22

5.1K 737 16
                                    

Pemberitaan Cibir.Com semakin meyakinkanku perihal betapa buruk pilihan Lina.

Satu, dia bisa saja berhenti menggangguku. Namun, apa? Dia seperti kuda liar. Terus menyepak, menendang, masa bodoh dengan hak asasi manusia lain. Kesetanan! Ampun deh! Bahkan kucing yang sedang birahi pun paham etika daripada dirinya!

Dua, jauh lebih berguna mencari saran dari buku semacam “cara menggaet cowok lewat pelet” daripada menyudutkanku. Iya, ‘kan? Maksudku, cewek yang sedang dilanda kasmaran pasti ingin terlihat cantik di depan cowok yang ia taksir. Apa tidak berbahaya memusatkan seluruh tenaga dan perhatian kepadaku? Bagaimana kalau Daniel kepincut cewek lain yang lebih seksi, cantik, kaya, dan terutama “waras” daripada Lina? Tuh, ‘kan! Lina tidak mempertimbangkan hal semacam itu. Edan!

Tiga, cinta berhasil membutakan Lina. Apa pun akan dia lakukan asal Daniel bersedia memberi respons sekalipun itu sekadar salam berupa hai atau oke. Sialan memang. Iya, sialan. Posisiku? Sudah jelas. Bagi Lina aku setara pelakor! Dia tidak bisa membedakan antara calon rival, rival, mantan rival, selingkuhan, wanita simpanan, teman dekat, dan pelakor! Tahu begini kujambak saja dia. Aduh mengapa tidak terpikirkan ide menata rambut Lina? Gaya yang kusebut dengan “semriwing” karena nanti dia tidak memiliki rambut ala bintang film.

Dasar sialan! (Duh berapa kali aku mengumpat.)

Bagaimana tidak sialan? Aku hanya ingin menghindari pengalaman tidak menyenangkan yang sempat menimpaku di kehidupan pertama. Tidak kurang. Tidak lebih. Namun, Lina membuatku merasa jengah dan terancam! Apanya yang wanita saling dukung? Adanya saling tikung! Tusuk, tendang, jambak! Apa itu? Manusia purba barangkali lebih elegan daripada Lina. (Oh aku tidak akan bosan membandingkan Lina dengan makhluk apa pun termasuk yuki onna sekalipun!)

Akibat reaksi Lina yang terlalu drama, aku jadi kesulitan beraktifitas. Padahal rencananya ingin menjual beberapa bros mutiara ke pegadaian, tapi kamera wartawan selalu saja mengabadikan potretku. Tiba-tiba aku jadi artis dadakan. Wajah menghias layar ponsel maupun televisi, bermacam pemberitaan beredar bebas, dan aku merasa menjadi pihak paling rugi!

Batal mencari hunian baru.

Ucapkan selamat tinggal pada kemandirian.

Seseorang harus menerima kemarahanku. Jelas dong!

Oleh karena itu, demi melindungi masa depan cemerlang aku pun menghubungi Abel. Maaf saja, ya. Aku ini bukan orang suci. Ada akses kok tidak dimanfaatkan sebaik mungkin? Rugi!

Seperti dugaanku Abel langsung menyanggupi permintaanku untuk bertemu.

Sayangnya aku melewatkan sesuatu.

Sesuatu yang penting!

Abel, tidak seperti diriku, orang sibuk. Dia sedang ada rapat. Berhubung aku telanjur meminta janji temu saat itu juga, maka mau tidak mau aku pun mengamini sarannya agar pergi ke kantor.

Kupikir aku perlu minta bantuan Leana. Pesan taksi, tidak mungkin karena aku takut diserbu wartawan ataupun emak-emak yang menuduhku sebagai perebut calon pacar Lina. Jelas naik kendaraan pribadi merupakan pilihan teraman.

Akan tetapi, Abel mengirim mobil untuk menjemputku. Si sopir, tidak seperti sopir dalam sinetron yang mengenakan seragam ala kadarnya, memakai pakaian rapi dan necis. Paripurna!

“Duh anak Mama,” Leana menggoda. “Dijemput pacar. Ada untungnya ya kena gosip.”

Untung? Percayalah sungguh aku tidak keberatan membotaki Lina. (Asal ada orang yang bersedia menjadi bentengku!)

“Tuh,” Leana melanjutkan, “kamu dandannya manis banget.”

Rok putih dipadu atasan berwarna biru muda. Sepatu berhias sulaman kupu-kupu merah. Tas yang harganya melebihi sedan. Hmmm aku cantik dan menarik. Terima kasih.

SUGAR SUGAR LOVE (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang