan. Mau lo apa?” tanya Altair malas.

Inka tak menjawab. Ia telah tertidur karena elusan Altair di kepalanya sangat nyaman. Melihat itu, Altair langsung mengambil ponselnya sendiri dan kemudian bunyi notifikasi ponsel Inka mengalihkan perhatiannya. Pesan grup empat sahabat itu.

Altair dan Inka memang sudah sering saling memegang ponsel masing-masing, bahkan beberapa teman Altair sering mengatakan kalau mereka tak punya privasi sama sekali. Altair tak peduli, menurutnya Inka berhak mengetahui segala hal tentangnya dan Inka sendiri juga tak masalah kalau ia memegang ponsel gadis itu. Toh, mereka tak selingkuh juga.

Altair mengambil ponsel Inka dan mengirimkan foto Inka yang sedang tidur ke grup tersebut. Kemudian ia mengirimkan pesan yang mengatakan kalau ia adalah Altair dan mengabarkan kalau Inka sedang sakit, gadis itu tak mau makan dan tak mau berobat. Mungkin kalau Altair tak bisa membujuk gadis itu, maka sahabatnya bisa.

Tak lama banyak pesan dari para sahabat Inka, terlebih Elena yang bertanya. Arsen hanya menanyakan apakah perlu dokter. Altair menjawab semua pertanyaan itu dan mengiyakan pertanyaan Arsen. Altair ingat saat pertemuan keluarga waktu itu, Ibunya Arsen memperkenalkan diri sebagai seorang Dokter bedah ahli.

Ya, beberapa saat yang lalu Seno mempertemukan istrinya dengan mantan istrinya. Padahal ia tak tahu saja kalau dulu Mila pernah melabrak Aletta ke rumah wanita itu dan berujung diusir oleh Arsen. Seno juga menasehati agar Arsen dan Altair bisa akrab mengingat mereka bersaudara walaupun beda Ibu. Walaupun begitu, Arsen dan Altair hanya akan bertemu ketika keluarga mereka berkumpul saja. Saat di luar, Altair akan menghindari Arsen walaupun Arsen sendiri tak punya masalah dengan Altair.

“Alta, dingin ...” Altair langsung menarik selimut untuk menutupi tubuh Inka. Pemuda itu memperbaiki posisi tidur Inka, tapi Inka tetap tak melepaskan tangan Altair. Alhasil Altair memeluk tubuh Inka sampai hampir tiga puluh menit lamanya. Ia baru bisa melepaskan diri saat Elena dan Arsen datang bersama dengan Aletta. Elvano tak bisa datang karena harus bekerja.

“Lho, Alta enggak kuliah, Nak?” tanya Aletta sambil memeriksa Inka. Arsen hanya duduk di sudut ranjang mendengarkan sedangkan Elena berdiri di belakang Aletta memperhatikan Inka yang tak mau melepaskan tangan Altair sedikitpun.

“Enggak, Tan.” Altair menjawab. Elena yang tak kalau Aletta adalah Ibunya Arsen hanya bisa menatap Altair bingung, “kenal lo sama Dokter yang dibawa Arsen?” tanya Elena.

Aletta yang kebetulan selesai memeriksa keadaan Inka langsung menatap Elena gemas, “Tante Ibunya Arsen, sayang.” Elena melongo begitu mendengar ucapan Aletta. Arsen memilih tak peduli dengan respon Elena.

“Gimana, Tan?” tanya Altair. “Demamnya lumayan tinggi. Dikompres, ya. Trus tadi Arsen beliin bubur ayam. Nah, Tante juga kebetulan bawa obatnya jadi Alta enggak usah nebus obatnya. Nanti kalo sampe besok belum turun demamnya, bawa aja ke rumah sakit, ya? Alta tau ’kan Tante kerja dimana? Bawa aja ke sana, nanti biar Tante yang ngecek lagi.” Aletta menjelaskan.

Altair mengangguk. “Pacarnya, ya? Yang kata Ayah kamu, udah kayak menantu,” tanya Aletta. Altair mengangguk kecil, “iya.”

Aletta menatap Arsen, “Alta udah punya pacar, Arsen kapan, hm? Ibu juga pengen punya menantu kayak Inka lho,” ucapnya. Arsen memutar bola matanya jengah dan memilih tak menjawab pertanyaan Ibunya. Elena tersenyum canggung mendengar itu. Aletta menatap Elena, “ini temennya Arsen, 'kan? Jomblo enggak, Nak?” tanyanya.

Altair tersenyum mengejek, “jomblo dia, Tan. Cuma masih gamon aja dari mantannya,” ucap Altair.

Elena mendelik kesal, “ih! Mulut lo tuh ngeselin banget sih!”

Altair menjulurkan lidahnya tanda mengejek. Aletta tertawa kecil, “kalian lucu, ya? Gapapa kok. Tante suka. Kalian masih muda, masih panjang juga perjalanannya. Jangan terlalu terbebani sama pertanyaan orang-orang yang nanyain kapan nikah, kapan wisuda, kapan kerja. Jalanin aja hidup kalian. Toh, untuk masalah uang, selagi kalian masih punya orang tua, kalian masih berhak dinafkahi.”

“Kalo Alta tuh beban buat Inka, Tan. Masa kuliah aja harus dipastiin sama Inka dulu biar enggak bolos. Terus tiap punya tugas kudu diawasin sama Inka baru dia kerjain. Memang beban idup dia, Tan. Inka juga lagi mau-maunya aja sama dia,” ucap Elena.

Altair membalas, “itu tandanya gue sama dia udah ditakdirkan bersama. Gue jadi beban aja dia cinta apalagi gue bisa nafkahin dia.”

“Cih! Sombong amat lo! Putus kemarin aja sampe gila!” balas Elena.

“Kayak Inka enggak aja. Dia juga sama gilanya kayak gue waktu itu. Makanya kita balikan lagi. Udah takdirnya!” ucap Altair.

“Lo tuh, ya! Nges—”

“Alta, dingin ...” Pertengkaran mereka harus berhenti karena Inka yang semakin mendekatkan badannya yang dingin kepada Altair. Altair sendiri langsung menyelimuti badan Inka bahkan langsung menutupinya sampai hanya kepalanya saja yang terlihat. Melihat perlakuan manis Altair, Elena dan Aletta tersenyum kecil. Arsen hanya duduk diam.

“Manisnya ....” Altair memerah malu saat mendengar ucapan Aletta. Sial, ia lupa kalau mereka tak hanya berdua di sini.

—🐾

Mini theater 🎭

Elena   : Ciye, salting!
Altair   : Jomblo diem!
Elena   : Sialan!
Inka     : Astagaaaa!
Aletta  : Jadi inget masa muda.

[END] Strike up a Friendship Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang