"Nanti matanya sembab, Ta." Entah lembar tissu yang keberapa yang telah Leon ulurkan untuk Jelita. Wanita itu menangis di kursi penumpang samping kemudi sudah sejak keluar rumah tadi.
"Pengen teriak!" Keluh si bungsu.
"Ya, teriak aja. Di basement gini nggak ada orang."
Saran Leon segera Jelita realisasikan. Tak hanya sekali, tapi berkali-kali wanita itu berteriak untuk melegakan hatinya yang sesak di parkiran kantor itu.
"Kenapa hidup aku gini banget siiiih?!"
"Udah, sedihnya. Ada Abang Leon yang bakal bahagiain kamu. Sini Abang peluk!" Leon memeluk adiknya. Dia sadar bahwa ini imbas dari kemarahannya. Harusnya dia bisa tahan emosi, agar pagi hari adiknya tidak dia kacaukan begini. "Cup, Sayang. Maafin Abang, ya."
"Sebenarnya apa salahku sih, Bang? Nurutin mereka tulus aku lakukan. Tapi nyesek banget rasanya saat tau ternyata semua demi bisnis. Dijodohin, lalu gagal nikah, tiga kali loh, Bang. Aku nggak sampai mikir ke arah sana, bahwa ini Kakek yang atur sedemikian rupa. Keseeeeeel!"
Lengan Leon dipukul berkali-kali, tapi pria itu rela meski rasanya sakit. Jelita ini, pernah jadi polisi, jadi tenaganya tak bisa juga dibilang lemah. Hingga Jelita sudah mulai tenang dan pelukan itu dia urai.
"Baru dua delapan tahun. Masih ada kesempatan buat nyari jodoh sendiri. Sesuai mau kamu, Ta."
"Tapi pria yang aku suka udah nikah, Bang!"
Entah sengaja atau keceplosan, pengakuan Jelita membuat Leon ternganga. "Kamu suka siapa?"
"Ya, ampuuuun! Malah ember nih mulut. Jangan bahas aja! Udah sana, Abang pulang. Aku harus kerja." Jelita keluar mobil dan tak mengindahkan panggilan kakak keduanya.
"Nggak ngaku, Abang cari tahu!"
***
"Jelitaaaa!" Seru Belinda mengheboh. Larinya cukup kencang padahal memakai sepatu hak tinggi. Baru saja Jelita sampai ke kubikelnya, sepertinya sudah lama ditunggunya.
"Apaan?" Suara sengau Jelita membuat Belinda menurunkan kadar heboh yang tadinya siap dia ledakkan.
"Kamu kenapa, Ta? Nggak suka ya, jadi sekretaris?" tanya Belinda prihatin.
Jelita menoleh cepat pada rekan kerja yang paling akrab dengannya itu. "Siapa yang jadi sekretaris?"
"Kamu. Loh, kamu belum tahu? Tapi kok udah nangis?"
"Bel, jangan bercanda deh! Dari dulu aku nggak mau kerja jadi sekretaris."
"Tania yang bilang. Ada CMO baru, terus kamu dijadikan sekretarisnya."
"Mana bisa begitu? Aku mau ke HRD!" tolaknya tak terima. Jelita hengkang begitu tasnya dia letakkan di meja.
"Tuh anak bakal ngapain di sana? Ngamuk?"
***
Lagi-lagi ini ulah keluarganya. Jelita hanya staff biasa pada awalnya dan tiba-tiba jadi sekretaris setelah sehari cuti. Tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa ketika HRD berkata, "Pak Surya sendiri yang tunjuk kamu buat jadi sekretaris."
Surya adalah kakak tertua ibunya, sekaligus pemilik perusahaan tempatnya bekerja. Jadi Jelita bisa apa selain menerima dengan segala keberatan dalam hatinya.
Jadi di sinilah dia mengangkut kardus berisi peralatan kantornya, ke sebuah ruangan yang masih kosong.
"Emang CMO yang lama kemana sih?" Gerutunya sembari memindahkan satu persatu barangnya ke meja barunya.
"Selamat pagi!"
Suara seorang pria yang Jelita tebak adalah atasannya mulai pagi ini. "Pagi, Pak!" sahutnya cuek tanpa minat untuk segera tahu siapa atasannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Romeo Untuk Jelita
RomanceJelita Asmara, nama yang cantik. Secantik orangnya. Namun sayang, jodoh tak kunjung datang. Kenapa kira-kira? Apa karena kutukan? Rasanya ingin menghilang kala acara kumpul keluarga digelar. Lelah mencari jawaban jika lagi-lagi dia ditanya, kapan n...