Sejak kapan Daniel menonton kegilaanku? Eh koreksi, aku tidak gila! Bukankah orang menyenangkan diri sendiri melalui menyanyi, menari, atau bicara dengan diri sendiri itu normal? Iya, 'kan? Waras? Tidak ada yang di luar nalar. Wajar. Lagi pula, tidak baik memendam emosi negatif. Lebih baik meluapkannya dengan kegiatan positif daripada....
Masa bodoh! Dia pasti sudah menganggap otakku miring.
"Joana tidak ada di sini," kataku menjelaskan, berlagak tidak terganggu.
Perlahan kurapikan gembor. Lekas memunggungi Daniel. Tidak mungkin aku sanggup berbicara dengan tenang saat menatap langsung wajahnya-wajah yang selama dua puluh tahun lebih coba kulupakan. Sekalipun rela melepas obsesiku terhadap Daniel, tetapi serpihan hati menggores diriku. Setiap pecahan menampilkan betapa konyol dan putus asanya diriku dalam usaha meraih perhatian Daniel. Berharap dia peduli, tapi keinginanku tidak terpenuhi. Hanya sakit hati dan kekecewaan yang datang.
Dulu aku menyalahkan Joana. Hanya dia, yang pada saat itu, pantas menjadi terdakwa. Aku butuh orang yang bisa kusalahkan. Konyol. Egois. Butuh dua puluh tahun lebih bagiku mampu melihat segalanya dengan jelas. Daniel memang tidak tertarik kepadaku secara romantis. Perbuatanku menyakiti Joana hanyalah manifestasi dari keseluruhan emosi buruk milikku yang butuh pelampiasan. Tindakan yang semakin menghancurkanku. Masa depan, mimpi, bahkan hidupku.
Sekarang semua telah menjadi masa lalu. Nasi telah menjadi bubur. Aku telah menjalani semua masa hukuman dan tidak ada yang kusesali. Perasaan cinta sudah lama mati. Realitas? Oh bukan, aku sendiri yang menghancurkan semua perasaan cinta yang pernah mekar untuk Daniel. Bunga cintaku tidak pernah benar-benar hidup. Aku membunuhnya. Aku membunuh ekspektasiku.
"Kamu pasti ingin bertemu Joana, 'kan?" Tenggorokkanku terasa sakit. Susah payah aku mengendalikan ledakan emosi, memaksanya padam. "Dia tidak ada di sini."
"Aku tahu."
Apa bicara lebih dari dua patah kata akan membunuhnya?
Aku berjongkok, pura-pura sibuk dengan cara mengamati daun tomat. Tiba-tiba saja tanaman itu terlihat menarik untuk diperhatikan secara mendetail. "Tumben mampir. Biasanya juga langsung ... hmmm daun ini unik. Aku akan mengabadikannya dalam potret."
Stuck!
Tidak ada satu topik pembicaraan pun. Otakku macet dan satu-satunya yang bisa kupikirkan adalah daun tomat! Kuraih ponsel dari saku. Berharap tindakanku memotret tomat bisa membuat Daniel kehilangan minat dan pergi!
"Kenapa kamu nggak tertarik bergabung dengan Joana?"
MAMA! Jantungku hampir saja meloncat keluar. Kupikir dia akan kabur, bosan, dan melupakanku. Ternyata dia justru memilih mendekat dan ikut berjongkok di sampingku. Sialan.
Hatiku kuat! Aku takkan tertarik dengan cinta pertamaku! Cukup sekali sakit hati ini! Masih ada banyak cowok, sekalipun fiksi, di dunia ini. Aku bisa mencoba menjalin hubungan dengan salah satu dari mereka.
"Karena aku nggak suka kerja kantoran," jawabku sembari mengambil beberapa potret daun tomat. "Di sana aku cuma jadi beban. Kalau ada kerjaan diam-saja-selama-dua-jam dan dibayar, nah aku nggak keberatan!"
"Kamu bisa belajar dari Joana."
Dih kok maksa?
"Aku nggak ingin merepotkan Joana," kataku sok bijak. "Kamu belum menjawab pertanyaanku. Kenapa kamu bisa ada di sini? Bukankah di luar tertulis 'lahan eklusif punya Nana'? Itu artinya siapa pun nggak boleh masuk kecuali ingin menawarkan diri sebagai relawan gratis."
"Suaramu kencang," katanya dengan nada suara, yang anehnya, terdengar bersahabat. "Aku penasaran apa ada babi yang disembelih?"
Tidak ada damai di antara kita!
KAMU SEDANG MEMBACA
SUGAR SUGAR LOVE (TAMAT)
RomanceSeorang pendengki, pemarah, dan tidak tahu diri. Itulah diriku pada kehidupan pertama. Lantas pada kehidupan kedua aku belajar dari pengalaman: berhenti iri terhadap kehidupan orang lain, berusaha menerima segalanya dengan sudut pandang baru, bersek...