Mentang-mentang besok libur, kerjaan seolah enggan ditinggal hari ini. Hingga ujung sore, Jelita masih mengetik, menelepon, dan mencacat informasi. Sampai tak sempat untuk mengecap kebahagiaan yang tadi sempat dia rasakan saat makan siang bersama atasan rasa mantan pacarnya yang kini pun tengah sama sibuknya.
Mendengus kesal dan mengetik dengan hentakan agar suaranya sampai ke telinga satu-satunya teman dalam ruang kerjanya. Apalagi ketika menekan enter, seolah kesalnya terwakilkan dengan suara tekanannya yang keras.
Romeo melirik arlojinya, lalu tersenyum sendiri. Ternyata sudah jam lima lewat. Pantas saja sekretarisnya menekuk muka begitu dan berisik sekali dengan papan keyboard-nya.
"Pulang sendiri atau dijemput?" tanya Romeo lembut. Tapi tak dia dapati jawaban berselang beberapa detik kemudian. "Jelitaaaa ... "
"Sendiri." Jawaban yang terdengar hambar tanpa micin.
"Pulang bareng, yuk!" Sepertinya Romeo memang pandai membuat suara mendayu-dayu yang bikin merinding perempuan kala mendengarnya.
"Nggak deh, Pak. Takut makin ngarep."
Romeo berdiri, berbarengan dengan layar macbook Jelita yang padam. Kerjaannya tuntas untuk hari ini. Dua orang itu sibuk membereskan segala peralatan dan berkas yang berserak di meja masing-masing. Romeo sambil melirik, dan Jelita sibuk buang muka ke arah mana saja asal bukan pada Romeo.
"Saya duluan, Pak." Jelita pamit usai menaruh tali tasnya ke bahu.
"Kenapa manyun lagi, sih? Lagi dapet, ya?" Romeo mencoba menahan laju sekretarisnya dengan tanya. Karena berkas belum beres semua untuk dia rapikan.
"Cuma capek."
"Beli es krim?"
Jelita berdecak. "Aku bukan anak kecil." Itu kalimatnya seolah menolak, tapi kakinya malah mendekat, kemudian tangannya maju untuk membantu.
"Kesal kenapa, hm?" Lagi-lagi Romeo bertanya lembut.
"Nggak ada. Ayo pulang!" Jelita berbalik lalu melangkah tapi Romeo tahan dengan menarik tali tas wanita itu.
"Ih, kebiasaan! Tas aku putus gimana nanti?" Jelita memprotes setelah meneliti tasnya lalu menghela nafasnya karena tas itu baik-baik saja.
Romeo malah cengengesan, "nanti aku ganti yang talinya rantai. Biar kalo aku tarik nggak gampang putus." Dengan seksama dia amati wajah cantik yang makin cantik dari beberapa tahun lalu itu. "Langsung pulang atau makan es krim?"
"Aku bukan anak kecil!"
"Ya, baiklah. Kita pulang. Tapi kayak tadi, ya. Duduk di belakang ya, Ta."
"Iyaaaaa!"
***
Basement sudah sepi, hanya tinggal beberapa gelintir mobil yang masih terdiam di sana. Begitu remot mobil ditekan, Romeo membuka pintu untuk Jelita.
"Ta, tadi siang kamu udah bisa senyum. Kenapa sekarang begitu lagi? Apa aku kurang jelas ngomongnya?" tanya Romeo begitu mobil mulai berjalan.
"Boleh lihat KTP kamu?"
"Astaghfirullah. Kamu nggak percaya kalo aku single?"
"Mulut pria itu suka tipu-tipu. Sebaiknya aku tak mudah percaya."
"Oh, aku paham. Mungkin kamu ada trauma karena pernah gagal nikah lebih dari sekali."
"Tiga kali." Sahut Jelita agar lebih jelas.
Romeo pun terkekeh. Lalu menarik dompet dari saku celananya. "Nih! Lihat sendiri!" Benda kotak berbahan kulit itu dia ulurkan ke belakang tanpa melihat Jelita. Yang tadinya Jelita ragu untuk menerimanya, akhirnya menyambut juga setelah Romeo memintanya sekali lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Romeo Untuk Jelita
عاطفيةJelita Asmara, nama yang cantik. Secantik orangnya. Namun sayang, jodoh tak kunjung datang. Kenapa kira-kira? Apa karena kutukan? Rasanya ingin menghilang kala acara kumpul keluarga digelar. Lelah mencari jawaban jika lagi-lagi dia ditanya, kapan n...