2

11.1K 1.1K 29
                                    

Sebagai manusia filosofi yang kuyakini tidaklah indah. Aku hanya menyukai apa yang orang lain pikir merupakan pencapaian tertinggi dalam hidup: memiliki barang bermerek, menghabiskan pekan di klub malam bersama sekelompok nona kaya, mengincar lelaki yang bisa menaikkan nilaiku di hadapan pesaingku, berusaha menyingkirkan Joana karena dia ancaman bagi eksistensiku, dan tidak peduli dengan anggapan maupun perasaan orang lain. Apa pun yang orangtua angkatku anggap bijak tidaklah penting. Asal aku senang, asal orang lain berada di bawah kakiku, semua perkara baik dan buruk hanya omong kosong belaka.

Sungguh masa muda yang sia-sia belaka. Aku tidak bisa menerima kenyataan bahwa selalu ada langit di atas langit. Kebodohan menggiringku ke jurang kehancuran. Terlambat menyadari bahwa semua pilihan yang kuambil hanya sia-sia belaka.

Orangtua angkatku kecewa. 

Semua orang yang kuanggap bisa menolong memilih berpaling dan pura-pura tidak mengenaliku.

Aku terasing. Sendirian. Putus asa.

Bila mengingat semua kejahatan yang pernah kuperbuat di kehidupan pertamaku, mati di tangan ayah pemabuk tidak terlalu buruk. Aku pantas mendapatkannya. Dosa-dosa seperti tinta yang mengotori tanganku. Sekeras apa pun usahaku membersihkannya dengan sabun, noda-noda itu tidak akan terbilas bersih.

Jatuh ke neraka pun tidak masalah. Lagi pula, tidak akan ada bedanya. Hidup seperti simulasi neraka, kata salah satu rekan kerjaku. Benar juga yang dia katakan. Sekalipun ada tujuan, hidup milikku bagai di neraka.

Neraka di kehidupan pertama merupakan hasil dari perbuatan jahatku, sementara neraka di kehidupan kedua adalah karma dari perbuatan pertamaku.

Oke, sekarang aku siap menempuh neraka lain!

“Serius?”

Iya, maksudku ... serius?

Kupikir setelah tewas di tangan pemabuk, aku akan menjalani kehidupan baru di dimensi lain. Selama ini kecurigaanku mengenai karma dan lingkaran nestapa tiada akhir selalu menghantuiku, membuatku takut berekspektasi. Lebih baik bersiap menerima kemungkinan terburuk daripada sakit hati karena realitas tidak sesuai angan.

Halo, aku siap menerima identitas baru bahkan sebagai anak pelayan sekalipun. Namun, apa ini?!

Pertama kali yang kulihat begitu sadar ialah langit-langit yang familier. Bagaimanapun juga takkan mungkin aku lupa kamarku sendiri. Bukan kamar biasa tempat segala tumpukan pekerjaan tertimbun di lantai, melainkan ruangan mewah yang dulu sempat kumiliki ketika hidup sebagai Nana Austen, anak adopsi pasangan Austen.

Sontak aku mencari kalender yang tergeletak di meja belajar. Tanggal, bulan, dan tahun menunjukkan bahwa aku kembali di masa lalu ... atau begitulah tebakanku. Kembali tepat ketika aku berusia 23 tahun.

Oh aku ingat! Seminggu setelah wisuda! Ah sial! Sial!

Aku berjongkok, mencoba mengendalikan deru napas, dan berusaha mengingat hal-hal penting yang mungkin terlewat.

23 tahun? 23 tahun?! 23 TAHUN!

Astaga itu artinya Joana sudah ada di sini, di kediaman Austen! Aku pasti sudah melakukan serangkaian kejahatan mulai dari merebut barang baru yang Mama belikan untuk Joana karena iri, mempermalukan Joana di pesta, dan OH AKU INGIN MATI SAJA!

Bagaimana ini? Oh setop, tidak boleh panik. Tidak ada masalah yang tidak memiliki solusi. Jalan keluar pasti selalu ada. Iya juga, ya?

Aku hanya perlu mencari pekerjaan dan mengabaikan godaan mengganggu Joana, tapi tetot! Mencari pekerjaan? Nilai IPK-ku saja tidak bagus. Dulu aku kuliah hanya untuk mengisi waktu luang dan cari perhatian saja. Mana ada perusahaan yang mau menerima tenaga kerja yang nilai dan kemampuannya saja di bawah rata-rata? Yang ada jadi beban. Setidaknya kalau ingin melamar pekerjaan aku harus memiliki pengalaman magang, beberapa lembar sertifikat seminar, atau....

SUGAR SUGAR LOVE (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang