Tamu Terakhir

187 49 12
                                    

"Kenapa lihat akunya begitu? Nggak pernah lihat orang setampan aku, hah?" Leon baru saja datang yang entah dari mana. Begitu memasuki rumah, Naila malah menyambutnya dengan raut wajah terkejut. Bahkan saat Leon mencium kedua pipi dan keningnya pun Naila masih mematung.

Sebab apa?

Karena Leon nampak lain. Rambut abu-abu panjang sebahunya sudah tak ada. Dia menjelma lebih kalem dengan rambut hitam dengan potongan undercut-nya.

"Bang, rambutnya kenapa?" Naila mulai bertanya saat keduanya sudah berada di dalam kamar.

"Aku potong dan cat hitam. Apa malah terlihat aneh?"

"Ti-tidak."

Leon raih pinggang istrinya agar lebih dekat mengamati wajah bingung dan terkejut Naila. "Katakan! Aku tampan, tidak?"

"I-iya."

"Hanya itu?" Leon memberi tatapan nakal hingga Naila salah tingkah dalam rengkuhannya. "Puji aku jika memang aku tampan."

"Susah dikatakan."

"Apa ketampananku sampai tak bisa diungkapkan dengan kata-kata, Nai?"

Leon yang selalu percaya diri memang sangat Naila sukai. Tak ada yang senarsis suaminya ini, menurutnya. "Saya nggak nemu alasannya aja. Kenapa tiba-tiba potong rambut? Saya tahu anda sangat menyukai rambut abu-abu anda selama ini."

"Kamu akan tahu apa alasannya nanti."

"Nanti?"

Leon hanya tersenyum seraya melepas istrinya lalu jaket, disusul jam tangan dan sepatunya. Dengan patuh Naila simpan barang-barang itu ke tempatnya, sudah biasa seperti itu. Meski sekarang sudah larut malam, Naila akan tidur setelah suaminya pulang.

"Tadi ke rumah sakit, 'kan?" tanya Leon saat Naila mengulurkan sebuah handuk padanya.

Naila mengangguk tapi raut wajahnya berubah sedih. "Kenapa Anda keras kepala?"

"Karena aku ingin istriku hidup lebih lama. Aku mandi dulu." Kaki Leon melangkah menuju kamar mandi, tapi tiba-tiba Naila memeluknya dari belakang.

"Saya akan rajin cuci darah. Saya nggak akan bosan. Anda tak perlu berkorban untuk saya." Permohonan Naila dalam dekapan itu.

Dokter sudah memberi tahu Naila tentang kesediaan Leon mendonorkan satu ginjal untuknya. Pria itu juga sudah dinyatakan sehat dan lolos sebagai pendonor. Tinggal persetujuan Naila saja untuk mewujudkan cara agar Naila berhenti cuci darah dan sehat kembali.

"Kamu tak kasihan padaku, Nai?" Leon bertanya amat lembut sambil menggenggam tangan yang melingkari dadanya. "Aku tak pernah mencintai wanita sebelum kamu. Ada banyak hal yang ingin aku lakukan bersamamu. Sederhana saja, Nai. Aku ingin traktir kamu makan dengan cahaya lilin dan diiringi musik romantis tanpa harus mencemaskan apapun."

"Saya takut anda kenapa-kenapa. Hidup anda lebih berharga."

"Kamu pun sangat berharga buat aku, Naila Farhana." Perlahan Leon berbalik. Dia tahu istrinya itu menangis lagi. Selalu begini selama beberapa bulan ini jika membahas tentang transplantasi ginjal. "Dokter udah ngejelasin sama kamu 'kan pasti. Semua aman, Nai. Kamu nggak ada komplikasi penyakit lain, dan aku sehat. Setidaknya lakukan ini demi Atta."

Atta. Bocah kecil yang sekarang jadi kesayangan nenek serta om tantenya. Naila pikir, putranya itu akan dilimpahi banyak kasih sayang meski dia tak ada di sisinya.

"Atau demi aku deh!" Tambah Leon saat tak ada respon apapun dari istrinya selain tatapan penuh air mata. "Kamu mati, aku mati. Kamu hidup, aku hidup."

"Maksudnya apa bilang begitu? Jangan ikutan mati, nanti Atta bagaimana?"

Romeo Untuk Jelita Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang