Rencana menjual koleksi tas, sepatu, dan perhiasan terpaksa ditunda selama waktu yang belum bisa kutentukan. Aku tidak bisa serta-merta menggadaikan semua barangku. Leana dan Martin pasti akan membombardirku dengan pertanyaan yang berujung dengan sejumlah prasangka. Itu terlalu merepotkan. Mau tidak mau aku terpaksa mengalah. Ya minimal sebulan sekali menjual barang, dimulai dari benda yang tidak akan membuat mereka curiga.
Aku ceroboh sih. Tas dan perhiasan yang dulu kejual terlalu mudah dilacak oleh siapa pun karena hanya segelintir orang saja di Metro yang memiliki barang tersebut. Itu artinya, aku harus bermain cantik.
Langsung pindah, minggat, dan terbang meninggalkan kediaman Austen? Halo, uangku hanya sekian ratus juta. Uang yang bahkan nominalnya tidak genap empat ratus juta! Jumlah segitu akan menguap dalam sekian tahun. Lagi pula, menjual barang pun butuh waktu. Tidak bisa asal tabrak semauku!
Ketika meninggalkan kediaman Austen setidaknya aku harus punya tempat singgah. Menginap di hotel? Orang ngawur macam apa yang menyarankanku menginap di hotel selama berminggu-minggu? Sehari di hotel saja bisa mencapai empat ratus ribu kalau tidak pintar-pintar memilih. Ada sih yang murah, tapi aku takut dengan manusia! Cewek bepergian sendirian akan mengundang perhatian dari penjahat. Aku tidak bisa mengatur pemikiran orang lain, tapi setidaknya aku bisa mengendalikan diriku sendiri.
Oh jangan lupa biaya makan. Tinggal di hotel tidak ramah di dompet!
Indekos? Hmmm aku tidak ingin punya tetangga tukang rusuh. Pengalaman beberapa kawanku ketika kuliah dan salah memilih indekos. Ada yang tipe mampir minta makan, tukang numpang mandi, hobi menyomot makanan di dapur umum, dan yang suka me-reog di tengah malam. Belum lagi dengan sejumlah kemungkinan ibu kos yang mungkin ingin menumbalkan penghuninya kepada demit. Hahaha aku maunya rumah! Rumah!
Demi membeli rumah impian butuh uang yang tidak sedikit! Ini saja aku belum punya deposito dan masih bergantung kepada uang jajan. Haish sepertinya mencari pekerjaan perlu kulakukan. Sementara saja sampai bisa mendapatkan uang yang cukup. Cukup untuk makan, transportasi, bayar listrik, bayar air, dan ... oh astaga, ke mana perginya lampu ajaib Aladin? Aku butuh! Satu saja.
***
Demi melindungi kesehatan batin, aku memutuskan jalan-jalan. Pertama aku mengunjungi museum boneka. Di sana ada bermacam boneka, mulai dari yang terbuat dari plastik, kain, sampai kayu. Orang-orang datang berpasangan, sendiri, atau berkelompok. Pengeras suara memutar musik instrumental. Aku tidak tahu judul lagunya, nadanya pelan dan menghanyutkan.
Perhatianku terfokus pada satu boneka beruang. Boneka itu memiliki mata dari rubi. Hmm aku sedang memperkirakan total keseluruhan uang yang mungkin bisa kudapatkan ketika hidungku mengendus aroma segar apel. Awalnya kupikir ada penjual jus atau apalah ... hmm oke aku salah. Dugaanku langsung meletup ketika melihat ada cowok yang ikut berdiri di sampingku.
Oh jantung. Jantungku! Dulu kupikir hanya Daniel saja yang sanggup membuat tubuhku bereaksi sedemikian. Namun, ternyata aku salah. Apa aku murahan? Sebegini mudahnya diombang-ambing?
Cowok itu memiliki karisma yang membuat siapa pun tergoda memandanginya berlama-lama. Mata tajam dan jernih, bibir yang membuat seseorang membayangkan satu kecupan mesra, rambut hitam....
Dia bisa saja mewakili Putri Salju dalam wujud cowok!
Siapa? Siapa? Aih aku takut dia akan berkata, “My name is no. My number is no. You need to let it go. Let it go!”
Aku terkesiap ketika dia menoleh dan menatapku. Pasti ekspresi wajahku sangat lucu hingga dia menyunggingkan senyum. Oh bukan sekadar senyum, melainkan senyum yang terpancar ... maksudku, matanya! Matanya! Oh.... Apa aku memang murahan?
NO! Dulu saat tahu ada makhluk seindah DPR pun jantungku bergetar. Setiap sedang berada pada tahap buruk dan ingin memaki dunia, maka aku akan memutar lagu milik DPR! Semangatku melonjak dan aku siap menghadapi dunia.
Cowok ini punya efek sama seperti DPR! Bukan Dewan Perwakilan Rakyat, tentunya.
“Kamu tahu boneka ini memiliki nama yang sama denganku?”
Suaranya pun indah. Aku menggeleng. Mohon maaf, otakku tidak bisa diajak bekerja sama. Dia sedang berada pada mode kacau balau.
Otak: Siapa? Siapa dia? Jawab!
Jantung: Aaaa aku ingin mengajukan pengunduran diri.
Hati: Tidak. Tidak. Tidak. Tidak!
Benar-benar kacau.
“Abel,” katanya sembari tersenyum. “Boneka ini dibuat oleh tanteku.”
“Oh begitu. Hebat.” Tolol sekali diriku ini! Hanya itu? hah? Bahkan anak SMP pun jauh lebih mahir mengutarakan opini daripada aku!
“Aku nggak sangka bisa bertemu anggota keluarga Austen di museum milik keluargaku.”
“Eh?”
“Halo, namaku Abel Lawrence,” ia memperkenalkan diri sembari menyodorkan tangan.
Alih-alih balas bertanya alasan dia bisa mengenaliku, tanganku justru merespons jabat tangan—tidak mematuhi keinginan hatiku. Gawat! Apa dia menganut ilmu pelet pemikat hati cap Madam Tengil?
Otak: Nana, sadar! Sadar!
Setelah mendapat tamparan keras dari otak, aku pun bisa mengendalikan diri. “Eh ya? Kok bisa tahu?”
Aku takut reputasi buruk milikku sudah terbang sampai ke keluarga Lawrence. Sekalipun aku belum pernah bersinggungan dengan keluarga yang satu itu, nama Lawrence cukup menjadi momok bagi siapa pun di Metro.
Gawat.
“Keluarga Montez, Daniel,” ujarnya menjelaskan, “kami masih satu hmm anggap saja keluarga.”
Berengsek! Pantas saja Joana terlindung. Dia memiliki penjaga sekuat itu! Daniel, maksudku, dia punya koneksi dengan Lawrence. Siapa sih yang tidak tahu bisnis Lawrence? Dunia hiburan, perdagangan, bahkan penerbitan.
Pahit. Pahit. Pahit.
Aku buru-buru menarik tangan seakan tersengat panas. Bukan panas cinta, tentunya. “Oh begitu. Ahahahaha.” Asli nada tawaku terdengar aneh. Lekas kucari topik pembicaraan baru. “Bonekanya unik.”
“Ah ya, sedari tadi kuperhatikan kamu terus mengamati boneka ini.”
... dan kemudian menghampiriku. Aku yang salah! Tahu begini aku perhatikan saja boneka belalang sembah dari kayu!
“Kamu suka? Ada versi tiruaannya,” katanya melanjutkan, “dalam versi mungil yang dijual di sini.”
“Enggak.” Aku mundur, membuat jarak, dan ... ingin mengubur diri sendiri. “Eh itu ya bonekanya cantik dan unik. Aku cuma mengagumi desain pakaiannya saja.”
Ketika aku menengok ke sekitar, ternyata beberapa cewek menatapku dengan sorot mata menuduh bercampur ... iri?
MAMA! Apa aku telah memancing perhatian yang tidak perlu?
“Oke,” kataku sebelum Abel mulai menawarkan tur cuma-cuma. “Terima kasih atas informasinya dan hmm aku lupa ada urusan penting. Hmm, sampai jumpa.”
Aku bergegas meninggalkan Abel, yang sepertinya, tatapan matanya masih mengikuti pergerakanku. Hanya ketika aku berada di luar museum barulah jantungku merasa lega.
“Gila! Aku baru tahu ada cowok seberbahaya itu!”
***
Selesai ditulis pada 30 Mei 2023.***
Semoga kalian sukaaaaaaaa! Ehehehehe! Saya tadi bersin-bersin dan sepertinya akan kena pilek. Hmm kalian jaga kesehatan, ya? Sedia vitamin C bila perlu.Saya sayang kalian semuaaaaaaaaaa!
KAMU SEDANG MEMBACA
SUGAR SUGAR LOVE (TAMAT)
RomanceSeorang pendengki, pemarah, dan tidak tahu diri. Itulah diriku pada kehidupan pertama. Lantas pada kehidupan kedua aku belajar dari pengalaman: berhenti iri terhadap kehidupan orang lain, berusaha menerima segalanya dengan sudut pandang baru, bersek...