21

5.2K 699 4
                                    

Leana bersikeras meminta pertanggungjawaban dari pihak Moris, keluarga Lina. Dia berpendapat bahwa perilaku Lina amatlah tercela, bila dibiarkan akan merajalela seperti tikus menggasah lumbung padi. Kacau! Joana dan Martin pun sependapat dengan Leana. Mereka takkan segan mengajukan ganti rugi atas perbuatan Lina.

Haruskah aku ikut mengipasi kobaran api antara Austen dengan Moris?

Sejujurnya, iya yang sesungguhnya terpendam dalam hatiku, aku tidak keberatan menambah beban hidup Lina. Dia ibarat kepinding; bau, hanya menyebabkan gatal dan iritasi, serta parasit menyebalkan. Tidak ada salahnya membuat harinya yang indah jelita berubah mendung bagai badai di siang bolong.

Memangnya siapa aku? Orang suci? Tidaklah ya. Sekalipun pernah kena karma hingga harus menjalani hidup sebagai budak korporat, tapi kesabaranku juga ada batasnya. Enak saja Lina petantang-petenteng, menghindadinakan diriku, dan menganggap kredibilitasku patut disamakan dengan pengemis musiman—jenis yang akan mencari sumbangan ketika hari besar tiba dan memanfaatkan kebaikan orang demi memperkaya diri lewat jalur santai; modal belas kasih doang tanpa perlu banting tulang hingga otot keseleo.

Akan tetapi, ada perubahan rencana. Sebelum keinginanku meminta pertanggungjawaban terealisasikan, Cibir.Com ternyata mengabarkan berita perkelahian antara diriku dan Lina. Tajuk beritanya pun ditulis menggunakan huruf kapital. Taruhan semua orang pasti tertarik mencari tahu mengenai kabar pertengkaran tersebut.

“Apa ini?” pekik Leana suatu pagi di meja makan. Alih-alih fokus menikmati sarapan, dia justru memelototi ponsel seolah benda tersebut membuat separuh jiwanya tersedot bila tidak diberi perhatian. “Bagaimana bisa mereka mengabarkan putriku sedemikian dangkalnya? Sayang, kamu harus temui editor atau siapa pun yang bertanggung jawab atas pemberitaan tersebut!”

Putriku. Sesuatu dalam diriku tersentuh mendengar cara Leana menyebutku. Lina salah. Aku bukanlah sekadar anak pungut. Mereka, Leana dan Martin, benar-benar tulus menyayangiku. Eits sekalipun mereka sayang, tapi keinginan tinggal jauh dari pusat marabahaya tetap nomor satu!

Martin menerima ponsel dari Leana. Dahinya berkerut setiap kali telunjuknya menggulir layar ponsel. “Benar,” katanya dengan nada suara yang terdengar kesal, “pemberitaan ini berlebihan. Bagaimana bisa mereka secara sepihak mengabarkan bahwa putriku terlibat drama asmara? Dengan Daniel? Bisa-bisa Austen jadi bahan tertawaan.”

Joana, yang kupikir hanya akan diam dan fokus menikmati nasi goreng, pun tersedak. Dia buru-buru meraih gelas dan minum. Setelah usai meredakan ancaman mati tersedak nasi, dia pun berkata, “Jangan bilang Cibir.Com ya yang menulis semua berita itu?”

“Kamu nggak salah,” sahut Leana. Kali ini dia menyingkirkan piring. Nasi goreng sama sekali belum tersentuh, utuh. “Cibir.Com! Apa mereka sebegitu kehabisan bahan hingga perlu memberitakan Nana? Pantaskah? Menulis informasi yang kesahihannya patut dipertanyakan? Memangnya wartawan mereka nggak pernah menulis skripsi? Seharusnya ada aturan yang patut mereka ikuti. Salah satunya mengkonfirmasi kebenaran terlebih dahulu kepada yang bersangkutan! Bukan asal tulis.”

“Mungkin ada seseorang yang ingin mencemarkan nama Nana, Ma,” Martin menyatakan pendapat. Dia meletakkan ponsel di meja. Sama seperti Leana, tampaknya dia tidak tertarik menandaskan sarapan. “Di sini hanya diberitakan mengenai keburukan Nana. Terutama insiden di restoran. Narasi mengisahkan seolah Nana merebut kekasih Lina, yakni Daniel, dan Lina hanya melakukan pembalasan yang sewajarnya.”

Aku mengangguk, meski tidak membaca beritanya, setuju dengan opini Martin. “Pa, bisa bakar Cibir.Com, enggak?”

“Sembarangan,” celetuk Joana sembari terkikik, “bisa-bisa reputasimu makin jatuh dong.”

Apa itu reputasi? Pembalasan jauh lebih penting daripada harga diriku yang jelas jatuh ke dasar jurang. Eh baru ingat, selama ini reputasiku memang nol besar. Payah.

SUGAR SUGAR LOVE (TAMAT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang