Sepanjang hari aku sibuk menyelesaikan tugas yang dibebankan oleh editor: mengejar penyanyi dangdut yang sedang naik daun, mengorek informasi kedekatannya dengan salah satu pengusaha batu bara, dan menjadikan topik berita utama. Inilah susahnya kerja di majalah yang fokusnya gosip. Tidak seperti politikus, seniman, maupun pejabat. Meliput artis justru menguras emosi karena mereka kadang tidak bisa ditemui sesuka hati, terlebih bila kami, para pemburu berita, hanya mengincar kasus negatif saja. Lagi pula, siapa juga yang suka diberitakan buruk?
Yah mau bagaimana lagi? Namanya juga kerja. Suka atau tidak, harus dilakukan. Hanya dengan informasi yang bersedia dituturkan oleh penyanyi itu saja aku bisa mendapatkan cuan.
Padahal dulu aku bercita-cita bekerja di koran sekelas Kompas atau jadi karyawati di CNN. Mimpi tinggal mimpi. Mencari pekerjaan di ibu kota sama seperti mencoba menemukan jarum dalam tumpukan jerami. Susah-susah gampang. Lebih ke susahnya daripada gampang. Sekalinya menemukan pekerjaan yang cocok di gaji, ternyata lingkungan kerjanya tidak kondusif. Kadang lingkungan dan pertemanan kerjanya bagus, tapi gajinya payah. Oh ada juga lingkungan dan gaji oke, tapi bosnya membuatku ingin menenggak es susu bergelas-gelas.
Sebenarnya semua rintangan bisa kuhadapi dengan senyum dan semangat. Iya, bisa. Andai aku terlahir sebagai anak konglomerat, sudah pasti akan kupilih jurusan komunikasi atau sastra. Jangan lupa pilih universitas bonafide. Sudah pasti nasibku akan sedikit lebih baik daripada sekarang. Sekalipun ada beban kerja, setidaknya aku bisa melarikan diri di akhir pekan dengan cara belanja gila-gilaan. Beli ini, itu, ini, dan itu. Wah menyenangkan.
Akan tetapi, semua itu hanya mimpi di siang bolong. Lihat saja diriku. Celana jins yang warnanya pudar, kemeja dengan kancing yang kujahit ulang, sepatu yang alasnya mulai aus, rambut lepek berminyak karena seharian terpapar sinar matahari, kulit kusam, dan ... masa mudaku telah lewat.
Tengah malam, berteman sepi, ingin rasanya menangis saja.
Iya, menangis tidak akan menyelesaikan masalah. Penyanyi dangdut itu harus tetap kukejar, editorku masih akan menunggu hasil wawancara, dan sejumlah tagihan wajib dibayar. Namun, air mata merupakan salah satu sarana melegakan letupan emosi. Jika seseorang bahkan sudah tidak mampu meneteskan air mata ketika berada di titik terendah, sudah pasti bukan hanya raga saja yang lelah, melainkan juga jiwa. Pasti menyesakkan. Semua emosi negatif menggumpal, menyumbat saluran emosi, dan akhirnya seseorang kehilangan kemampuan mengenali emosinya. Kondisi semacam itu berbahaya dan butuh penanganan ahli.
Barangkali aku akan mencoba menonton Hachiko. Pasti nanti juga akan menangis dengan sendirinya.
Dulu hidupku tidak seperti ini. Sekalipun aku hanyalah anak adopsi, tetapi keluargaku memperlakukanku dengan amat baik. Mereka memberiku segala yang terbaik. Makanan, pakaian, pendidikan, dan semua yang kuminta pasti terkabul. Andai saja waktu itu aku tidak gelap mata, maka hidupku pasti jauh lebih baik daripada sekarang.
Ah pasti ceritaku sedikit membingungkan. Baiklah akan kujelaskan.
Hidup yang kujalani saat ini merupakan kehidupan kedua. Ya, aku pernah mati dan entah bagaimana lahir di negeri ini, Indonesia. Tempat asalku tidak tertulis di semesta ini. Di sana juga tidak ada negara Indonesia, Jepang, Inggris, maupun India. Benar-benar berbeda, tetapi serupa. Teknologi, gaya busana, kuliner, dan lain-lain tidak ada bedanya dengan di sini. Hanya jumlah negara dan namanya saja yang berbeda, selebihnya sih sama.
Kembali ke topik perihal kehidupan pertamaku. Ah ya, aku tidak tahu identitas orangtua kandungku. Semenjak bayi aku dibesarkan oleh keluarga adopsiku yakni, keluarga Austen. Merekalah yang membesarkanku selama ini. Alasan mereka mengadopsiku pun karena putri kandung mereka hilang. Sebagai golongan keluarga ningrat tidak mengherankan bila ada orang tidak suka dengan kebahagiaan pasangan Austen. Seseorang melakukan siasat jahat. Putri kandung pasangan Austen diculik. Mereka berusaha mencari, tapi tidak membuahkan hasil.
KAMU SEDANG MEMBACA
SUGAR SUGAR LOVE (TAMAT)
RomanceSeorang pendengki, pemarah, dan tidak tahu diri. Itulah diriku pada kehidupan pertama. Lantas pada kehidupan kedua aku belajar dari pengalaman: berhenti iri terhadap kehidupan orang lain, berusaha menerima segalanya dengan sudut pandang baru, bersek...