Perjanjian Batal

237 51 17
                                    

"Lusa kalian nikah, tapi kenapa masih marahan?" tanya Jelita pada Naila yang tengah berkutat dengan masakannya. Jelita menginap di rumah itu sejak dua hari lalu, dan sekarang Naila sedang membuatkan calon adik iparnya itu sarapan.

Naila hanya tersenyum saja sebagai tanggapan awal dari pertanyaan heboh dari Jelita tadi. "Bukan Mbak yang marah, tapi abang kamu."

"Ah, Bang Leon! Emang begitu dia tuh! Tapi apa alasannya marah?"

Naila masih ingat jelas hari di mana dia keluar dari rumah sakit. Leon marah-marah padanya saat tahu dia pulang tanpa sepengetahuannya dan langsung berkutat dengan pekerjaannya di dapur. Sampai saat ini si pria berambut abu-abu tak nampak batang hidungnya meski sekedar setor muka jengkel saja pada calon istrinya.

"Wanita bodoh!" Umpat Leon waktu itu. Padahal Naila tak sedang sendirian kala itu, melainkan dengan lima karyawannya yang tengah memasak di dapur. Ada jadwal pesanan catering untuk malam harinya, jadi hari itu Naila minta keluar rumah sakit lebih awal. Sudah sering dia melakukan hal serupa jika ada tanggungan pesanan catering dan dirinya tengah menjalani perawatan.

"Kamu itu sekarat!" Masih umpatan Leon yang saat ini malah membuat Naila tersenyum dan Jelita makin bingung.

"Dia sebenarnya marah karena khawatir saja." Itulah yang Naila tangkap dari kemarahan Leon waktu itu, sampai saat ini pun Naila masih berpikir demikian.

"Ah, sudahlah! Bang Leon memang pemarah. Biarkan saja, yang penting kalian tetap menikah!" Jelita terlihat bahagia dengan kenyataan itu. Abang keduanya akan menikahi wanita sebaik Naila, meski sebenarnya ada hal besar yang melatarbelakangi pernikahan itu. "Sebenarnya, dia juga kesal padaku, Mbak. Jadi jangan heran kalo nantinya Bang Leon akan sering begitu. Mudah kesal. Mudah marah. Tapi akan sangat sulit melepaskan."

Naila sudah selesai dengan nasi goreng untuk Jelita lalu menghidangkan di depan wanita itu. "Kenapa dia marah padamu?"

"Karena aku menginap di sini kelamaan!" Jelita tertawa terbahak setelahnya. "Aku pengangguran ini. Harusnya nggak masalah, 'kan? Tapi Bang Leon bisa marah dengan caraku menghabiskan waktu. Sudahlah, biarkan saja. Aku kayaknya akan suka menginap di sini biar bisa dimasakin sama kamu terus, Mbak."

"Silahkan saja, Ta." Naila bahagia dengan peran barunya ini. Sungguh. Dia serasa memiliki adik perempuan.

"Tapi nasi Mbak mana?"

"Kamu aja yang makan."

"Oh." Respon Jelita yang sempat lupa bahwa Naila memang diharuskan membatasi makan dan minum terkait penyakitnya.

"Makanlah."

Jelita jadi berpikir, betapa tidak enaknya jadi Naila. Pintar masak, tapi tak bisa leluasa makan. Bahkan sekedar mengkonsumsi buah saja, Naila dilarang dengan alasan kesehatannya.

"Mbak bangunin Atta dulu, ya."

"Iya, Mbak."

Naila berlalu dan tinggal lah Jelita dengan sepiring nasi goreng yang masih mengepulkan asap dan terlihat nikmat. Setelah merapalkan doa makan, ponselnya berdering dan nama Leon tertera di layarnya.

"Assalamu'alaikum, Bang." Ini lah kebiasaan baru Jelita. Yaitu mengucap salam dan berdoa sebelum makan. Nasihat dari Romeo yang makin getol menasehatinya perihal agama. Bahkan kekasihnya itu menggunakan cara yang unik dan tak menyinggung perasaan Jelita. Misal, Romeo mengajak Jelita untuk memakai pakaian couple saat akad Leon dan Naila. Begitu bahagianya Jelita menyambut ajakan itu, meski saat bajunya diantar kurir ke rumah Ken, ternyata sebuah gamis dan kerudung. Jelita jadi paham, Romeo ingin dia berbelok ke arah kebaikan. Sekarang pun dia mulai perlahan memakai pakaian tertutup meski belum mengenakan jilbab.

Romeo Untuk Jelita Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang