Bab 8 Meo is Back

266 76 22
                                    

"Oke. Nggak masalah!" Romeo meringis lucu pada sekretarisnya. Benarkah dia akan bertanggung jawab? Kenapa bisa spontan begitu menjawab oke?

Itu memang kemauan hatinya barangkali. Hati yang kembali berdesir aneh seiiring pertemuan mereka kembali setelah dua belas tahun tak bertemu.

Tapi kenapa ya, Jelita tak terlihat senang saat Romeo berkata demikian? "Jangan deh! Kita gini aja. Jangan bikin aku nyaman. Kalo aku rasa udah nggak sanggup kerja sama kamu, aku mundur aja."

"Kenapa begitu?" Seolah Romeo tak rela.

"Karena aku nggak mau jadi pelakor! Buruan siap-siap! Aku tunggu di lobi." Jelita keluar dengan lesu, karena stok keberaniannya menyusut drastis secara tiba-tiba.

"Pelakor?" Romeo mengulang lalu tertawa. "Makin jelas aja, Ta. Aku memang masih tinggal di hati kamu."

***
"Aku mau sholat Jum'at dulu. Kamu bisa balik kantor duluan. Bisa nyetir, 'kan? Nanti biar aku naik taksi." Romeo menggulung kemeja sampai siku, setelah makan siang yang lebih awal disantapnya telah tandas.

Sembari membereskan barang-barangnya, Jelita terlihat lelah. Atau barangkali kesal. Tadi, dia mengusulkan untuk memakai sopir kantor saja, tapi Romeo maksa agar memakai mobilnya sendiri yang dia kemudikan sendiri. "Saya naik taksi saja, Pak."

"Kenapa?"

"Heran banget saya. Hari ini berapa kali Bapak tanya 'kenapa' pada saya. Cukup iyain aja, jangan tanya-tanya. Tasnya mau sekalian saya bawain, nggak?" Jelita sudah berdiri.

"Masih ada waktu, duduk dulu deh. Kita ngobrol pribadi." Putus Romeo setelah meragu beberapa kali.

Mendengar kata 'pribadi' Jelita merinding. Padahal saat melihat hantu saja, dia tak sampai begitu.

"Duduk, Jelita!"

"Nggak! Takut ada yang lihat kita. Terus disangka kita aneh-aneh. Saya balik kantor sekarang aja deh, Pak."

Romeo malah ikut berdiri, lalu mendekat pada wanita keras kepala itu. Tali tas selempang Jelita, dia tarik agar pemiliknya terduduk.

"Kenapa maksa?!" Jelita tak terima.

"Iyain aja! Jangan tanya-tanya." Gaya Romeo menirukan perkataan Jelita padanya, makin membuat Jelita kesal. "Jangan marah terus. Nanti cantiknya ilang."

Seperti dejavu. Dulu, Romeo sering mengatakan kalimat itu tiap kali Jelita ngambeg. Jantung pun berdegup dengan irama lebih kencang saat semua moment yang lama terkubur ikut terputar di pelupuk mata.

"Cantik nggak akan ilang hanya karena marah," balas Jelita.

"Kita damai bentar aja ya, Ta. Demi masa depan."

"Masa depan yang mana? Bukankah yang saat ini kita jalani adalah masa depan dari masa lalu?"

"Iya, tapi bisa 'kan kita buat lebih indah masa depan ini."

"Bukannya udah telat?"

Rasanya Romeo ingin melakban mulut Jelita sebentar saja. Tapi sayang, dia nggak bawa lakban. "Kalo nggak mau diem, aku pake caraku seperti dulu biar kamu diem!" Ancamnya yang membuat Jelita seketika menutup mulutnya dengan kedua tangannya. Sontak Romeo pun tertawa melihat tingkah wanita itu. "Oh, masih ingat rupanya?"

Menarik nafas dalam lalu menata perasaan, Romeo menyamankan posisi duduknya agar kata yang akan dia sampaikan bisa diterima dengan tanpa kesal oleh Jelita.

"Jelita," mulainya lembut. "Aku mau tanya dulu. Apa yang sebenarnya kamu dengar dan tahu tentang aku? Kenapa kata pelakor muncul tadi pagi?"

Sejenak Jelita berpikir. "Apa itu penting?"

Romeo Untuk Jelita Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang