tujuh.

6.8K 796 83
                                    

Seharusnya berkeliling desa tidak memerlukan waktu yang terlalu lama, tapi itu sepertinya akan menjadi lama karena Juna yang singgah entah di mana.

Abian melihat Juna yang memarkirkan motor, harusnya sekarang mereka telah pulang menuju rumah, tapi Juna malah singgah di dekat pohon kelapa, bukan hutan, melainkan halaman sebuah rumah yang memiliki beberapa pohon kelapa, Abian sebenarnya juga heran, pohon kelapa itu terlihat pendek-pendek tapi memiliki buah yang sangat banyak, ini pertama kalinya bagi Abian.

Tapi biar seperti itu, tidak membuat Abian tertarik untuk singgah, walau nyatanya Juna telah menurunkan standar motor bahkan telah membuka helm.

Juna turun, helmnya telah ia gantungkan pada salah satu spion motor, ia putar tubuhnya, melihat Abian yang menatapnya dengan tatapan cemberut, "Turun dulu, cuman sebentar kok." ujar nya, tangannya ia gunakan untuk melepas helm si kecil, menggantungkan nya pada spion yang satu.

Juna tentu saja tau penyebab wajah cemberut itu, karena sedari motor saja Abian telah memohon-mohon pada Juna untuk tidak membelokkan motor.

Dengan berat hati Abian turun, tapi tidak langsung berdiri, melainkan kembali duduk, dengan posisi yang berbeda, duduk menyamping, masih dengan tampang memelasnya.

"Kenapa belum turun? Sebentar kok ini, kasian loh mereka udah panggil kita untuk singgah beberapa kali, kamu liat sendiri kan tadi, setidaknya kita mampir sapa mereka sebentar." ujar Juna sedikit berbisik, untung Juna parkir lumayan jauh dari kumpulan warga, membuat kegiatannya kali ini tidak akan menjadi pusat perhatian. Saat ini, Juna berdiri tepat di depan Abian, jika dengan posisi yang seperti sekarang ini wajah nya hampir sejajar dengan si kecil, tapi masih tetap tinggian dirinya.

Abian melengkungkan bibirnya ke bawah, dahinya juga ikut mengerut, memperlihatkan tampang memelas yang nyata, "Aaaa ngga mau, mau pulang." rengek Abian, memegang satu tangan Juna, menggoyangkannya ke kanan dan ke kiri, saat mengetahui Juna hendak menurunkannya dari motor.

Juna ingin tertawa gemas, tapi ia urungkan, saat mengetahui Abian dengan nyata menunjukkan keresahan, benar-benar tidak betah berada di sana, kasian sebenarnya, tapi dirinya terlanjur singgah, tidak enak juga dengan warga yang terus meneriakinya untuk mampir.

Juna melirik sedikit keramaian yang tidak jauh di sana, setelahnya kembali fokus untuk menenangkan suaminya.

Satu tangan yang tidak di pegang oleh jemari mungil, Juna angkat, mengusap bulir keringat pada dahi Abian, rambut pria itu juga terlihat sedikit basah akibat keringat, sekarang cuaca memang lagi terik, memasuki waktu tengah hari.

Abian tetap mememlas serta merengek pada pria di depannya, tidak peduli apapun, yang ada dipikiran sekarang hanya tentang bagaimana caranya agar ia tidak ikut bergabung dengan keramaian yang tidak jauh dari mereka.

Sipit Abian beradu dengan tatapan teduh milik Juna. Dua tangan masih terjalin di bawah sana, Juna usap perlahan punggung tangan itu, sambil terus menatap tepat pada netra Abian.

"Mau pulang," cicit yang lebih muda, sekilas melirik horor pada perkumpulan manusia, lalu kembali memberikan tatapan melas nya pada Juna.

Juna menyerah, "Yakin mau pulang? Beneran ngga mau singgah, setidaknya untuk istirahat, kamu sampai keringetan gini." ujar Juna sedikit berbisik, kembali ia bawa satu tangannya untuk menyingkirkan bulir keringat yang membasahi dahi Abian.

Abian mengangguk, "Iya, gue mau pulang." jawabnya, menegaskan pilihan untuk pergi dari tempat itu.

"Yaudah, tunggu di sini sebentar ya, saya mau kesana dulu, pamit pulang sama mereka." ujar Juna, kembali ia pasangkan helm kebesaran pada kepala Abian, lalu berjalan mendekati sekumpulan warga desa, terlihat sedang mengadakan acara minum es kelapa bersama, di sana sudah banyak kelapa, telah di olah menjadi minuman dengan warna yang menggugah selera, tapi untuk kali ini, Juna harus melewatkan acara tersebut,  dengan tidak enak hati Juna menyampaikan jika harus segera pulang, sebagai gantinya ia diberikan dua buah kelapa muda untuk dibawa pulang.

Saat berbalik, dapat Juna lihat Abian mengganti posisi duduknya, terlihat sangat bersemangat untuk bersiap-siap pulang, karena hal itu Juna tersenyum.

"Sudah siap?" Sesampainya, Juna bertanya.

Abian mengangguk, tidak lupa memegang helmnya, dan lagi-lagi Juna tertawa.

Bibir Abian tipiskan, mata ia sipitkan, berharap dengan itu Juna sadar bahwa dirinya sedang marah, "Cepetan!"

"Iya iya, kita pulang."

***

Tubuh Abian sedikit pegal setelah berkeliling pagi tadi, jadi rencananya akan bermalas-malasan hingga matahari kembali di esok hari.

Tapi, rencana yang telah tersusun itu harus ia kubur dalam-dalam, nyatanya saat ini Abian duduk mengenaskan di depan kopernya yang super berantakan. Jangan tanyakan siapa yang mengusulkan, sudah pasti Juna Prasetyo, suaminya sendiri.

"Besok aja gue rapihin, gue lagi capek banget ini."

Entah itu keluhan keberapa, yang pasti kalimat penuh keluhan barusan bukanlah kali pertama.

Juna yang sedang merapikan lemari, melirik Abian, "Rapihin sekarang aja Bian, biar kamu juga cepat istirahatnya, kalau sudah selesai, yang enak juga kan kamu. Nih sudah saya kasih ruang di sebelah baju saya." ujarnya, tugas Juna selesai, jadi dirinya bisa kembali duduk di kasur, melihat Abian merapikan baju-baju milik pria itu sendiri.

Abian kesal duluan, melihat tumpukan baju-bajunya, sebanyak ini dan belum ada satupun yang ia susun di dalam lemari.

"Woi! Bantuin kek."

Juna yang memang memperhatikan pergerakan Abian bersuara, "Saya punya nama Bian, bukan woi." jelasnya.

Abian berdecak malas, "Juna, bantuin sini."

"Ingat, saya lebih tua daripada kamu."

"Mas, bantuin."

Juna maupun Abian sama-sama terdiam. Juna yang kaget, sedangkan Abian yang juga baru sadar akan mulut konyolnya. Bisa-bisanya ia mengatakan hal itu, malah dengan lancarnya keluar tanpa beban. Tanpa mengetahui bahwa betapa besarnya efek dari satu kata itu.

Abian masih merutuki mulutnya, tanpa bersuara, ia menyusun baju miliknya sendiri pada ruang yang telah Juna siapkan. Matanya tidak berani melirik ke arah kasur, di mana Juna sedang duduk saat ini, hanya fokus dengan pakaian, lelah yang tadi datang seakan lenyap bersamaan dengan suasana canggung yang dengan cepat memenuhi ruangan.

Sedangkan Juna masih duduk terdiam, tidak mempersiapkan diri untuk ini, ada perasaan menggelitik yang membuat tubuhnya kaku untuk digerakkan, dirinya juga bahkan tidak berani melirik ke arah Abian, menunggu perasaan menggelitik itu mereda.

Akibat satu kata yang terlontar tanpa sengaja membuat malam keduanya berakhir dengan kecanggungan.











ʘ‿ʘ

𝙎𝙚𝙢𝙥𝙪𝙧𝙣𝙖 [𝙝𝙮𝙪𝙘𝙠𝙧𝙚𝙣] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang