“Kenapa kalian ada di sini?”
Sabtu pagi, yang seharusnya segar dan menyenangkan, pun terkontaminasi kehadiran penyusup! Oh aku koreksi. Bukan penyusup, melainkan sepasang kepo: Joana dan Daniel. Mereka, kan, seharusnya sibuk bekerja. Tahu, ‘kan? Menumpuk uang, menjaring keuntungan, dan memperkaya keluarga. Sebagaimana kaisar dan permaisuri bisnis menghabiskan waktu.
Iya. Begitu!
Lantas mengapa mereka justru memilih bersarang di rumah kaca? Bersamaku? Kalau sekadar membantu sih tidak masalah. Namun, beda cerita bila mereka justru ikut mengorek informasi dariku terkait kencan.
“Apa kalian tidak ada kerjaan, heh?” tanyaku sembari menyelamatkan pot tomat yang hampir saja jadi korban kebiadaban Daniel. Sedari tadi dia memegang gunting dan memotong daun yang menurutnya tidak sehat. Sekarang si tomat, yang sepertinya akan menangis sepanjang malam karena hanya memiliki tiga lembar daun mungil, aman bersama saudara-saudara sepersayuran dan sepercabaian. Sialan deh Daniel!
“Mama yang nyuruh,” Joana berkilah. Berbeda dengan Daniel yang berbakat sebagai pembunuh tanaman, Joana tampak ahli dalam memberi pupuk untuk mawar damaskus yang dihadiahkan Martin kepadaku minggu lalu. “Dia bilang harus mendengarkan pengalamanmu dalam berkencan agar aku nggak kuper.”
“Kamu, kan, memang nggak kuper,” selorohku tidak terima dengan pendapat Leana bahwa si Joana ini termasuk kurang pergaulan. Percayalah dia ini justru ratu di antara bunga. Cuma dia yang bisa membuat cowok kelojotan panas dingin dengan cara elegan dan anggun. Tidak perlu menggunakan trik pamer aset. Andai aku punya badan bagus pun akan kupamerkan secara bombastis. Haha sayang itu tidak mungkin. Lagi pula, reputasiku tidak sebagus itu.
“Jadi, bagaimana kencannya?”
Joana.... Di luar saja dia terlihat cuek. Ternyata tetap saja, ya?
“Main, makan, pulang,” jawabku seperlunya. Padahal biasanya jongkok di depan tanaman seharian pun tidak membosankan. Sekarang rasanya ingin kabur ke kamar, rebahan, dan mendengarkan ramalan bintang mengenai garis keberuntungan di bidang finansial. “Nggak ada yang istimewa.”
Hmmm sebentar. Ada satu yang istimewa!
“Ah!” seruku sambil bertepuk tangan. “Aku ketemu balita. Gemas deh. Namanya Kayla. Sumpah baru kali ini aku melihat anak kecil seimut, manis, dan menggemaskan. Aku ingin menculiknya!”
“Na,” Daniel memperingatkan, “sebaiknya kamu urungkan ide apa pun mengenai menculik Kayla. Kamu tahu ayahnya siapa?”
“Aku nggak mau tahu ayahnya huh,” dengusku sok keren. “Cukup balitanya saja.”
“Dia putra Collin,” Joana menerangkan. Dia susah selesai memupuk mawar. Kali ini ia meregangkan tangan dan mengerang seolah baru saja memahat seribu candi dalam satu malam. “Setahuku dia sangat protektif terhadap putrinya.”
“Dulu saja Papa hampir kena serangan jantung gara-gara menggendong Kayla tanpa izin,” Daniel menambahkan. “Sekalipun Kayla-nya sendiri nggak masalah dan suka berteman dengan anak mana pun, tapi ayahnya beda.”
“Jangan bilang kamu mengincar duda!” teriak Joana. “Na, sebagai kakakmu, dan sebaiknya kamu dengarkan aku, jangan!”
Keningku berkerut dan huh tidak adakah dia antara mereka berdua yang memiliki imajinasi normal? Aku mendekati duda? Cukup Abel saja yang menyebalkan!
“Sebaiknya aku ketemu Mama,” kata Joana. Ekspresinya seolah baru saja menelan minuman asam. “Sebelum terlambat.” Dia langsung kabur secepat kilat dan tidak memedulikan panggilanku.
“Kok dia mikirnya sampai segitunya sih?” tanyaku kepada diri sendiri.
Aku bangkit, membersihkan paha dan lengan dari debu, kemudian menghela napas.
KAMU SEDANG MEMBACA
SUGAR SUGAR LOVE (TAMAT)
RomanceSeorang pendengki, pemarah, dan tidak tahu diri. Itulah diriku pada kehidupan pertama. Lantas pada kehidupan kedua aku belajar dari pengalaman: berhenti iri terhadap kehidupan orang lain, berusaha menerima segalanya dengan sudut pandang baru, bersek...