15

6.9K 861 7
                                    

Tidak ada yang namanya kecurigaan ketika Leana menyuruhku mampir ke kantor. Katanya sih sekadar mengucapkan salam kepada Joana dan memastikan saudariku itu menyempatkan diri makan siang. Begitu.

Maka jadilah. Aku pergi ke sana, ke kantor, tanpa memikirkan hal-hal tidak baik. Lagi pula, tidak ada salahnya mengajak Joana makan siang. Sekalian saja aku minta traktir.

Setelah memberitahu resipsionis mengenai kunjunganku, aku pun diperbolehkan langsung menemui Joana. Ada tanaman lidah mertua yang lantai delapan belas, lantai tempat Joana berada. Aku penasaran alasan tanaman tersebut mendapat nama unik. Lidah mertua. Kenapa, ya? Apa memang tanaman tersebut mewakili sesuatu dalam diri mertua? Apanya?

Ketika aku sedang berkontemplasi dan memikirkan mengenai legenda tanaman lidah mertua, telingaku menangkap suara manusia. Iya dong manusia, masa hantu? Sepertinya sih bukan jenis percakapan menyenangkan karena suara si cewek terdengar melengking seolah akan memecahkan seluruh kaca di kantor ini.

“Kenapa kamu nggak bisa menerima diriku?!”

Tada ada Lina Moris. Duh betapa perhatiannya diriku ini hingga bisa mengenali dirinya melalui suara. Manisnya ahahaha ... tidak.

Aku tidak punya hobi menguping pembicaraan orang lain. Sayangnya koridor yang harus kulewati bertepatan langsung dengan area yang digunakan Lina berimprovisasi sebagai tokoh antagonis opera sabun. Mau tidak mau pilihanku adalah balik badan kabur atau....

“Aku nggak punya perasaan apa pun kepadamu.”

Ada Daniel?! Dia? Di sini?

Oh ini aneh. Bukankah Lina tadi ada di mal, bersamaku, sekarang dia ada di sini? Bagaimana caranya dia diizinkan masuk ke kantor milik Austin? Hei Daniel sih masih bisa kupahami alasan keberadaannya, tapi Lina?

Hmm pasti Lina mengancam resipsionis dengan beragam kemungkinan mati kere. Bekerja di era kapitalis ini bukan hanya mengorbankan energi, melainkan juga jiwa. Bisa gila!

“Jangan bawa-bawa Nana,” Daniel melanjutkan.

Persetan! Keingintahuanku telanjur berada pada mode on—menyala! Sekarang aku tidak bisa mengabaikan dorongan dalam diriku untuk menguping.

Lekas saja aku memastikan tubuhku tersembunyi di balik tanaman palem kipas. Dari sudut ini aku bisa melihat Lina tengah berhadapan dengan Daniel. Duh serunya. Andai saja ada keripik, pasti makin menyenangkan.

“Apa sih yang kamu lihat dari anak kampungan itu?” desis Lina. “Dia bukan seorang Austin. Tidak ada darah ningrat setetes pun dalam dirinya. Keluargaku memiliki segalanya. Mengapa kamu nggak bisa mempertimbangkan pertunangan denganku?”

Wow seratus. Aku memuji level muka tembok milik Lina. Pasti tebalnya lebih dari sepuluh sentimeter hingga berani menghina kredibilitas seseorang. Dasar lancang.

“Keluargaku memiliki bisnis yang tidak kalah daripada Austin,” Lina lanjut mengoarkan kemampuan terpendam miliknya yakni, sales. “Apa kamu masih saja melihat Nana sebagai anak emas keluarga Austin?”

“Aku bersedia menemuimu atas dasar kesopanan. Jangan berani melewati batas kesabaranku.”

“Dia hanya anak buangan,” Lina bersikeras melabeliku sebagai produk kelas rendahan. “Apa untungnya? Ayolah, kamu tahu yang terbaik. Lagi pula, aku dan Joana pun tidak ada bedanya. Kami berasal dari kelas terbaik.”

Heeeh? Padahal aku dan Lina, kan, pernah sekelas semasa SMA. Begini, ya. Nilai Lina bahkan akan membuat mantan guruku di kehidupan kedua berdecak kesal. Pastikan bertemu ibu guru tipe gibah jalur keras. Sudah pasti si Lina akan menjadi bulan-bulanan di kantor guru. Berani taruhan pasti topik yang diperbincangkan guruku tidak jauh-jauh dari “si Lina anaknya bapak A nilainya jelek”, “Lina sama sekali nggak paham materi”, dan “padahal orangtuanya mampu, kok nggak bisa mengerjakan tugas”. Begitu!

SUGAR SUGAR LOVE (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang