"Nggak lah!" Jelita menolak tuduhannya sendiri akan kelakuannya, tentang betapa bahagianya dia. Saat ini dia sedang menali sepatu yang akan menemaninya bersepeda keliling komplek elit perumahannya sepagi ini. "Lagian bahagia kenapa?" tambahnya menyangkal. Seolah belum cukup dia yakinkan dirinya bahwa dia tak sebahagia itu.
Wanita tinggi semampai itu pun berdiri lalu mematut diri di kaca, selalu cantik dengan kuncir kudanya. Meski gagal tidur sampai siang, seperti rencananya semalam, wajahnya sama sekali tak terlihat mengantuk.
Jelita tersenyum entah untuk hitungan yang ke berapa. Jantungnya juga tak berdetak macam biasa, lebih semangat saja rasanya. "Apa karena aku kurang tidur?" tanda tanyanya saat memegang dada. "Iya, kali ya. Bukan karena dia datang atau apa."
Ini karena peristiwa lampu menyala di bangunan samping rumahnya. Sudah hitungan tahun memang, rumah tetangganya itu gelap tak berpenghuni selain tukang bersih-bersih dan penjaga rumah. Ditambah beberapa makhluk halus yang kadang dia lihat.
Jangan heran, Jelita memang memiliki kemampuan tak biasa itu semenjak menjadi ahli forensik. Melihat jin atau hantu, atau apalah namanya lalu menemaninya bekerja di kamar mayat dalam diam, atau sesekali dia ajak bicara. Namun tak ada yang tahu, karena dia tak pernah bercerita pada siapapun agar tak dianggap gila. Dia sudah dicap aneh, kalau dicap gila juga, akan makin jauh dia dari jodohnya. Begitulah anggapannya.
Sebenarnya siapa tetangga yang membuat hatinya berbunga itu?
Namanya Romeo Ananda Bachtiar. Tetangga rasa teman lama sekaligus mantan pacar pertamanya. Cinta monyet lah. Sebut saja demikian karena ketika jalinan itu ada, mereka masih remaja berusia 16 tahun.
Dua belas tahun sudah berlalu dari masa itu.
"Apa dia masih mengingatku?" Seolah itu pengharapannya. "Ck! Buat apa juga dia ingat? Tapi harusnya masih ingat, 'kan? Biasanya wanita cantik susah dilupain."
Kamar bernuansa pastel itu pun akhirnya dia tinggalkan setelah rasa percaya dirinya melambung tinggi meski sedikit rasa geli menusuk hati. Padahal, isi pikirannya belum tentu benar. Belum tentu Romeo yang datang ke rumah itu.
"Mau ke mana? Mama kira kamu masih tidur," tanya Mala__mamanya.
"Jelita mau sepedaan, Ma." Jelita berbagi sofa dengan sang ibu yang tengah berkutat dengan ponselnya. Mala sedang membaca beberapa email ditemani secangkir kopi di ruang keluarga dengan televisi besar yang menyala.
"Tumben?"
Jelita tersenyum canggung. "Tahun baru, kebiasaan baru."
"Sama siapa?"
"Sendiri lah. Atau Mama mau ikut?" Meski itu hanya sekedar tawaran yang tidak tulus. Jelita tahu ibunya itu tak akan ikut karena sudah mengenakan baju rapi, yang dia tebak pasti ada urusan di luar rumah. Juga sebenarnya dia tak ingin ketahuan ingin memeriksa rumah sebelah.
Benarkah pemiliknya sudah kembali?
"Jelita berangkat ya, Ma."
Mala mengangguk setelah menyesap kopi hitam tanpa gulanya. "Mama mau ke Bandung."
"Kerja di tanggal merah?" Langkahnya terhenti. Fokus pada ibunya.
"Hanya memastikan persiapan fashion show."
Itulah pekerjaan Kemala Ayu, ibunya. Seorang designer ternama tanah air. "Apa kamu mau ikut?" Gantian Mala yang memberi tawaran.
"Tidak." Jelita selalu menolak berkecimpung di dunia fashion yang ibunya geluti. Namun sesekali dia akan bersedia menjadi peraga busana berbandrol jutaan karya ibunya itu. "Ya, udah. Mama hati-hati, ya. Jelita berangkat."
![](https://img.wattpad.com/cover/341199766-288-k267851.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Romeo Untuk Jelita
RomanceJelita Asmara, nama yang cantik. Secantik orangnya. Namun sayang, jodoh tak kunjung datang. Kenapa kira-kira? Apa karena kutukan? Rasanya ingin menghilang kala acara kumpul keluarga digelar. Lelah mencari jawaban jika lagi-lagi dia ditanya, kapan n...