"Jadi, Ta. Ini tuh, aplikasi yang cocok banget bagi para jomlo yang pengen dapat jodoh." Belinda menjelaskan dan Jelita serius mendengarkan sembari melihat kelincahan tangan Belinda menari di atas ponsel yang dia beli dengan dicicil itu. Baru saja kopi tandas, Belinda muncul ide untuk memperkenalkan aplikasi pencarian jodoh pada Jelita, daripada meladeni ocehan tentang menjadi perusak rumah tangga orang. "Kamu bisa video call sama cowok mana pun yang kamu suka."
"Gitu, ya?" Jelita manggut-manggut seolah tertarik.
"Apalagi kamu cantik, Ta. Banyak yang nyantol deh ntar. Ajak deh tuh ketemuan kalo kiranya kamu ada yang disuka. Kenalan sambil riset kiranya tebel nggak dompetnya, gitu."
"Tapi duit aku udah banyak, Bel." Ucap Jelita dengan santai.
"Iya, tau!" Sahut Belinda kesal. "Kamu baru lahir juga udah makan pake sendok emas." Gerutuan Belinda malah membuat Jelita tertawa.
"Ya, udah. Ajarin aku. Gimana pake aplikasi itu?"
Ehem ehem
Sejak kapan ada orang ketiga di pantry itu? Ah, rupanya jam makan siang sudah lewat tanpa sadar karena asyik membahas yang tidak perlu.
"Eh, Bapak." Jelita berdiri sambil tersenyum santun, diikuti Belinda yang berdiri juga. "Ini CMO baru," bisik Jelita pada temannya yang pucat pasi.
Romeo menatap dua wanita itu dengan galak. "Mencari teman kencan sampai lupa kerja?" tegurnya pada dua karyawati di depannya.
Belinda yang merasa tak enak, karena baru pertama bertemu. Tak tahu bagaimana cara basa-basi untuk meminta maaf karena kejadian tak terduga itu. "Aku balik ke tempat aku ya, Ta." Gantian dia yang berbisik pada temannya yang sama sekali tak menampakkan rasa bersalah karena terlambat kerja.
"Iya, duluan aja." Jelita mempersilahkan.
Dengan ragu dan perlahan serta kepalanya yang menunduk, Belinda ingin melewati Romeo yang tak lepas arah dari paras cantik sekretarisnya yang tak menunjukkan rasa bersalah.
"Ke ruangan sekarang!" Romeo tegas.
"Baik, Pak."
***
Enam belas empat puluh, angka itu tertera jelas ketika Jelita melirik ponselnya. Lalu wanita itu mendesah hingga bahunya terlihat turun. Hari pertamanya sebagai sekretaris seolah memberinya pengalaman untuk dia akhiri saja hari ini juga. Jangan ada hari kedua atau seterusnya.Meski begitu, tangannya dia giatkan lagi untuk mengetik di keyboard MacBook di depannya. Rangkuman hasil rapat tadi siang, belum selesai dia ketik karena tadi Romeo menyuruhnya menyalin data yang tak sedikit ke dalam flashdisk.
Ponselnya menjerit meminta perhatian. Nama dan wajah tampan abang keduanya tertera di layar.
"Hallo, Bang?" Sambutnya mengawali.
"Udah pulang?" tanya Leon seolah tak sabar. Ya karena ini kali kelima pria itu menghubunginya.
"Belum."
Terdengar umpatan dari seberang sana, hingga Jelita tertawa kecil. "Tak usah jemput. Aku udah bilang tadi."
"Abang yang antar, berarti abang yang jemput. Nggak usah lembur deh!" kata Leon kesal. "Kalo perlu nggak usah kerja, hidup kamu abang tanggung."
"Gagal nikah tiga kali udah cukup membuat kuping aku penuh cibiran. Jangan ditambah lagi jika jadi pengangguran. Bisa trending di keluarga besar."
"Siapa peduli!?! Lagian kamu mau Abang ajak pindah ke rumah abang. Sekalian mama dan Bang Ken."
Jelita melotot tak percaya. "Jangan bikin gaduh lah, Bang. Kasihan Mama."
"Akan aku buat Mama setuju. Ya, sudah. Pulang jam berapa pun, hubungi Abang. Jangan pulang sendiri. Adik abang cuma satu, kalo sampai ilang, nggak ada gantinya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Romeo Untuk Jelita
RomanceJelita Asmara, nama yang cantik. Secantik orangnya. Namun sayang, jodoh tak kunjung datang. Kenapa kira-kira? Apa karena kutukan? Rasanya ingin menghilang kala acara kumpul keluarga digelar. Lelah mencari jawaban jika lagi-lagi dia ditanya, kapan n...