empat belas.

7.6K 771 38
                                    

Pernikahan yang baru ingin memasuki bulan kedua, masih terhitung sebagai pernikahan muda, usia itu masih terlalu baru, biasa pada masanya di penuhi dengan kisah merah jambu yang bersemu-semu, membuat malu.

Awalnya sih, dua insan yang telah terikat itu tidak terlalu merasakan hal-hal semacam efek menyenangkan pada awal pernikahan, hidup mereka hanya menerima alur, tidak ikut andil dalam menikmati indahnya hubungan.

Hingga semuanya berubah, benar-benar berubah akibat satu kejadian pada malam itu. Kejadian yang memang sudah sepantasnya normal terjadi, tapi apa daya mereka masih lah dua hati yang masih mencoba abai, jadi menganggap itu adalah kejadian besar yang datang dalam hidup, seperti sebuah kunci yang mempengaruhi pengaturan hidup kedepannya.

Seperti biasa Juna bangun lebih awal, hari ini hari Minggu, yang katanya sih Abian ingin dibangunkan untuk pergi ke pasar, tapi sebelum itu Juna pergi untuk mencuci muka dan bebersih singkat dulu, baru setelahnya kembali membangunkan suami kecilnya di atas kasur empuk mereka.

Juna menyibak selimut yang menutupi tubuh Abian, membiarkan dingin nya suhu menyapa kulit. Senyum teduh tergambar pada wajah Juna, mungkin melihat wajah lelap suaminya sudah menjadi kegiatan favorit, terlalu damai, terlalu indah, sampai rasanya Juna ingin memberikan apa saja untuk Abian, pria yang tidak pernah ia pikirkan untuk menjalin sebuah hubungan dengannya.

Puas memandang wajah lelap sambil menggegam tangan suami kecilnya, Juna akhirnya membangunkan, "Bi, bangun yuk. Katanya semalam minta dibangunin kan?" Ucap Juna lembut, sedangkan suara yang seperti itu malah makin membuat Abian nyaman dalam tidur.

Satu tangan yang tidak bekerja Juna bawa untuk menyingkirkan semua anak rambut yang jatuh menutupi dahi, sepertinya, karena hal kecil itu Abian terusik, namun tidak langsung terbangun, melainkan mengubah posisi tidur, menghadap Juna.

Abian sebenarnya sedikit sadar jika ada yang menggenggam hangat tangannya, sadar juga ada yang menghalau anak rambutnya, dan lagi-lagi sadar siapa pelaku dari semua itu, tapi entah kenapa Abian enggan untuk terbangun, melainkan lebih memilih untuk menikmati afeksi yang suaminya berikan lebih lama lagi.

Juna tersenyum saat menyadari pergerakan jari Abian, yang ikut menyelipkan jari pada jari-jari miliknya, ikut menyamankan tautan tangan mereka di pagi itu, rupanya suami kecilnya telah terbangun.

Juna memainkan rambut Abian, mengusapkannya, atau sesekali menyelipkannya ke telinga si kecil, "Ngga jadi ke pasar ya sayang?" tanya nya.

"Mauu, bentar lagi aja." Jawab Abian dengan suara khas bangun tidurnya, matanya masih terpejam, berat untuk ia buka.

Sebenarnya Abian masih sedikit tergelitik jika Juna memanggilnya dengan manis, tapi sekarang ia memilih untuk menerima saja, karena memang ada bagian dari dirinya yang menyukai hal itu, tidak lagi ia protes akan panggilan manis dari Juna seperti dulu, walau sebenarnya ia sedikit tersiksa karena harus terus di serang hal yang menggelitik dalam perutnya.

"Kalau gitu mas siap-siap dulu ya,"

Baru saja Juna ingin beranjak, Abian mengeratkan genggamannya, "Mau ke mana, ngapain siap-siap," ujarnya, sipit Abian kini berhasil terbuka menatap Juna yang kembali duduk.

"Loh, kan mau ke pasar sayang," jawab Juna merasa sedikit bingung juga.

Abian sempat diam beberapa saat, baru akhirnya sadar, aduh kasian sekali Juna jika berpikir mau ke pasar bersama, "Gue mau pergi bareng Nanang sama Danu, udah janji."

Juna menganggukkan kepalanya mengerti, "Ohh yaudah kalau gitu, kamu yang harus siap-siap berarti. Tapi kalian ngga bonceng tiga lagi kan Bi? Bahaya sayang."

Abian meringis, dirinya tiba-tiba malu, entah mengapa ia merasa alay menyadari bahwa memang mereka se sering itu bonceng tiga nya, salah Nanang sih yang katanya malas mengendarai motor, padahal Danu juga memiliki motor sendiri.

𝙎𝙚𝙢𝙥𝙪𝙧𝙣𝙖 [𝙝𝙮𝙪𝙘𝙠𝙧𝙚𝙣] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang