Terima Kasih, Leon

192 46 17
                                    

Jelita keluar dari rumah Ken dengan amat ceria, karena Romeo datang menjemputnya. "Pagi, Meo!" Sapanya dengan aura merah jambu menuju kekasihnya yang tadi ketika menelepon dan berkata akan menjemputnya, mengajukan sedikit protes. Berapa banyak alamat yang harus Romeo hafal jika ingin menjemput pujaan hatinya itu? Alamat jelasnya di samping rumah, tapi sesekali wanita itu akan tinggal di Bandung, dan pagi ini di rumah abang pertama. Belum lagi jika tiba-tiba menginap di rumah abang kedua yang entah berada di mana.

"Pagi, Jelita!" Romeo tersenyum dan masih sekuat hati untuk tak lama-lama menatap sepasang mata Jelita. "Heran! Ini makhluk kapan terlihat jeleknya, sih? Selalu aja cantik! Masyaa Allah."

Kekehan Jelita terdengar riang saat mulai masuk mobil di bagian penumpang. Romeo membukakan pintu belakang sopir untuknya. "Kenapa tiba-tiba bermalam di sini?" tanya Romeo yang mulai menyalakan mesin mobilnya.

"Semalam main ke kafe Bang Ken sampai malam banget. Makanya menginap di sini karena rumah ini yang paling dekat."

"Atau sebenarnya kalian ini lagi bermasalah sama kakek kalian?"

"Meo jangan sok tahu gitu, ih! Juga ini, tumben kamu pengen jemput?"

"Pengen spesialin kamu aja. Sebagai tanda perpisahan."

"Perpisahan?!"

Melalui spion di depannya Romeo melihat pantulan wajah Jelita yang terkejut. "Ini hari terakhir aku jadi atasan kamu." Mobil Romeo sudah melaju di jalan beraspal dengan kecepatan sedang. Pria dengan setelan kemeja warna navy dan celana bahan berwarna hitam tanpa dasi itu kemudian menarik nafasnya berat. "Semalam dikasih tahu sama asisten Pak Surya, aku sudah resmi pindah ke Balikpapan. Emang ya, dekat sama kamu akan banyak hal di luar dugaan yang terjadi di hidup aku. Apa segitu nggak pantasnya ya, aku buat kamu?"

"Meo ... " Jelita mengerucutkan bibirnya dengan lucu. "Jangan tinggalin aku lagi sih! Tega, ya?"

"Coba aku pengen tahu dulu. Seingin apa kamu untuk aku tetap tinggal?"

"Teramat sangat ingin sekali. Jika kamu dimutasi, aku lebih baik resign sekalian."

"Loh, kok gitu?"

"Lagian aku kerja cuma biar terlihat tidak nganggur aja."

Romeo pun sukses tertawa karena penuturan kekasihnya itu. Meskipun dia tahu bahwa hal itu juga karena Jelita adalah putri dari designer ternama dan keluarganya pun kaya raya. "Jadi ibu rumah tangga mau, nggak? Biar nggak nganggur."

"Bapak rumah tangganya siapa dulu tapi?"

"Tentu saja, aku!"

"Kapan itu?"

Romeo sejenak terdiam lalu mengambil udara sebanyak-banyaknya untuk dia hirup agar bisa membuat sedikit mengurangi beban yang bersarang di dadanya. "Kenalan sama Mama dulu, deh. Jujur, Ta. Mama kurang suka kita dekat."

"Aku udah tebak! Rasanya memang penghalang kita itu restu." Gantian Jelita yang menarik dalam nafasnya sembari pasrah bersandar di kursinya. "Pasti mama kamu punya calon yang lain buat kamu. Yang seperti itu, 'kan?"

Romeo pun mengangguk. "Di satu sisi, aku begitu ingin menyandingmu. Tapi di sisi lain ada Mama yang memilihkan calon lain untukku." Dia belum berani jujur jika pilihan mamanya adalah kakak iparnya sendiri.

Meski wajah Jelita  sempat terlihat sedih, tapi bibirnya kemudian dia tarik ke atas. "Baiklah. Ayo kita ketemu mama kamu! Apapun hasilnya nanti, kita hadapi bersama. Jika akhirnya kamu harus menikahi pilihan mama kamu, nanti abis itu nikahi aku, ya. Aku nggak masalah kok jadi yang kedua."

"Astaga, Taaaa! Jauh banget sampai ke situ. Siapa juga yang mau jadiin kamu istri kedua?"

Jelita cemberut lucu, "ya, abisnya gimana? Masa aku gagal nikah lagi?" Kedua kakinya kini dia hentakkan bak anak kecil yang merajuk.

Romeo Untuk Jelita Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang