20

5.4K 733 12
                                    

Sungguh tidak masuk akal. Apa salahku? Aku hanya ingin menikmati hidup sebagai pengangguran makmur. Jenis manusia yang bisa disalahpahami oleh tetangga sebagai pengabdi setan. Iya, si korban ilmu babi ngepet. Padahal, ya, padahal tidak begitu. Alias, aku punya deposito yang memungkinkan diriku bersantai dan tidak perlu memperbudak diri sendiri sebagai pekerja korporat!

Akan tetapi, realitas tidak seindah rencana hidup sebagai pengangguran makmur! Contohnya saat ini! Bisa-bisanya Lina, yang seperti cewek kesurupan, menuduhku dan sempat-sempatnya merusak bajuku! Apa dia tidak mengerti hukum, norma, dan kesantunan? Kadang aku curiga ada masalah dengan sirkuit otaknya.

Sekalipun di dunia ini ada yang namanya hukum, polisi, dan sebut saja sejumlah aparatur negara.... HAHAHAHA persetan dengan semua itu. Lina telah membangunkan jiwa anarkis dalam diriku. Tikus saja akan balas menyerang bila merasa terancam, apalagi aku!

“Kamu tuh nggak tahu diri!” teriak Lina sembari menunjukku dengan telunjuknya yang lentik. Semoga saja dia tidak berencana menghunjamkan kukunya yang terawat rapi itu ke dalam kulitku. “Berhenti merayu Daniel! Sadar diri dong!”

Tuh kan. Lina tidak waras. Halusinasinya bisa digunakan untuk menulis novel berjilid-jilid yang pemeran utamanya dia sendiri bersama Daniel.

“Kamu nggak bisa asal tuduh,” Lily membelaku.

Perlahan aku bangkit, sama sekali tidak tertarik menjadi pihak yang kalah. Enak saja! “Lina, lain kali kalau ada masalah kejiwaan tolong hubungi psikolog.”

“Kamu berani, ya?” Lina mulai berang. “Anak Pungut!”

“Kenapa?” tantangku, tidak kalah sengit. “Kamu merasa kalah saing dengan anak adopsi? Takut Daniel pujaan hatimu naksir aku? Begitu? Ampun deh. Semakin paham aku bahwa kamu tuh nggak tahu apa pun. Aku dan Montez?” Hmmm sepertinya tidak ada salahnya menyiram minyak dalam kobaran kecemburuan milik Lina. “Iya sih. Dia sebetulnya naksir aku. Setelah keluargaku memutuskan mempertunangkan diriku dengan cowok lain, tiba-tiba saja Kak Daniel berubah haluan.”

Kerutan di kening Lina makin dalam. Dia jelas siap menerkam diriku. “Bohong!”

“Na....” Lily jelas tidak suka dengan tindakanku yang makin memicu kegilaan Lina. Namun, masa bodoh. Siapa juga yang rela dijadikan bahan lelucon di depan umum?

“Nggak kok,” bantahku berusaha meyakinkan argumen penuh dustaku. Kali ini sengaja aku memasang senyum semanis gula merah. “Dia benar-benar tergila-gila denganku. Lina, kamu ingin dia menengok dirimu? Gampang. Caranya ya, kamu menyerah dan cari tunangan. Aku jamin dia akan mulai mengejarmu.”

“Dasar jalang!”

Lina hendak menerkamku, tetapi aku lekas menyingkir—sembari menyeret Lily—dan membiarkan Lina menubruk meja. Gelas dan piring jatuh berserakan di lantai, pecah berkeping-keping.

Semua orang kini benar-benar fokus menyaksikan opera sabun dadakan. Aku heran dengan keamanan yang belum datang melerai perkelahian. Jangan-jangan mereka takut dengan Lina. Ih Lina, kan, tidak menderita rabies maupun antraks. Dia hanya mengalami gangguan kejiwaan. Namanya, halusinasi tingkat tinggi.

“Na, sebaiknya kita kabur.” Lily memberiku ide bagus. Sayangnya dia belum membayar tagihan dan lari dari kewajiban itu bukanlah sikap seorang manusia terhormat. “Ayo!”

“Kamu, kan, belum bayar,” aku mengingatkan. “Nanti apa jadinya kalau muncul di Cibir.Com?”

Lina berjuang bangkit. Barangkali dia sekalian mengumpulkan remah-remah harga diri. Jangan tanya reputasi Lina dan semacamnya. Aku berani taruhan dia tidak peduli.

“Halo, ada yang bersedia memanggil kemanan?!” teriakku menyerukan SOS—pertolongan gawat darurat.

Mungkin mereka, para pengunjung, terkena pelet sesaat hingga lupa memanggil keamanan DAN ITU TERMASUK PELAYAN YANG MELONGO. Kampret deh mereka.

SUGAR SUGAR LOVE (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang