"Kapan aku dilamar?"
Kalimat itu tertulis di bawah foto yang baru saja Jelita kirim untuk Romeo. Senyum bahagia dari Monic dan Ken tergambar jelas di gambar yang dia ambil dengan kamera ponselnya tadi, ketika akhirnya Monic setuju untuk menikah dengan Ken.
Meo❤️
Bukannya udah? Kemarin itu aku anggap udah lamar kamu, SayaaaangJelita tertawa lantaran kata 'sayang' yang Romeo pakai, lalu dia pun bertanya lagi, masih dalam perpesanan yang sama.
Anda
Meo? Apa tadi Kakek membuatmu takut?
Jelita dan kedua abangnya baru saja menunaikan sholat Maghrib berjamaah di mushola cafe n resto yang dimiliki oleh Ken itu. Hal yang baru pertama kali tiga bersaudara itu lakukan. Entah karena kesadaran atau karena Monic yang mengusulkan pada awalnya, agar mereka sholat berjamaah saja. Belum resmi jadi anggota keluarga saja, tapi pengaruh Monic sudah terlihat amat baik pada calon adik-adiknya. Kini sembari menunggu makanan dihidangkan untuk makan malam, Jelita asyik dengan ponselnya. Hingga Leon tiba-tiba duduk di sampingnya, ponsel itu pun dia letakkan pasrah di meja setelah dia mode pesawat.
"Abang dari mana?" tanya Jelita.
Leon menyugar rambut abu-abunya yang masih lembab bekas air wudhu dengan jari hingga membuat pesonanya menyebar ke segala arah. Sejak dia berada di cafe itu, beberapa pengunjung perempuan terlihat mencuri pandang padanya. Leon memang memiliki segala kesempurnaan sebagai calon pasangan idaman kebanyakan wanita. Postur tinggi, warna kulit bersih, paras tampan rupawan yang makin mempesona dengan rambut abu-abunya, ditambah kantongnya pun tebal. Perhatian sama keluarga pula. Ah, sempurna! Kecuali di bidang akhlak tentu saja.
"Abis telepon Bagas."
"Bagas? Temen Abang yang pengancara itu?"
"Iya. Ini mana sih makanannya? Abang dah laper banget ini," keluhnya sambil meraba perut datarnya.
"Bang Ken tiba-tiba pengen masak buat kita. Tunggu aja bentar lagi." Jelita tersenyum pada Monic yang lebih memilih jadi pengamat interaksi dua calon iparnya sejak tadi. "Mungkin biar dapat nilai bagus dari Mbak Monic sebagai calon suami yang jago masak."
Balasan Monic sebagai godaan itu hanya senyuman yang dia coba sembunyikan dengan menundukkan kepala. Semenjak tahu bahwa ternyata dia bukan wanita sempurna, ini adalah kali pertama keputusannya untuk keluar dari zona nyamannya. Zona di mana biasanya dia lebih memilih sendiri tanpa resiko menambah luka. Rupanya Ken terlihat beda di matanya yang menjadi pertimbangan baginya untuk mengambil resiko itu.
"Tapi Abang harus segera pergi. Ada urusan malam ini." Leon mulai bangkit, lalu mengusap kepala adiknya dengan sayang. "Pulang sama Bang Ken, ya. Ke apartemenku aja. Jangan ketemu kakek dulu. Jangan jika tanpa Abang Leon-mu ini."
Jelita mengangguk saja, tak ingin tahu alasan Leon memberi perintah begitu. Mungkin belum ingin Monic mendengar kekacauan di keluarga mereka. "Urusan apa sih malam-malam?" tanya Jelita.
"Bisnis."
"Bisnis gelap Abang pasti!"
"Tahu aja kamu!" Leon usap kasar hingga rambut Jelita berantakan dan wanita cantik itu jadi kesal.
"Udahlah, sana pergi! Hati-hati!"
"Pergi dulu ya, Mbak. Maaf soal insiden tadi, aku bakal ganti rugi kok. Nikmati jamuannya. Bang Ken jago masak, lumayan nanti kalo menikah ngirit ongkos jajan karena prinsip dia 'kalo bisa buat sendiri, kenapa beli?'"
Monic dan Jelita tertawa saat Leon bertutur demikian dengan logat yang meniru tegasnya Ken. Tak cocok diperankan oleh Leon yang cengengesan.
Leon pun hengkang setelah merasakan getaran di sakunya yang berasal dari panggilan masuk di ponselnya.
![](https://img.wattpad.com/cover/341199766-288-k267851.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Romeo Untuk Jelita
RomanceJelita Asmara, nama yang cantik. Secantik orangnya. Namun sayang, jodoh tak kunjung datang. Kenapa kira-kira? Apa karena kutukan? Rasanya ingin menghilang kala acara kumpul keluarga digelar. Lelah mencari jawaban jika lagi-lagi dia ditanya, kapan n...