Ingat kata ayah dan ibu jika ada orang asing berkata, “Dek, mau permen?”
Sebaiknya jangan gegabah.Persis!
Jangan gegabah.
“Ke-kencan?” Aku mencoba menemukan jendela jawaban yang mungkin muncul di atas kepala Abel. Seperti saat tengah bermain game pasti, kan, ada jendela di layar. Di sana berisi pedoman, pilihan, dan keterangan identitas pemain. Sayangnya, tentu saja, itu tidak ada.
Betapa aku ingin meyakini bahwa ada seorang cowok keren tertarik kepadaku. Padahal jelas karakterku tidak baik. Koreksi, hanya ketika berurusan dengan Daniel saja aku berubah jadi setan alas. Selainnya sih aku oke, kurasa. Oh sekarang cowok ini berani uji nyali? Kalau dia tidak sakit (di saraf) mungkin ada ... ow.
“Kamu ingin kencan denganku? Aku? Apa tidak salah?”
Seulas senyum manis menghias bibir Abel. “Kenapa kamu begitu menganggap remeh dirimu sendiri?”
Dengan kata lain, dia menganggap dirinya keren. Heh bukan itu yang kumaksud! Iya, dia keren. Sebelas dua belas dengan Daniel, menurutku. Hanya saja beda aura. Daniel itu ibarat angsa: lembut, kalem, dan bikin penasaran. Berada di sekitar Daniel membuatku tenang (oke deh tidak terlalu tenang karena hormon cinta itu kadang menyebalkan. Untung hormon itu sudah menguap bersama keringat ketika aku menjadi wartawan gosip). Apa pun terasa normal andai kukorbankan demi Daniel.
Abel Lawrence? Dia ... emm ibarat predator, macan kumbang sepertinya cocok menggambarkan Abel secara utuh. Di luar saja ia terlihat manis dan tidak mengancam, tapi (entah kenapa) alaram dalam diriku berdering kencang. Peringatan! Peringatan! Halo, halo, halooooo! Apa ini semua sekadar ketakutan tidak berdasar saja atau diriku memang sebegitu kerontangnya hingga lupa cara mengapresiasi seseorang yang memperhatikan minat terhadapku? Aduh kacau.
Pertama-tama akan kuhentikan kesintinganku.
“Siapa yang nggak kenal Lawrence sih?” Aku mulai mengincar kue yang hampir saja terabaikan olehku. Setelah puas menikmati sepotong kecil, kecil sekali bagi perut mantan pekerja dengan gaji yang menyedihkan, aku berusaha menata kalimat agar terdengar sedikit intelek. “Aneh lah tiba-tiba kamu mau kencan dengan cewek yang bahkan reputasinya dipertanyakan.”
“Apa kamu hobi mabuk?”
“Enggak.” Mabuk cinta sih iyes.
“Pernah menjalin hubungan dengan suami orang lain?”
“Enakan cari cowok single.” Terjemahan, enakan mengejar Daniel (pada saat aku masih gila dan kurang ajar).
“Terlibat perbuatan kriminal?”
“Pernah melibas cewek kurang ajar sih,” jawabku sembari menusukkan garpu ke kue. “Soalnya mereka ngeselin.”
Bicara mengenai cewek menyebalkan, ternyata aku menemukan Lina di antara hadirin. Dia mengenakan gaun yang memamerkan bahu dan kutebak menampakkan punggung telanjang seksi. Dia memegang segelas wine dan sepertinya sibuk mengamati Daniel yang ow sedang berbincang dengan Joana. (Katakan kepadaku bahwa Daniel sebenarnya suka Joana dan segala alasan yang ia utarakan kepadaku itu palsu belaka! Dasar cowok!)
“Oke,” sahut Abel, santai. “Nggak masalah. Kamu kedengarannya nggak buruk-buruk amat. Apa aku perlu mempresentasikan masa laluku?”
“Hah? Nggak usah. Maksudku itu ... kenapa kamu mau mengajak kencan seseorang yang belum tentu naksir kamu?” Soalnya aku tetap tergiur hidup di pinggiran Kota Metro. Sejauh mungkin dari kemungkinan berseberangan jalan dengan pemuja Joana. “Biasanya cowok selalu suka cewek yang cantik dan cerdas. Aku nggak cerdas.”
“Tapi, kamu cantik?”
Pipiku membara. Emaaaak! Sungguh terlalu. “Ya-yaaaa enggak gitu.”
“Kalau begitu tidak ada salahnya kita mengamini permintaan orangtua,” Abel menyarankan. “Kita bisa mencoba saling mengenal, huh?”

KAMU SEDANG MEMBACA
SUGAR SUGAR LOVE (TAMAT)
RomanceSeorang pendengki, pemarah, dan tidak tahu diri. Itulah diriku pada kehidupan pertama. Lantas pada kehidupan kedua aku belajar dari pengalaman: berhenti iri terhadap kehidupan orang lain, berusaha menerima segalanya dengan sudut pandang baru, bersek...