sebelas.

7.2K 779 40
                                    


Semenjak kejadian Abian hilang di pasar Minggu lalu, Juna langsung bertukar nomor ponsel dengan si kecil, dan semenjak kejadian itu juga, hubungan keduanya mulai dekat, lebih tepatnya hanya lebih baik, karena belum ada kehidupan romantisme yang keduanya lakukan secara mau dan sadar.

Untuk Danu dan Nanang. Kedua pria itu sepertinya resmi menjadi teman pertama Abian di desa ini, pertemuan yang terbilang aneh, tapi lebih aneh lagi bagi Abian yang mau saja berteman dengan dua manusia itu, terlebih lagi makhluk sejenis Nanang.

Seperti yang di bilang, kehidupan Abian setidaknya tidak akan terlalu membosankan setelah bertemu dengan teman barunya mungkin, kegiatannya bukan lagi hanya menghabiskan waktu di dalam rumah sambil menunggu Juna pulang kerja.

Kini sudah ada dua manusia berbeda kepribadian yang rajin ke rumahnya di beberapa hari terakhir, atau kalau tidak, Abian yang akan ke rumah mereka, hanya ke rumah Nanang sih, soalnya Abian belum pernah pergi ke rumah Danu, dan tentu saja Abian pergi dengan selalu di jemput Danu, padahal rumah mereka sangat berlawanan arah, tapi mau tidak mau mereka harus menjemput Abian jika ingin pria itu  hadir.

Seperti sekarang ini, Danu beserta Nanang telah berada di ruang tamu Abian. Mereka bertiga duduk ngemper di atas lantai ditemani oleh aneka cemilan yang memang sengaja Juna siapkan untuk Abian.

"Bosan banget uyy, mending tadi kita bertiga main di pabrik," ujar Nanang mengambil atensi Abian juga Danu.

"Lebih seru pergi kebun sawit, adem. Kita bisa sekalian jalan-jalan." Sanggah Danu.

Abian juga sebenarnya baru tau jika Nanang Danu itu bisa di bilang orang kaya di desa ini, keluarga Nanang punya pabrik beras, sedangkan Danu punya lahan sawit berpuluh puluh kilometer.

"Gue mager banget mau jalan-jalan, enakan gini, ngga panas juga ngga capek."

Nanang menatap Abian serius, "Mager teh bahasa apa lagi?" tanya nya.

"Mager atuh Nang, malas gerak." Bukan Abian yang menjawab, melainkan Danu. Nanang mengangguk.

Melihat itu Abian menggeleng, "Ini rumah Juna jadul banget, ngga ada televisi untuk nonton, ngga ada AC juga," celetuk Abian mengubah topik pembicaraan, menyandarkan punggungnya pada sofa di belakang.

"Ngga sopan banget kamu Bian, panggil yang lebih tua itu ngga boleh asal nama, apalagi dia itu mas mu."

Sipit Abian makin menyipit sinis melihat Danu, sedangkan Danu hanya balas tersenyum lembut saja sampai matanya hilang, memang sih Danu itu tipe yang lemah lembut, sedangkan Nanang tipe yang bar bar seperti dirinya.

"Biarin aja kenapa sih Nu. Ngga papa Bian, kamu kurang ajar aja sama pak Juna, mewakili aku," tambah Nanang mendukung Abian dengan semangat.

"Lo kayaknya punya dendam pribadi sama Juna ya Nang?" tanya Abian penasaran, soalnya Nanang memang agak tidak ramah jika menyangkut Juna, berbeda sekali dengan Danu yang sangat hormat dan segan.

"Biasalah Bian, seperti masalah anak anak umur lima tahun,"

Nanang melotot menatap Danu, kesal tentu saja, "Wah, ini tuh bukan masalah anak-anak ya Danu, pacar aku loh dijodoh-jodohin sama pak Juna, mana semua warga dukung lagi," jelasnya mengundang tawa Danu, mengingat masalah teman nya yang satu ini selalu berhasil membuatnya tertawa karena lucu.

Sedangkan Abian juga merasa sedikit lucu, apalagi melihat ekspresi Nanang seperti sangat depresi berat.

"Yaudah, pergi lamar aja lah si Denti secepatnya, takut nanti keduluan sama pak Juna," ujar Danu memberi saran.

"Bapaknya sepupu mu itu galak Nu, apalagi Denti masih di kota selesaikan kuliahnya. Harusnya pak Juna itu nikah aja ngga sih, biar ngga dijodoh-jodohin sama pacar ku, mana Pakades suka sekali lagi sama pak Juna." Kesal Nanang menyomoti cemilan di atas meja dengan rakus.

𝙎𝙚𝙢𝙥𝙪𝙧𝙣𝙖 [𝙝𝙮𝙪𝙘𝙠𝙧𝙚𝙣] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang