Di dunia ini, era yang mengutamakan uang sebagai pemimpin, semua masalah “setengahnya” bisa terselesaikan. Itu bagus, ‘kan? Setengah lebih baik daripada tidak sama sekali. Masa bodoh dengan sekelompok orang yang melabeliku sebagai mata duitan. Aku sih oke saja. Hei aku tidak menjadi pelakor yang menyedot kemakmuran istri sah. Tidak juga merampok atau korupsi, penting uang yang ada dalam rekeningku berasal dari sumber legal dan bersih. Tidak ada pihak yang kurugikan.
Kembali ke topik uang. Andai dulu aku lebih paham cara membelanjakan uang, maka kemungkinan besar diriku takkan terjatuh ke kubangan penderitaan. Terlebih di kehidupan keduaku. Sungguh tidak bisa kujabarkan dengan kata-kata betapa mengerikan neraka kemiskinan. Orang yang tidak paham struktur kemiskinan mungkin berpendapat bahwa individu yang berasal dari lingkungan tersebut merupakan golongan kaum pemalas. Padahal kemiskinan sejatinya lebih pelik daripada yang terlihat di permukaan.
Dalam kemiskinan ada sejumlah permasalahan. Mulai dari gizi buruk, lingkungan yang tidak kondusif, lemahnya pendidikan, tiadanya sistem pengasuhan yang benar, dan itu belum termasuk keluarga yang memiliki pemahaman bahwa semakin banyak anak akan banyak rezeki. Bisa jadi keluarga tersebut bermaksud melimpahkan tanggung jawab keuangan kepada anak-anak. Semisal anak pertama akan disuruh menjadi tenaga kerja di negeri asing, lalu anak yang lain diwajibkan membantu di sawah sebagai buruh, atau bahkan pengamen jalanan. Beruntung anak-anak yang sekalipun terlahir di keluarga miskin, tetapi memiliki orangtua dengan nilai moral yang bagus. Jenis orangtua yang tidak mewajibkan anaknya menjadi sumber kekayaan.
Sekarang setelah mengalami dua masa kehidupan aku pun bisa melihat segala keuntungan yang dulu kuabaikan. Aku dibesarkan oleh keluarga kaya, mendapat pendidikan (yang sayangnya tidak kumanfaatkan dengan benar), mengonsumsi makanan bergizi, dan mendapat limpahan kasih sayang.
Butuh tamparan keras hingga membuatku sadar.
Hidupku baik-baik saja.
Iya, baik-baik saja!
Akan lebih baik-baik saja andai bisa lepas dari Austen dan mengungsi secepat mungkin! Penggemar Joana pasti telah melabeliku sebagai kutu busuk. Mereka, entah siapa pun cowok itu, tidak akan membiarkan Joana terluka.
“Nana, mana yang kamu pilih?”
Panggilan Leana berhasil menyadarkanku dari lamunan. Dia sedang mengamatiku. Ekspresi yang terpancar di kedua matanya tampak cemas. Oh ... berapa lama aku melamun?
“Apa kamu sudah menentukan pilihan?” tanyanya menuntut penjelasan.
Sadarlah aku bahwa kami, aku dan Leana, sedang berada di butik. Rencana mengenai menghadiri ulang tahun tokoh penting membuatku pening.
Berkali-kali aku membolak-balik halaman katalog, mencoba menemukan gaun dengan nilai yang tidak membuat jantungku dangdutan, tetapi gagal. Sekalipun aku tidak paham teknik menjahit, tapi dilihat dari desain dan batu mulia yang menempel ... sudah pasti mahal.
“Aku ikut Mama saja deh,” ujarku, menyerah. Lagi pula, semua baju pastilah sama di mataku. Sama-sama mahal. “Pilihan Mama selalu oke.”
“Kamu ini.” Leana tersenyum, mencolek hidungku, kemudian memilih beberapa gaun tanpa berkonsultasi denganku.
Usai berbelanja di butik, kami mampir untuk makan. Leana berceloteh mengenai anak tante A, kemudian menawarkan perjodohan dengan anak tante B. Tentu aku menolak perjodohan. Rencanaku hidup makmur di pinggiran Kota Metro. Tidak ada agenda menjalin hubungan dengan cowok.
Cukup sekali aku terombang-ambing gara-gara Daniel. Jomlo itu bukan kutukan. Siapa pun yang berani mengatai seorang cowok atau cewek yang masih melajang dengan kata “tidak laku” pantas diganjar kutukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
SUGAR SUGAR LOVE (TAMAT)
RomanceSeorang pendengki, pemarah, dan tidak tahu diri. Itulah diriku pada kehidupan pertama. Lantas pada kehidupan kedua aku belajar dari pengalaman: berhenti iri terhadap kehidupan orang lain, berusaha menerima segalanya dengan sudut pandang baru, bersek...