Ada yang salah dengan Daniel. Iya, dia bermasalah. Si pencipta masalah. Biang masalah. Pokoknya dia yang salah, bukan aku!
Sumpah dia itu bermasalah.
Daniel magnet bagi masalah!
Mengapa?
Tidak ada angin. Tidak ada hujan. Mendadak menelepon dan bertanya mengenai ... perasaanku? Apa itu kalau tidak kesurupan? Jelas ada setan bernama linglung dan hantu bernama tidak tahu diri yang merasuki Daniel.
Sekadar informasi, aku sengaja mengganti nomor kontak. Repot ah berhubungan dengan masa lalu. Awalnya aku mengira semua akan berjalan dengan lancar jaya—tinggal dorong! Namun, rencana tinggal rencana. Begitu Joana minta izin membagi nomor kontak terbaruku kepada Daniel....
Brrrr ada yang salah dengan kepala Daniel. Tuh, ‘kan?! Berapa kali kusebut kata “salah”? Oke, lupakan. Kembali ke topik otak, Daniel, dan kurang ajar. Maaf, yaaaaa! Aku tidak tertarik menjalin hubungan asmara bersama Daniel! Sakit hatiku! Apa jangan-jangan dia sebenarnya penganut M? Senang disiksa dan merasa mendapat kenikmatan ketika dianiya baik verbal maupun fisik?
“Maaaaa, Kak Daniel butuh dokter!”
***
Oh kedamaian. Betapa asyik menjalani hidup tanpa perlu memikirkan cara menulis CV agar diterima di suatu tempat. Betapa nikmat memiliki uang. Paling penting, aku bisa menyantap makanan apa pun tanpa galau membayangkan sejumlah nominal yang harus kugelontorkan demi sepiring kesenangan dan segelas kesegaran.
Setelah sarapan, aku menengok tanamanku di rumah kaca. Mereka semua berada dalam kondisi sehat dan menggemaskan. Ada beberapa tomat yang mulai kemerahan, siap petik. Sawi dan kangkung pun begitu hijau, sedap dipandang.
Oh dan hadiah Daniel. Aku jadi teringat pesan Leana bahwa nanti siang Daniel akan mampir untuk makan. Dasar pelit! Dia itu anak pengusaha! Apa dia tidak bisa memilih makan di restoran ternama?
Untung perkara Cibir.Com sudah diselesaikan Abel. Kalau tidak, jangan salahkan aku menyeret Daniel dan melemparnya ke kandang Moris. Nanti akan kukatakan, “Makan tuh cinta! Makan! Aku nggak mau jadi pihak yang selalu mengejar cinta!”
Tidak puas hanya menyuarakan dalam pikiran—sebenarnya aku suarakan sungguhan lewat teriakan sih—aku pun melanjutkan sesi mengamuk. Bukan sekadar mengamuk, melainkan memarahi bunga pemberian Daniel seolah tanaman tersebut bisa menyalurkan kekesalanku.
“Tahu, enggak? Kamu tuh cowok nggak tahu malu, Daniel Montez! Dulu aku naksir, kamu ogah! Sekarang ketika aku menemukan lelaki manis, seksi, pengertian, dan rasanya setiap bertemu tuh ingin kugigit ... kamu justru menawarkan asmara? Enak saja! Bangunkan seribu rumah kaca lengkap dengan fasilitasnya dulu dalam semalam! Dasar kurang ajar! Ih kamu pantas dihajar bogem! Dariku! Iya, dariku!”
Puas mengeluarkan seluruh beban dalam hati, aku pun tersenyum. Eh benar deh, meneriakkan keluhan dan kemarahan bisa sedikit melegakan. Hehehe asal tahu situasi dan kondisi sekaligus tempatnya saja sih.
Aku berbalik, hendak pergi, tapi Daniel ternyata sudah ada di dalam ... bersamaku!
“Jadi, begitu?” Daniel bersandar di pintu. Dia mengenakan celana jins dan atasan bernuansa gelap. Senyum simpul terpulas di bibirnya dan rasa-rasanya tengah mengejek kelakuanku. “Kamu ternyata sebegitunya, ya?”
Emak! Emak, dia mendengar semua keluhanku!
“Seribu rumah kaca?” lanjutnya dengan nada jenaka. “Apa yang akan kamu rencanakan dengan seribu rumah kaca, Nana Austen?”
Telanjur basah, sekalian mandi saja! “Kak, ada tanda yang menjelaskan bahwa kehadiranmu di rumah kacaku ini ilegal! Kamu nggak boleh masuk! Lagi pula, bukannya kamu datang ke sini, eh, nanti siang? Kok sekarang, hmmm. Kak, sudahlah. Aku nggak tertarik menjalin hubungan asmara.”
“Untuk menjawab pertanyaanmu. Satu, Mama memintaku mengantarkan hadiah untuk Tante. Kedua, kamu nggak bisa melarang seseorang untuk bertamu.”
“Bisa, Kak!” seruku tidak mau kalah. “Tolong hubungi Lina. Dia jelas berharap seratus persen perhatianmu. Aku sih sudah lelah. Oh ya, memang sudah lelah.”
Dengan langkah gontai aku berjalan menuju pintu keluar. Untung Daniel bukan tipe cowok yang senang menjadi ganjalan pintu yang keberadaannya mengalahkan penunggu gedung angker. Dia minggir, membiarkanku lewat.
“Na, mengenai masa lalu—”
“Sudah selesai, Kak,” potongku dengan nada suara yang terdengar lesu. Kami berjalan berdampingan, mengabaikan tatapan ingin tahu burung-burung yang bertengger di pohon. “Aku nggak berharap apa pun.”
“Na....”
Aku menghentikan langkah, menatap langsung kepada Daniel. “Sebentar lagi aku akan menjadi tunangan Abel.”
“Kamu serius? Na, kamu sungguh ingin bersama Abel?”
Sumpah, ya! Ada apa sih dengan semua cowok yang dulu dikejar kemudian ogah, lantas ketika si cewek menyerah dan mencari cinta baru mereka justru balas mengejar? Aneh!
“Serius,” jawabku mencoba meyakinkan Daniel, “aku ingin bersama dengannya.”
Andai saja Daniel bersedia memberiku pengharapan, saat aku mengejarnya dulu, barangkali perasaan cinta yang sempat tumbuh dalam hatiku tidak akan layu—mati. Perasaan itu akan bertahan sekalipun diriku berada di dimensi lain, sebagai individu baru, dan waktu pun tidak mampu menggerusnya. Namun, tidak. Dia tidak memberiku kesempatan. Hanya ada tatapan dingin dan pengabaian.
Bahkan cinta pun bisa sekarat. Hatiku bisa berubah. Daniel bukan pusat segalanya dalam semestaku. Dia hanyalah salah satu dari sekian banyak manusia yang mampir dalam hidupku. Penyesalan. Oh betapa aku berharap bisa merasa menyesal telah menghabiskan energi demi mengejar Daniel.
Akan tetapi, tidak ada penyesalan mendalam. Aku sadar kekuranganku. Aku juga paham kelebihanku. Daniel tidak bisa membuatku mekar. Dia seperti racun yang perlahan membuatku tidak berdaya ketika ekspektasiku tidak terjadi.
“Aku nggak memiliki perasaan apa pun yang bernama cinta,” jelasku dengan suara mantap. “Apa pun itu, yang kusebut cinta, sudah lama mati. Perasaan itu tewas ketika kamu memilih menjauh dariku. Bahkan orang bodoh sepertiku saja bisa sadar, Kak. Lantas mengapa? Mengapa Kakak memilih terjebak masa lalu? Tidakkah sebaiknya Kakak berusaha menerima orang lain saja? Orang yang bisa membuat Kakak menjadi utuh. Sama seperti Abel yang berhasil membuatku merasa sempurna.”
Saat bicara mengenai Abel, senyum pun mekar. Harus aku akui dia kadang menyebalkan. Begitu menyebalkan hingga aku ingin menggigit ABS-nya!
Uhuk otakku. Yah begitulah.
“Nana, kamu nggak mungkin serius, ‘kan?”
Lama-lama aku tendang juga pantat Daniel. “Seratus persen. Murni. Asli. Aku suka Abel!”
Selintas aku merasa ada badai yang berdansa di kedua mata Daniel. Selama beberapa saat dia tidak mengatakan apa pun. Diam. Seolah ucapanku seperti panah yang menembus jantungnya.
“Kak, maaf. Hubungan kita nggak akan terjadi.” Tidak boleh memberikan kesempatan yang bisa berujung kesalahpahaman. “Aku suka Abel. Aku sangat mencintainya. Hanya dia yang kuinginkan.”
Akhir cinta sepihakku telah usai.
Sekarang saatnya aku menghadapi masa lalu.
***
Selesai ditulis pada 27 Juli 2023.***
Halo, teman-teman.Mungkin sebentar lagi Nana akan tamat.
Yeiy! Saya senang bisa fokus menamatkan cerita.
Oh ya, coba tolong pilih. Kalian ingin baca cerita baru modern dari saya yang mana?
A. Balita gemoy sebagai tokoh utama.
B. Wanita dewasa sebagai tokoh utama.
(0_0) Saya ingin tahu pendapat kalian, teman-teman.
Salam cinta dan kasih sayang. Jangan lupa jaga kesehatan dan PLEASE hati-hati di jalan! Serius. Hati-hati!
I love you, teman-teman!
HUG.
HUG!
KAMU SEDANG MEMBACA
SUGAR SUGAR LOVE (TAMAT)
RomanceSeorang pendengki, pemarah, dan tidak tahu diri. Itulah diriku pada kehidupan pertama. Lantas pada kehidupan kedua aku belajar dari pengalaman: berhenti iri terhadap kehidupan orang lain, berusaha menerima segalanya dengan sudut pandang baru, bersek...