Bab 12 Leon Dan Banyak Rahasia

244 61 23
                                    

Jelita tak jadi menerima panggilan telepon dari Romeo karena lebih dulu melihat Ken keluar dari kantor Monic dengan wajah yang bisa terbaca murung oleh adiknya itu. Dia biarkan dering ponselnya mati sendiri, karena Ken lebih prioritas saat ini. Pria itu seperti habis dijatuhi vonis mati saja. Berjalan lunglai yang bukan cerminan Ken sekali.

Apa Monic menolak cinta Ken? Pikiran Jelita seenaknya menebak. Lebih dari itu, Jelita.

"Bang?"

Sapaan dari adiknya Ken abaikan, dan melewatinya begitu saja. Hingga Jelita memanggilnya lagi, tapi hasilnya pun sama. Ken seolah tak mendengar namanya dipanggil dan tak menyadari keberadaan adiknya.

Dunianya menggelap seketika.

"Aku pulang duluan ya, Dim. Lain kali jumpa lagi." Jelita menggoyangkan gelas esnya yang tinggal berisi setengahnya. "Makasih buat traktirannya."

Setelah Dimas mengangguk sambil memberi jempol tanda setuju, Jelita turun dari kap mobil dan berjalan setengah berlari menuju mobil sang kakak. Begitu sampai, Jelita langsung masuk dan duduk di samping kursi kemudi karena Ken sudah duduk di sana. "Kenapa?" Pertanyaan lembut Jelita yang ikut sedih tiba-tiba karena bahu Ken bergetar  sambil menyembunyikan wajahnya di setir mobil.

Ken menangis.

"Aku aja yang nyetir, Bang." Jelita buka suara setelah beberapa detik dia memilih diam dan hanya mengusap bahu bergetar itu. Tak ada niat bertanya lebih, mungkin simpati lebih Ken butuhkan saat ini.

Tak Jelita sadari satu tetes air matanya jatuh untuk Ken yang entah mengalami apa.

Akhirnya Ken mau mengangkat wajahnya yang merah dengan mata basah untuk menoleh pada Jelita. Mungkin bukan pertama kalinya dia menangis di depan sang adik, jadi tak ada yang merasa perlu dia sembunyikan.

"Kita ke Bandung yuk, Ta. Aku kangen Mama." Pinta Kenandra yang langsung diangguki setuju oleh Jelita, dengan syarat wanita itu lah yang menyetir.

Setelah bertukar kursi, dan Jelita siap menyalakan mesin mobil berwarna merah itu, dia teringat pada Romeo. Satu pesan akhirnya dia kirim pada pria yang saat ini tengah uring-uringan tanpa sepengetahuannya itu.

Anda
Meo, aku ke Bandung.

Pesan yang tak Jelita tunggu balasannya itu telah terkirim dan ponsel segera dia pasang mode senyap. Dia siap menemui sang ibu. Dia pun rindu.

***
"Ke Bandung ngapain coba?" Dua kali Romeo bertanya pada ponselnya. Benda mati mana bisa menjawab, dia tahu itu. "Apa dengan pria itu?"

"Yanda!" Seruan riang dari Atta yang tengah berlari ke arahnya sambil menggenggam es krim cone rasa coklat.

Romeo tahan dulu kekalutan batinnya, tersadar bahwa dia masih bersama keponakan tersayangnya juga Naila. Dia menyongsong Atta lalu menggendongnya. "Abis makan es krim, kita pulang ya?"

"Kenapa Yanda? Kita belum lihat Dino?" Anak kecil yang belepotan itu berhenti menjilat es krim, dan matanya mengerjap menunggu Romeo menjawab.

"Yanda ada perlu." Perlu waktu untuk menggalau wanita yang dicintainya. Tiba-tiba melapor ke Bandung setelah mengirim foto bersama seorang pria. Hati Romeo tentu terbakar saat ini. "Lain kali, ya. Kalo yanda libur lagi."

"Sama Bunda juga, ya?!"

Romeo menoleh pada Naila yang berjalan menyamai langkahnya. "Yanda nggak janji tapi, ya." Lalu laju kakinya dia percepat seolah ingin meninggalkan ibu dari Atta itu di belakang.

Hari yang bagaimana sih ini? Mau kesal saja nggak leluasa. Yang pasti, Romeo butuh kepastian kabar Jelita.

Apa dengan pria itu? Ya Allah, Jelita. Bisaan kamu ya, bikin aku nafas aja nggak jenak.

Romeo Untuk Jelita Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang