Hari yang aneh. Pokoknya aneh.
Bertemu Lina dua kali. Mendengar Lina menjelek-jelekkan diriku berkali-kali. Lalu, ikut makan siang ... koreksi, dipaksa makan siang bersama Joana dan kawan-kawan. Ada apa sih dengan hari ini? Apa ini pertanda sebentar lagi aku menang undian dua milyar?
Apa pun itu.... Jangan menolak rezeki. Pengalaman bekerja sebagai kaum proletar mengajariku perihal pentingnya memanfaatkan keadaan. Sakit asam lambung bukan main sengsaranya. Aku beri tahu, ya? Tidak semua orang terkena asam lambung karena genetik. Kaum penderita asam lambung karena beban pikiran ditambah kurang makan dahsyatnya menyaingi ratapan Bawang Putih yang dijahati Bawang Merah. Bayangkan kebanyakan berpikir, asam lambung melonjak. Telat makan karena uang mepet, asam lambung melonjak. Kerja terus tanpa liburan, asam lambung melonjak! Kenapa kantor tidak sekalian menyediakan obat asam lambung secara gratis?
Kembali ke makan siang. Daniel menyarankan salah satu restoran yang terletak di dekat toko buku ternama. Nah masalahnya ketiga orang itu ternyata mengendarai mobil pribadi. Hanya aku saja yang tidak. Apa yang terjadi? Joana menyuruhku semobil dengan Abel!
Padahal otak dan jiwaku masih belum bersih dari pikiran mengenai ABS. ABS! Bagaimana bisa Joana menyuruhku semobil dengan Abel? Lupakan mengenai menolak. Abel pasti mengira aku membencinya hingga ogah satu ruangan dengannya.
Mau tidak mau aku pun setuju. Dengan catatan, otak aku usahakan berada dalam mode tidak aktif. Bahaya, kan, kalau sepanjang perjalanan diriku memikirkan otot-otot seksi milik Abel? Ih kenapa aku bisa sengeres ini sih? Pasti akibat terlalu lama menjomlo dan berada dalam frekuensi zona jauh kasih sayang. Pantas saja sisi lain dalam diriku protes.
Untung aku berhasil mengendalikan diri. IYA! AKU BISA MENGENDALIKAN INSTING HEWAN BUAS DALAM DIRIKU!
Tidak menerkam Abel. √
Tidak menggigit Abel. √
Tidak menindihnya dengan beban pikiranku! √
Tidak ngiler. √
Terbukti bahwa aku memang pantas diganjar piala manusia hebat yang paham cara memanusiakan dirinya sendiri.
***
Meja yang kami pilih terletak di lantai dua. Di tengah ruangan. Mejanya berbentuk lingkaran. Kami berempat duduk melingkari meja. Ada beberapa lukisan bunga yang digantung di dinding. Rata-rata memamerkan tanaman tropis. Pengunjung sibuk menikmati santapan mereka dan sesekali aku menangkap basah mereka mencuri pandang ke meja kami. Tentu saja untuk mengagumi Joana atau Daniel atau Abel. Aku tidak keberatan. Silakan saja.
Alunan musik jazz mengalun lembut. Suara perempuan tengah melagukan nyanyian mengenai kerinduan dan patah hati. Ada apa sih dengan konsep makan sambil meratap? Apa itu bisa menambah selera makan? Menurutku sih sebaiknya pasang saja menu pedas manis. Aku jamin pasti laris manis! Ada banyak orang yang suka makan masakan pedas manis!
“Na, kamu yakin nggak ingin gabung dengan aku?” tanya Joana sembari memotong steak daging premium bermandikan saos berempah. “Papa tidak keberatan. Kalau kamu bingung dengan apa saja yang harus dikerjakan, kamu bisa bertanya kepadaku.”
Pekerjaan yang mengharuskanku duduk di depan monitor, mencari kesalahan, dan memperkirakan untung? Lupakan saja. Lebih baik aku melamar jadi istri raja Tailand. Setidaknya pekerjaanku hanya memikirkan cara mempercantik diri, melayani suami, dan ... ih berat juga. Coret! Lebih baik aku mendepositokan tabungan, cari rumah di kota pinggiran, dan memelihara kucing. Itu suatu kenikmatan yang hakiki.
Aku menggeleng. “Nggak ah repot. Jadi ibu rumah tangga seperti Mama jauh lebih menyenangkan daripada terjebak di kantor. Lagi pula, aku inginnya fokus ke kebun sayur, memelihara kucing, dan mungkin memulai pekerjaan sebagai artis di media sosial.”
KAMU SEDANG MEMBACA
SUGAR SUGAR LOVE (TAMAT)
RomanceSeorang pendengki, pemarah, dan tidak tahu diri. Itulah diriku pada kehidupan pertama. Lantas pada kehidupan kedua aku belajar dari pengalaman: berhenti iri terhadap kehidupan orang lain, berusaha menerima segalanya dengan sudut pandang baru, bersek...