Bab 10 Drama Yang Berbeda

280 67 29
                                    

Kala hati tengah bahagia, maka tidur akan sulit terlaksana. Hingga dengan banyak usaha meredam ledakan bahagia, akhirnya Jelita bisa menjemput mimpi setelah pukul tiga pagi. Rasanya baru semenit tertidur, pintu kamarnya sudah diketuk oleh seseorang sambil menyeru namanya dengan lembut. Mata yang masih lengket, dia paksa terbuka dan kakinya lunglai menapaki dinginnya lantai kamarnya.

"Bang Ken, kenapa ketuk pintu pagi buta begini?" tanya Jelita begitu pintu kamarnya telah dia buka. Sembari menunggu jawaban kakak tertuanya, Jelita berjalan sambil memejamkan mata menuju kasur empuk yang masih ingin dia nikmati sampai siang nanti.

"Pagi buta apa?" tanya Ken lalu terkekeh geli. Dia masuk lalu duduk di sofa panjang warna abu-abu di kamar itu. "Ini udah setengah tujuh, Jelita!"

"Jangan bercanda, Bang. Aku baru aja tidur."

Agar Jelita mau percaya dan membuka mata, semua tirai besar yang menggantung indah di kamar itu Ken buka dengan lebarnya.

Sinar mentari pagi pun masuk dan menyilaukan mata. Akhirnya Jelita mau membuka sepasang mata lengketnya.

"Setengah tujuh?!" Terkejut pada angka yang ditunjuk jarum jam dindingnya. Jelita akhirnya percaya dan terduduk sempurna dengan terpaksa.

"Hari ini kamu libur, 'kan? Ikut abang yuk!" Ken mengutarakan maksud kedatangannya ke kamar sang adik.

"Ke mana?" Pertanyaan Jelita yang kemudian menguap lebar tanda kantuk masih menggelayutinya.

"Jadi orang baik."

Jelita tersenyum kecil karena jawaban ambigu dari Ken. Apa selama ini mereka belum menjadi orang baik? Demikianlah pikiran wanita cantik yang mulai mencepol rambutnya asal itu. "Oke." Putusnya. Kebetulan hari ini dia tak ada rencana untuk mengisi hari liburnya.

Ken berdiri lega, dan cukup terheran juga. Kenapa adiknya tak bertanya lebih perihal ajakannya. "Jam delapan harus udah siap ya, Ta."

"Pagi banget?" Jelita tadinya mau nambah tidur lagi.

"Malu sama matahari. Cewek masa tidur lagi padahal udah pagi. Ntar jauh dari jodoh loh!" Ken putuskan untuk keluar dan saat mencapai pintu, dia menoleh lagi. "Mama dan Leon akan di Bandung untuk beberapa hari. Mama sudah setuju untuk pindah."

"Setuju?"

Ken mengangguk. "Leon berhasil membujuknya untuk meninggali rumahnya yang di Bandung."

Jelita melongo. "Kita pindah ke Bandung?"

"Begitu lah. Jadi kamu bersiap lah!"

Oh, tidak. Baru semalam sepakat backstreet. Apa sekarang harus LDR juga? Tapi jika mamanya sudah setuju, berarti ada pertimbangan hebat yang sudah dia lewati.

Jelita menoleh ke arah balkon, dan kakinya tanpa sadar turun dari ranjang lalu membawanya ke ruang terbuka di luar kamarnya itu.

Kebetulan, Jelita keluar bersamaan dengan Romeo yang juga keluar dari kamarnya. Jelita tersenyum sempurna sebagai sapaan untuk pria yang semalam mengajaknya balikan. Sementara Romeo, langsung berbalik badan lalu merogoh ponsel di saku celana training panjangnya.

Mendengar ponselnya berbunyi, Jelita masuk lagi ke kamar. Romeo yang menghubunginya.

"Meo?" Kata pembuka percakapan telepon dari Jelita. Cukup bingung harus menyapa bagaimana. Jadi, hanya panggilan kesayangan pria itu darinya ketika masih remaja dulu.

"Jelita."

"Iya."

Terdengar desahan nafas berat di ujung sana. "Ada apa sih?" tanya Jelita tak sabar.

Romeo Untuk Jelita Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang