25

5.9K 723 17
                                        

“Sebaiknya Kakak sadar,” aku menyarankan, “sebelum terlambat.”

Betapa ironis. Lelaki yang dulu ingin kujadikan sebagai tambatan hati memilih mengabaikanku. Lalu, ketika hatiku benar-benar merdeka dari jerat pesonanya, ia memilih kembali kepadaku—menghantuiku.

Semua telah berlalu. Tinggal kenangan.

Abel adalah masa depan. Dialah yang harus aku utamakan.

“Kak, tolong,” aku memohon. Nada suaraku terdengar melas, bahkan di telingaku sendiri. “Jangan jadi cowok antagonis ala novel romansa picisan. Kamu punya segala yang bisa didambakan oleh lelaki mana pun. Uang, pamor, keluarga yang baik, teman, dan apa pun. Sayang bila Kakak terjebak dilema antagonis.”

Ekspresi wajah Daniel semakin pucat. Aku yakin orang akan menduga sesosok vampir seksi telah menyedot seluruh darah beserta daya hidup dari tubuh Daniel.

Apa aku merasa bersalah karena telah mengatakan hal-hal yang membuat wajah Daniel seperti bulan kesiangan?

Aku tidak menyesal! Sekali lagi kutegaskan, tidak ada penyesalan.

Dulu Daniel tidak ragu mengabikanku, sekarang aku juga harus meniru dirinya.

Mohon maaf, tidak ada dendam maupun keinginan membuat Daniel merasakan betapa pedih diriku ketika berada pada posisi serupa—tertolak. Tidak! Sama sekali tidak begitu.

Adapun yang kuhendaki hanyalah kejelasan. Tidak adil bagi Abel bila ia menjadi yang kedua ataupun sekadar pelarian. Aku memilih Abel! Hatiku menginginkannya! Oh terutama mataku! Aku tidak sanggup menghadapi cowok manis yang, oh astaga, ingin kukunyah! Aaaa mengapa Abel begitu menggiurkan? Oke, setop. Hentikan, Otak. Oke? Jangan kotor!

“Na, kamu sungguh ingin bersama Abel?”

Sudah sekian kali dia bertanya mengenai ini. Apa aku ingin bersama Abel?

Tanpa ragu kuberikan jawaban.

“Iya,” aku membenarkan, “ingin bersama Abel sampai tua. Bersama Abel aku merasa nyaman dan aman. Kak, tolong sudahi saja pembicaraan ini. Oke?”

“Na, kupikir kamu....”

“Enggak, Kak. Kuakui dulu aku sempat terpesona dan ingin memiliki hubungan lebih. Namun, keinginan semacam itu sudah lama pergi—lenyap. Aku mengubur keinginan apa pun yang berkaitan denganmu.”

Daniel meraih tanganku, menggenggamnya dengan lembut. “Tolong, Na. Jangan katakan ... jangan seperti ini.”

“Kak, kenapa Kakak tiba-tiba tertarik denganku?”

Aku mengira akan segera mendapat jawaban dari pertanyaanku, tapi tidak. Dia hanya terdiam, menatapku seolah melihat sosok lain dalam diriku.

“Mengapa, Kak?”

Daniel masih bungkam.

“Aku nggak suka jadi yang kedua,” ujarku, pedih. “Cadangan. Nggak suka kamu datang begitu saja setelah semua ini ... usai rasa sakit. Hatiku rasanya remuk redam setiap kali kamu memilih menganggapku nggak ada. Kamu nggak pernah menjadikanku sebagai bagian penting. Sekadar adik, pikirmu. Namun, rasanya posisi itu pun tidak benar.”

Perlahan genggaman tangan Daniel mulai kehilangan kekuatan. Aku tidak ingin mempertahankan ikatan ini. Ikatan yang membuatku sakit dan mati rasa.

“Kak, Abel temanmu. Sekalipun dia orang yang rela mengalah, tapi berdiri di atas kesedihannya ... kamu dan aku bersama ... tidak, Kak. Aku nggak mau jadi manusia sejahat itu.”

“Na.... tolong, hentikan.”

“Kak, Kakak harus tahu! Aku akan membenci Kakak seumur hidupku kalau Kakak menyakiti dia!”

SUGAR SUGAR LOVE (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang