18

5.8K 797 17
                                    

Sekalipun aku memiliki uang, tetap saja ada hal yang membuatku iri dengki sampai mati. Salah satunya, tidak perlu dipaksa menikah dengan alasan apa pun. Maksudku, sungguh beruntug deh mereka yang tidak diburu waktu maupun keharusan membuktikan apa pun kepada siapa pun. Contoh, menikah. Iya, hal semacam itu. Pasti sedikit tenang hidup seseorang. Dia hanya perlu menjalani hidup sesuai dengan kehendak dan kemampuan. Tidak dipaksa mengikuti aturan main buatan orang lain. Dengan begitu, beban hidup jadi tidak menggunung.

Menikah, kan, urusan yang tidak bisa diputuskan seenaknya. Hanya karena orang lain menikah dan hidup bahagia, bukan berarti tidak ada masalah dalam mahligai pernikahan. Aku tidak habis pikir dengan semangat Leana mendorongku ke pelukan Abel. Setidaknya biarkan aku beradaptasi dan menemukan alasan untuk menjalani kehidupan yang ia idamkan akan terjadi kepadaku.

Di kehidupan kedua yang pernah kujalani kasus KDRT, perceraian, perselingkuhan, dan belum termasuk berbagai masalah pasangan suami istri memonopoli rubrik berita. Ekonomi menjadi momok paling mematikan.

“Udah, jalani dulu saja. Rezeki sudah ada yang mengatur.”

Hmm maaf. Sebagai orang pesimis tingkat gawat darurat, aku tidak bisa menjalani hidup tanpa persiapan. Memangnya menikah itu hanya perlu penghulu, resepsi, foto bahagia, malam pertama panas, dan sudah? Begitu? Tentu saja tidak! Andai nanti aku menikah dan kesulitan dana ini dan itu, orang yang menyuruhku menikah apa bersedia membantu kesulitan finansial? Pasti tidak dong. Hahahaha jangan bercanda, Ferguso.

Aku tidak ingin menikah hanya karena agar terlihat normal di mata masyarakat. Tahu sendiri, ‘kan, betapa pedas mulut emak-emak? Tidak menikah? Hahaha pasti akan ada gosip semacam ini: tidak laku, kurang pergaulan, homo, lesbi, penganut ilmu keramat, atau apalah. Padahal menikah itu menyangkut banyak unsur. Dua keluarga jadi satu. Jangan sampai ketika aku menikah ternyata tidak cocok dengan mertua, atau kaget menemukan kebiasaan buruk suamiku, atau tidak sanggup menjadi ibu.

Semua itu perlu dipersiapkan dan dipelajari! Terutama menjadi ibu. Aku tidak ingin jadi ibu yang ketika berada pada posisi down, sangat susah, kemudian bertengkar dengan suami di hadapan anak. “Ah anak pasti lupa. Mereka, kan, masih kecil.” Tidak, ya! Anak-anak sekalipun tidak bisa mengingat dengan jelas detail pertengkaran orangtuanya, tapi mereka tahu pernah mengalami “itu”. Lalu, kemungkinan terburuk. Jadi ibu yang gemar memukul buah hatinya, membandingkan anaknya dengan anak tetangga, dan memarahinya menggunakan bahasa jahat. Aku tidak ingin menjadi bagian dari lingkungan semacam itu!

Memang sialan kehidupan keduaku! Aku tidak sadar bahwa sisa-sisa amarah serta trauma yang ditinggalkan oleh lelaki itu, ayahku, bisa sangat menakutkan. Bahkan terbawa hingga di kehidupanku yang kini. Sialan!

Pernikahan! Bah!

Oleh karena itu, demi menghindarkan kesalahpahaman ... oke, demi menguji Abel dan memastikan perasaanku aman, maka aku pun mengajaknya pergi ke suatu tempat. Ya, nama tempat tersebut adalah La Beauty.

Uhuk maaf. Bagiku saat menikmati makanan manis, ketegangan dalam diriku bisa mereda.

Untung Abel bersedia. Dia bahkan menyarankan beberapa menu kue cokelat yang terpopuler di La Beauty.

Setelah memakan beberapa suap kue, aku memberanikan diri memulai topik pembicaraan.

“Abel,” kataku dengan segenap keberanian, “bukan bermaksud tidak sopan, tapi.... Mengenai pertunangan, perjodohan, dan sebagainya ... aku, sejujurnya masih nyaman dengan status jomlo.”

Aku kira Abel akan membelalak, mengamuk seperti King Kong kemudian melempari semua orang dengan piring, dan menyatakan perang. Namun, itu semua tidak terjadi. Dia justru memamerkan senyum. Senyum sehangat matahari pagi, semanis karamel, dan oh apa itu karena dia ganteng makanya semua terlihat oke saja?

SUGAR SUGAR LOVE (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang