Part 18 : An Apology That Ends in Trouble

62 9 2
                                    

—🐾

Malam harinya, seperti kesepakatan mereka berempat, kini mereka telah berdiri di depan pintu rumah Altair. Ketiganya bersembunyi agak jauh dari Inka yang kini sedang mengetuk pintu dengan keras seperti kebiasaannya ketika mengetuk pintu rumah pacarnya. Tak lama, pintu terbuka dan Altair dengan balutan kaos tanpa lengan serta celana pendek keluar dan menatap Inka dengan tatapan bingung.

“Tumben malem-malem gini ke sini. Biasanya kalo mau ketemu gue, nyuruh ke rumah lo,” ucap Altair.

Inka menatap pacarnya ragu hingga Altair langsung menatap ke arah samping. Saat ia melihat ketiga teman pacarnya berlari ke arahnya, ia langsung menutup pintu dengan keras bahkan mengabaikan Inka yang tersentak kaget karena pintu yang ditutup dengan kasar tepat di depan matanya.

Elena langsung menggedor pintu dengan sangat kasar sampai Inka harus menahan gadis itu agar tidak membangunkan tetangga.

“Jangan gitu, nanti ganggu tetangga sebelah,” ucap Inka pada Elena.

“Enggak bisa gitu, bisa-bisanya dia nutup pintu kayak gitu depan lo. Gue enggak terima! WOI, ALTA! KELUAR LO!”

“El, udah. Astaga, suara lo tuh berisik nanti tetangga pada marah,” tegur Elvano.

“WOI, ALTA! KELUAR LO, SIALAN!” teriak Elena.

Arsen yang hanya diam menyaksikan daritadi, langsung mendobrak pintu yang langsung terbuka dengan sekali dorongan. Ketiga sahabatnya langsung menatap Arsen dengan tatapan kaget.

“Buruan, masuk. Nanti keliatan tetangga,” ucap Arsen langsung masuk ke dalam.

Elena langsung mengikuti dengan raut senang sedangkan Inka dan Elvano hanya bisa meringis. “Ini kita lebih mirip maling daripada mau minta maaf,” ucap Elvano.

“Yok, ikutin mereka. Gue takutnya ntar ada baku hantam,” ucap Inka.

Keduanya langsung menyusul dan menemukan Elena sedang beradu mulut dengan Altair di dapur sedangkan Arsen hanya menatap mereka sambil mendengarkan. Inka langsung mendekati pacarnya dan langsung dibentak oleh Altair.

“Lo juga! Ngapain sih ikutan segala! Gue tau mereka temen lo, makanya gue enggak terlalu ngekang lo. Mau lo temenan sama mereka atau enggak, itu urusan lo. Gue enggak mau ada urusan apapun sama temen-temen lo!”

Elena yang mendengar sahabatnya dibentak langsung tak terima, “gosah bentak-bentak juga, bisa enggak? Inka tuh enggak salah. Ini ide gue, marah aja ke gue, sialan!”

Altair langsung menatap Elena, “kalo gitu, gue mau lo keluar dari rumah gue sebelum gue telpon polisi! Lo semua tuh nerobos masuk ke rumah orang sembarangan. Gue bisa aja ngelaporin kalian semua. Gue enggak peduli mau kalian enggak maling sekalipun,” ucapnya.

“Biasa aja, setan! Kita tuh cuma pengen lo jadi dewasa dikit. Selesain masalah lo sama Vano, jangan sok ngartis enggak mau maafin dia. Lo siapa emang sok jual mahal banget maafin doang juga! Presiden lo? Bukan!” balas Elena tak mau kalah.

“Emang kalo gue maafin dia, dia enggak bakal ngulangin lagi, ha?! Manusia tuh selalu gitu. Abis buat salah, abis dimaafin ya diulangin lagi!” balas Altair.

“Lo juga sama, ya setan! Kapan emang lo enggak pernah bikin salah? Ada orang yang enggak maafin lo kayak lo yang sok ngartis enggak mau maafin orang gitu? Lagian Vano tuh mau minta maaf, dia tulus. Dia dewasa, karena ngakuin kesalahan dia. Lo malah kayak bocah sok enggak mau maafin dia!”

Altair menarik napas panjang dan kemudian menatap keempat orang itu, “keluar.”

“Apa, ha?! Kalo enggak apa?!” balas Elena menantang.

“GUE BILANG KELUAR DARI RUMAH GUE!” bentak Altair.

“Ta, jangan gini dong. Kit—” Altair langsung menatap Inka yang tadi mencoba menenangkan dirinya, “lo juga keluar! Kita putus!”

Inka menatap pacarnya kaget, “Ta! Lo jangan asal ngomong putus dong. Kita bicarain baik-baik,” ucap Inka mencoba menenangkan pacarnya.

“Ta, gue salah. Ini salah gue. Ini ide gue juga, jangan marah ke Inka. Jangan karena gue, lo malah mutusin Inka yang enggak tau apa-apa,” ucap Elvano yang merasa bersalah.

Altair menarik rambutnya kesal, “bodoamat, anjing! Sekarang kalian semua keluar, sampe gue ngomong sekali lagi, gue laporin ke polisi kalian semua,” ucap Altair.

Inka yang tadinya akan berucap sesuatu langsung ditahan oleh Arsen. Pemuda itu menatap Altair dengan tatapan tajam, “kita pergi. Gosah buang-buang waktu lo buat lapor polisi. Gue yang dobrak pintu lo, kalo lo mau ganti rugi, kirim aja nomor rekening lo sama total biayanya,” ucapnya sambil menyeret ketiga temannya pergi.

—🐾

Arsen menghentikan mobilnya di depan rumah Inka. Mereka baru saja mengantarkan Elena lebih dulu dan sekarang giliran Inka. Kedua pemuda itu menatap Inka yang duduk di bangku belakang dengan tatapan yang berbeda. Elvano dengan tatapan merasa bersalah dan Arsen yang dengan tatapan datar andalannya.

“Lo baik-baik aja? Gue minta maaf, In. Gue janji bakal mikirin caranya supaya Alta mau balikan sama lo,” ucap Elvano.

Inka tak menjawab dan langsung keluar dari mobil. Bahkan tanpa ucapan apapun, ia langsung masuk ke dalam rumahnya. Elvano menatap Arsen dengan tatapan bingung, “gara-gara gue, Inka sampe diputusin. Gue kudu gimana, Sen?” tanyanya.

Arsen menggeleng pelan, “gue juga enggak tau,” balasnya.

Elvano menarik napas panjang, “gue jadi males balik,” ucapnya.

“Nginep di rumah gue?” tawar Arsen.

Ya, sejak kejadian Ibunya masuk rumah sakit waktu itu, Arsen mulai kembali pulang ke rumahnya walaupun Ibunya tetap jarang pulang atau pulang tengah malam. Intensitas pertemuan keduanya tetap jarang, tapi berbeda dengan yang dulunya acuh kini Arsen mulai menyempatkan diri untuk meluangkan waktu dengan Ibunya kalau wanita itu sedang ada di rumah.

“Nyokap lo?” tanya Elvano.

“Jaga,” jawab Arsen.

Elvano mengangguk, “boleh deh. Sekalian, mau ngeliat rumah lo. Gue aja kaget lo bawa mobil, gue kira lo bakal ngapain gitu waktu bilang bakal yang ngurus transportasi kita buat rencana malam ini, taunya lo bawa mobil. Ini mobil nyokap lo atau punya lo sendiri?” tanyanya.

“Nyokap.”

“Trus nyokap lo kerja bawa apaan? Taksi?” tanya Elvano.

“Dia punya tiga mobil,” jawab Arsen sambil menjalankan mobilnya.

Elvano menggeleng takjub, “gilak! Kaya banget berarti nyokap lo. Pantes aja tiap ngumpul lo sering beliin makanan buat kita bahkan bayarin kita-kita. Nyokap lo kerja apaan? Mobil punya tiga. Gue jamin, rumah lo pasti gede!”

“Ahli bedah.”

Elvano melotot kaget, “nyokap lo dokter?! Gila! Keren banget. Lo kok enggak bilang sih?!”

Arsen hanya mengangkat bahunya acuh dan itu sukses membuat Elvano makin merasa takjub, “lo enggak pernah bawa kendaraan ke Kampus. Sering naik gojek taunya nyokap lo dokter bedah? Nyokap lo mau angkat gue jadi anak enggak?” ucapnya setengah bercanda yang mana tak ditanggapi oleh Arsen.

Mereka tiba di rumah megah yang membuat Elvano makin takjub tak percaya. Pemuda itu bahkan makin meracau mengatakan bahwa ia siap menjadi saudara angkat Arsen biar Arsen ada temannya di rumah.

“Masuk buruan,” ucap Arsen kepada Elvano yang masih menganga takjub dengan rumah mewah tersebut.

“Sen, gue serius lho. Lo kalo butuh sodara angkat, gue siap. Siap banget!” ucap Elvano mengikuti Arsen masuk ke dalam rumah. Arsen sendiri hanya menggeleng tak menanggapi ucapan Elvano.

—🐾

Mini theater 🎭

Penulis    : Gaji ahli bedah di Indonesia tuh berapa?
Elvano     : Gue googling katanya antara 20-45 juta perbulan.
Penulis    : Tadinya mau jadiin Ibunya Arsen dokter anak atau dokter gigi, tapi kayaknya mendingan dokter bedah kali, ya? Supaya pas sama jarang pulangnya.
Elvano    : Bodoamat, penting gue mau jadi anak angkatnya emaknya Arsen.
Arsen     : ಠ⁠_⁠ಠ

[END] Strike up a Friendship Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang