Temani Aku Yang Lama

188 45 10
                                    

"Kenapa rambut Ayah panjang dan berwarna abu-abu?" Atta tak juga tidur meski sudah lewat jam tidurnya. Anak itu tadi sengaja menunggu Leon pulang kerja. Lima belas menit yang lalu Leon selesai membersihkan dirinya lalu bersiap tidur di kamar putranya seperti malam-malam sebelumnya.

"Ini style."

"Apa itu?"

"Gaya. Ini ada hubungannya dengan pekerjaan Ayah." Leon usap punggung Atta yang nampak belum mengantuk. Tapi Leon tengah mengusahakannya agar kantuk cepat menyandera bocah lima tahun itu. Dia ada perlu dengan istrinya, dan berharap Naila belum tidur.

Sebelum berbaring tadi, Leon sempat mengirim pesan singkat pada Naila agar menunggunya.

"Tapi cowok 'kan, nggak boleh kayak cewek. Rambut Ayah panjang, nanti dipanggil 'Mbak' loh!" Seolah Atta tengah menakuti ayahnya yang kini memberi respon tawa padanya.

"Kata siapa?"

"Bunda yang bilang. Cowok nggak boleh rambutnya panjang. Nanti dikira cewek terus dipanggil 'Mbak' bukan 'Mas'."

"Tapi Ayah ini berwajah tampan. Orang akan bisa membedakan, jadi tak akan salah panggil. Atta tidur, dong! Sudah malam ini."

"Atta belum ngantuk." Jawab Atta tak bohong. Justru Leon yang sudah memejamkan mata dan tak merasa terganggu meski Atta memainkan daun telinganya. Nampaknya akan banyak tanya dari bocah laki-laki itu sebelum kantuk menjemputnya. "Ayah?"

"Hm?"

"Kenapa telinga Ayah berlubang? Ayah pake anting?"

"Iya, sesekali."

"Tuh 'kan! Ayah kayak cewek!"

Leon terkekeh lalu mendekap erat tubuh putranya. "Kenapa jadi Ayah yang ngantuk sih ini? Tidur, yuk!"

"Baiklah. Atta akan baca doa."

"Nah! Anak pintar! Berdoalah."

Sambil mendengar lantunan doa dari Atta, perlahan kantuk datang. Leon pun terlelap dan lupa bahwa istrinya tengah menunggu di kamarnya. Hingga dua jam berlalu, Naila akhirnya memutuskan untuk mengambil wudhu. Dia pikir, Leon pasti sudah tidur.

Sudah biasa Naila mendirikan sholat witir seperti ini. Karena pikirannya susah lepas dari kata 'mati'. Dia takut tidak bisa sholat lagi karena nyawanya dicabut saat dia lelap tidur.

Indah sekali hidupnya akhir-akhir ini, hati Naila bergetar saat mengucap terima kasih pada Tuhannya ketika berdoa. Ada banyak hal yang dia pinta, termasuk sehat kembali. Hal yang selama ini dia pikir mustahil.

"Aamiin." Suara bariton terdengar saat Naila menutup doanya dengan mengusap wajahnya dengan kedua tangan. Leon sudah berada di belakangnya, duduk di kursi meja rias sambil membaca satu buku yang dia ambil dari rak.

Sejak kapan pria itu masuk? Naila berpikir demikian.

"Aku buka pintu pelan sekali. Aku pikir kamu sudah tidur. Maaf membuatmu menunggu." Leon berdiri mendekati istrinya yang masuk duduk di hamparan sajadah. "Kenapa? Kakinya kesemutan lagi?"

Naila mengangguk dengan senyumnya. Rupanya Leon hafal dengan kesemutan yang sering Naila rasakan jika berdiam di waktu yang lama. Dengan perlahan kedua kakinya dia luruskan agar kesemutannya segera pergi.

"Atta menyusahkan Anda?" tanya Naila.

"Tidak sama sekali. Dia hanya banyak bertanya padaku. Dia anak yang pintar. Kamu belum tidur sama sekali?"

"Tadinya setelah ini." Naila telah selesai melipat mukenanya.

"Baiklah. Aku bantu kamu." Leon pun angkat tubuh kurus istrinya ke ranjang. "Tidurlah." Titahnya usai mengecup dahi wanita yang sudah menyandera penuh hatinya itu.

Romeo Untuk Jelita Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang