Kafe sudah tutup, semua lampu pun mati kecuali satu di sudut kafe. Jelita dan kedua kakak laki-lakinya masih di sana untuk membahas lebih lanjut haruskah pindah rumah seperti keinginan Leon atau tetap tinggal satu atap dengan kakek mereka yang suka ngatur. Dengan alasan demi Mala, Ken menolak pindah.
"Andai aku nggak mikirin Mama, aku udah pindah dari dulu." Ken masih keukeh pada pendiriannya.
Leon belum ingin menanggapi alasan masuk akal dari Ken. Pasalnya Leon tahu, bahwa sang ibu sangat patuh pada kedua orangtuanya. Hanya dia yang tinggal di rumah itu menemani Henri dan Rukma, sedangkan saudaranya yang lain memiliki rumah sendiri. Selain memang itu adalah salah satu paksaan dari Henri pada Mala.
Jelita yang menempelkan kepalanya dengan meja kayu sambil memainkan gelas kosong yang dia putar dari tadi, masih betah dengan posisi itu tapi serius mendengarkan. Dia tentu saja berat pindah rumah, dengan alasan penghuni rumah sebelah yang akhir-akhir ini terbayang di pelupuk mata.
"Bagaimana kalo Kakek marah, Bang?" Bukannya menjawab pertanyaan Leon, wanita itu malah balik bertanya.
"Udah kerjaannya begitu, 'kan? Apa-apa dia marah kalo nggak sesuai dengan isi pikirannya. Harus nurut! Nurut! Dan nurut! Tapi mau sampai kapan hidup kita disetir oleh Kakek? Abang kasihan sama kamu juga, Ta. Kamu bisa-bisa nggak nikah-nikah kalo mahar yang Kakek minta nggak bisa dipenuhi calon suamimu. Seperti yang sudah-sudah."
"Iya, nih! Aku sampai stres deh kayaknya." Jelita mengangkat kepalanya dengan lesu.
"Tapi nggak sampai suka sama suami orang juga ya, Jelita Asmara." Leon rupanya masih menyimpan kalimat Jelita pagi tadi. "Itu gila, adikku. Kasihan istrinya."
"Benar itu, Ta?" tanya Ken.
"Bang Leon salah paham, Bang. Bukan seperti itu kok." Usaha Jelita untuk menyelamatkan diri dari interogasi dua kakaknya.
Leon bersedekap seolah siap adu kata. "Dia tadi bilang sendiri kok, Bang. Telinga aku masih normal ya, Ta. Katakan siapa namanya? Abang tahu kamu itu tidak pandai berbohong."
Selain urusan yang Henri titahkan padanya, Jelita memang orang spontan jika bicara, malas menyaring dan banyak mikir. Dia akan mengatakan apa yang memang ada dalam pikirannya. Maka dia sulit menyembunyikan sesuatu, apalagi dari dua orang yang sudah paham betul akan dirinya. Ken dan Leon kompak menatapnya galak.
Duh, nggak selamat nih!
"Jelita?" Ken mendesak adiknya yang kini tak berani menatapnya. Tentu saja dia akan sangat menentang jika benar Jelita menyukai suami orang. Dia adalah korban dari orang yang seperti itu. Istrinya diganggu dan diinginkan pria lain, ya sudah, dia kasih. Toh, sebelumnya istrinya sudah menyerahkan diri. Itu artinya, Ken tak penting baginya. Buat apa dia bertahan jika istrinya saja tak menginginkannya.
"Kalo Monic 'kan, jelas single. Nggak salah andai Bang Ken suka dia. Tapi kalo ternyata benar kamu suka suami orang, abang yang akan bawa kamu menjauh! Kurang ajar itu namanya!" Leon sama galaknya.
"Ingat, Ta. Rumah tangga Mama dan Papa rusak karena orang ketiga. Rumah tangga abang pun begitu." Ken kian menambah dilema Jelita.
Akankah dia berterus terang saja?
"Begini Abang berdua, ini bukan yang seperti itu." Kebingungan Jelita nampak jelas, ditambah dia menyerobot minum dari gelas Leon lalu menghabiskan isinya.
"Lalu seperti apa?" Tuntut Leon. Dia seolah sudah siap buat meledak.
Jelita sepertinya memang harus menyerah. "Abang, tahu tetangga kita, 'kan?"
"Tetangga yang mana? Banyak rumah di sekitar rumah kita." Masih Leon yang membalas.
Jelita berdecak.
"Romeo?" Ken menebak lalu terkekeh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Romeo Untuk Jelita
RomansaJelita Asmara, nama yang cantik. Secantik orangnya. Namun sayang, jodoh tak kunjung datang. Kenapa kira-kira? Apa karena kutukan? Rasanya ingin menghilang kala acara kumpul keluarga digelar. Lelah mencari jawaban jika lagi-lagi dia ditanya, kapan n...