Semua hal yang terpendam dalam diriku berhasil kusampaikan kepada Leana. Penyesalan, haru, dan syukur. Permohonan maaf. Dia adalah ibu terhebat yang pernah kumiliki setelah ibu kandung dari kehidupan keduaku. Aku hanyalah anak angkat. Adopsi. Putri yang dilahirkan oleh wanita asing. Leana memberiku cinta dan kasih sayang. Barangkali karena luapan cinta yang ia curahkan kepadaku terlalu menggebu hingga membutakan mata hatiku. Membuatku kehilangan kemanusiaan karena harta.
Setelah puas menangis, aku pamit kembali ke kamar. Bukan untuk melanjutkan acara menangis, melainkan melakukan kegiatan sortir. Mulai dari tas bermerek yang harganya membuatku ingin muntah darah. Paling murah setara dengan 25 juta rupiah! Betapa borosnya diriku! 25 juta? Itu setara dengan uang simpananku! Uang simpanan yang makin mengerut karena terkena biaya admin di bank. Uang pemberian mendiang ibuku. Nominal itu terlihat kerdil di depan kemakmuran Austen!
“Oh oke,” kataku sembari mengangguk-angguk. “Tas bermerek memang oke, tapi hidup damai jauh lebih penting daripada koleksi tas.”
Kemudian tas lain. Tas mungil berwarna ungu dengan lambang huruf G. Tas satu ini seharga enam puluh juta! Mama! Aku harus segera mencairkannya menjadi dana persiapan meninggalkan kediaman Austen. Coba bayangkan uang yang bisa kudapat dari penjualan tas, sepatu, perhiasan, dan baju? Ahahahaha aku bisa hidup makmur! Lupakan mencari pekerjaan, aku bisa mulai deposito dan investasi. Cerdas!
Tanpa ba, bi, dan bu lekas saja kumasukkan dua tas tersebut ke kantong belanja. Kemudian aku beralih ke nakas dan mulai membuka laci. Ada satu kotak mungil. Sebuah gelang berhias bintang dan bulan terlihat berkilau. Aku ingat. Leana menghabiskan 45 juta demi mendapatkan gelang ini! Dia bahkan menghadihaiku sepasang sepatu berhias mutiara yang kalau kutotal sekitar lima puluh juta.
“Wow, kekayaan ini bisa membangkitkan setan dalam diriku.”
Kucari ransel. Untung tas masa SMA-ku masih ada, belum dibuang olehku. Lekas saja kumasukkan dua tas mungil, beberapa perhiasan, dan sepasang sepatu.
“Wuhuuuuu sukses.”
Aku mematut diri di depan cermin, mengagumi kecantikan yang dulu tidak kusyukuri. Kulit sehat, rambut lebat, dan bibir segar tanpa tanda-tanda kekurangan nutrisi. Wow! mengapa dulu kemewahan semacam ini tidak bisa kupahami? Dih kurang kerjaan sekali aku ini hingga meributkan Joana? Memangnya mengapa kalau Joana lebih cantik daripada diriku? Aku sehat! Itu yang penting! Sehat dan bugar!
“Eh nggak ada waktu mengagumi diri sendiri!” ujarku, kesal.
Lekas kucari pakaian. Namun, lemariku hanya menyimpan dres, atasan berupa blus dan kemeja, lalu rok. TIDAK ADA CELANA JINS? Aduh mana bisa aku naik ojek pakai rok? Dulu aku memilih pakaian yang terkesan lembut demi menarik perhatian seorang cowok. Cowok yang lebih memilih menjauhiku daripada pura-pura baik kepadaku. Dia merupakan anak pengusaha ternama. Iyups salah satu teman Joana, musuhku (yang sekarang kuanggap sebagai mantan musuh).
Mau tidak mau aku memilih kemeja dengan kerah kanji dan bawahan berupa rok berwarna lavendel. Roknya sepanjang lutut dan yang terpenting tidak ketat! Demi melindungi kaki dari kemungkinan lecet akibat berjalan dalam jangka waktu lama, aku memilih sepatu tali.
Tidak mengenakan riasan? Ih tidak dong. Ancaman sengatan matahari tidak boleh diremehkan. Cukup pelembap dan tabir surya! Bibir? Oh jangan sampai kena dehidrasi. Aku pulaskan pelembap demi melindungi aset kecantikanku.
Sempurna!
Jam di ponsel menunjukkan pukul satu siang.
“Saatnya mengumpulkan uang!” seruku bersemangat.
Aku tidak mengatakan apa pun kepada Leana. Hanya lambaian singkat.
Pakai sopir keluarga Austen? Ih jangan. Bisa-bisa rencanaku terkuak. Paling aman adalah pakai taksi. Pertama aku pergi ke bank dan mengurus rekening baru. Lantas kemudian aku pergi ke salah satu pegadaian ternama di Kota Metro. Di sana kuserahkan dua tas, satu gelang, dan satu pasang sepatu. Surat-surat kepemilikan pun tidak luput kuberikan karena aku memang tidak berniat membelinya kembali. Gadaikan saja. Jual! Ini demi masa depanku!
Uang tunai langsung ditransfer ke rekening baru. Aku tersenyum puas melihat deretan angka dalam ponselku yang menyatakan jumlah saldo dalam rekening.
Puas dengan hasil kerja kerasku, kuputuskan mampir ke salah satu kafe di mal. Kebetulan gedung pegadaian letaknya tidak jauh dari mal. Pengunjung di kafe didominasi oleh pekerja kantoran dan anak muda. Musik bernada lembut mengalun merdu. Kurang apa lagi kenikmatan ini? Iya, kurang makan! Aku akan menyenangkan diri dengan makanan enak!
Steak ayam dan jus melon. Kusantap sampai tandas. Setelah itu aku memesan pencuci mulut berupa pie stroberi. Perut kenyang, hati senang! Hebat!
Puas? Tentu tidak! Aku mencoba menyegarkan otot di area permainan. Pertama lemaskan otot dengan bermain pukul tikus tanah atau apalah yang muncul dalam kotak mainan. Berkali-kali kuhantamkan palu sembari berteriak kegirangan. Orang sampai berdecak mengagumi ketidakwarasanku, beberapa ada yang menganggapku cewek baru putus. “Kasihan, pasti cowoknya selingkuh sampai dia semarah itu.” Ya, bolehlah. Terserah. Aku ingin membebaskan kepenatan di masa laluku!
Bekerja sebagai wartawan gosip sungguh melelahkan. Setiap hari aku kena tekanan dari atasan dan itu belum termasuk gaji dan uang makanku! Jangan lupakan ayah pemabuk! Aku berhak melampiaskan kegelisahanku!
“Rasakan! Rasakan! Dasar jahat!” teriakku sembari menghantam kepala-kepala tikus. “Aku capek! Capek!”
Napasku terengah-engah, semua beban telah meluncur keluar, lepas.
“Nah begitu,” pujiku, “puas.”
Usai main aku melenggang pergi. Dunia terlihat indaaaah. Apalagi rekeningku. Indah bukan main.
Sepanjang perjalanan pulang aku mendendangkan lagu apa pun yang kuanggap enak didengar. Satpam, pelayan keluarga Austen ... mereka tidak berani mengomentari kelakuan aneh bin ajaibku.
“Lelaki buaya darat. Busyet! Aku tertipu lagi uwowowo,” dendangku dengan suara lantang. “Mulutnya manis sekali, tapi hati bagai serigala. Huwouwo kutertipu lagi. Oh uwouwo....”
“...”
... dan mulutku terkatup rapat ketika melihat di ruang tamu ada Joana dan Leana. Bukan hanya keluarga Austen, di ruang tamu ternyata ada mantan-cowok-yang-kutaksir-tapi-gagal! Aaaaaa!
Aku butuh lubang! Lubang!
“Nana, tumben,” kata Leana sembari tersenyum simpul. “Biasanya kamu cemberut dan marah-marah. Tadi peluk Mama sambil minta maaf, sekarang nyanyi-nyanyi. Volume suaranya kencang sekali, Nak.”
‘Tolong pura-pura saja aku nggak ada. Please. Please. Please....’
Yang tentu saja tidak dikabulkan. Leana berceloteh seolah perbuatanku itu manis. Manis?!
Oh aku belum siap menghadapi Joana dan mantan-incaran-calon-pacarku!
“Joana, coba kamu dan Daniel belajar dari Nana,” Leana menyarankan. “Kalian kerja terus sampai lupa waktu.”
Ya, Daniel Montez. Cowok yang pernah ada di hatiku. Sialan. Aku ingin jadi kucing! Miaaaaw!
Joana hanya tersenyum, sementara Daniel ... yah aku tidak ingin tahu dan tidak mau tahu. Masa lalu tinggal masa lalu. Dulu Daniel tidak mau membalas perasaanku dan sekarang pun pasti begitu. Mohon maaf, menjadi orang serbasusah telah mengajariku bahwa cowok yang tidak mau menganggap keberadaanku penting itu artinya saatnya mundur. Munduuur! Sial!
“Ma,” aku memotong cerocosan Leana sebelum makin menjadi, “aku boleh ke kamar? Lelah.”
“Sayang, kamu butuh Mama temani?”
Aku menggeleng. “Enggak kok. Cuma ingin tidur siang.”
Secepat kilat aku kabur dan tidak menoleh ke belakang.
Gila!
***
Selesai ditulis pada 25 Mei 2023.***
Hiks. Sebenarnya saya ada rencana menerbitkan Baby Edna sekalian. Cuma malam ini saya kena gangguan. (0_0) Bukan setan kok. Cuma tetangga muter musik kuwenceng! Jadi, hmmm begitulah.Semoga besok saya bisa double update. Semoga saja.
Hiks.
I love you, teman-temaaaaaaaan.
Muaaaaaah!
KAMU SEDANG MEMBACA
SUGAR SUGAR LOVE (TAMAT)
RomanceSeorang pendengki, pemarah, dan tidak tahu diri. Itulah diriku pada kehidupan pertama. Lantas pada kehidupan kedua aku belajar dari pengalaman: berhenti iri terhadap kehidupan orang lain, berusaha menerima segalanya dengan sudut pandang baru, bersek...