Bab 11 Ikhlas

257 72 24
                                    

Kenandra Darma jatuh cinta. Benar-benar sedang jatuh cinta. Itulah yang Jelita percaya, karena sorot mata kakak tertuanya berkata demikian. Beberapa kali dia tangkap, Ken menatap dengan puja pada Monic yang sibuk bersama timnya mengurusi segala keperluan seorang wanita korban kekerasan seksual yang akan menjalani operasi di rumah sakit. Wanita itu adalah pasien pertama yang akan menjadi penumpang untuk ambulance yang Ken sumbangkan untuk yayasan.

"Suka sekali sama dia ya, Bang?" Jelita bertanya sambil menyenggol bahu Ken yang rupanya tengah terbengong.

"Heh?" Ken perlu beberapa detik mencerna hingga akhirnya tersenyum. "Dia baik banget."

"Bukan itu pertanyaanku, Bang." Jelita suka sekali melihat wajah Ken yang malu-malu begini. Sejak bercerai, Ken menjadi pribadi yang cukup tertutup. Tapi ketika hatinya kembali disentuh oleh cinta, hangatnya bisa Jelita rasakan juga.

"Jatuh cinta asyik ya, Bang," tambah Jelita.

"Rasa sakitnya kalo patah yang nggak asyik. Tapi itulah resiko jika kita berani menjatuhkan hati," balas Ken. "Ke mana temanmu tadi?"

"Dimas katanya lapar. Jadi keluar cari makan."

"Dia suka kamu sepertinya."

Jelita tertawa kecil. "Dari dulu. Sudah sering dia bilang begitu."

"Kenapa tak diiyain dari dulu?"

"Abang tau lah. Jodoh Kita di tangan Kakek." Jelita tertawa miris, karena sebaris kalimat itu. Dia dan Ken juga para sepupu mereka adalah obsesi Henri Gunawan untuk kepentingan bisnisnya. "Nggak pernah terpikirkan buat menjalin hubungan dengan cowok sebelum ini."

"Berarti dengan Romeo baru terpikirkan?"

"Bisa jadi. Meski sulit rasanya akan terwujud." Hati Jelita sesak tiba-tiba. "Dulu kandas karena Kakek, tak tertutup kemungkinan bahwa kelak pun sama."

"Lalu?"

Jelita menoleh pada Ken lalu memicing lucu. Disusul senyum yang penuh bau curiga, "Abang mau meniru jawaban dariku?"

Ken rangkul bahu adiknya yang memiliki tinggi hampir sama dengannya itu. "Kita tahu, Kakek tidak suka model wanita seperti Monic. Tapi rasanya andai perasaanku tersambut, maka apapun akan aku terjang biar bisa sama dia."

"Cieeee! Abang aku manis banget!"

Ken mengusap kasar rambut adiknya hingga beberapa helai rambut keluar dari kuncirnya hingga pemiliknya pun sewot. "Seneng banget yang abis jadian. Apa memang sesuka itu sama Romeo? Beberapa kali bertemu dengannya, abang rasa dia pria baik. Tapi kenapa abang tidak tahu kalo kalian dulu pacaran?"

"Waktu itu Abang masih di Ausy."

Ken mengangguk paham, lalu berdiri karena Monic berjalan ke arah adik kakak itu. "Apa ada yang kamu butuhkan?"

Monic tersenyum lalu mengatakan tidak dengan lambaian sepuluh jarinya. "Pak Ken sudah terlalu banyak membantu kami. Terima kasih banyak."

Ucapan terima kasih untuk kesekian kalinya dari wanita yang giat dalam setiap kegiatan sosial itu. "Apa semua persiapan sudah selesai?"

"Hanya psikis pasien yang kurang. Dia menolak berobat lagi, setelah semua sudah siap untuknya menjalani operasi pengangkatan tumor di rahimnya." Raut wajah cantik itu berubah sedih. Sudah Ken dengar bahwa calon pasien psikisnya terganggu setelah tindakan asusila yang dia alami. Si korban memilih mati. "Tapi teman-temanku akan membujuknya lagi."

Kesedihan Monic jelita amati, dan dia dapati bahwa rasa sedih itu tak hanya sebatas itu. "Dimas datang! Bang, aku ke dia dulu."

Halaman bangunan itu cukup luas dan teduh oleh beberapa pohon besar yang tumbuh. Saat sebuah mobil yang datang lalu berhenti di teduhnya salah satu pohon, Jelita menghampirinya. Niatnya yang lain, agar Ken bisa berbicara pribadi dengan Monic.

Romeo Untuk Jelita Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang