Suasana tiga sekawan saat ini terasa berbeda dari hari-hari sebelumnya, tidak seheboh dan sesantai biasanya, penyebabnya yaitu pada orang yang bahkan paling ribut mendadak diam sambil terus memainkan ponsel, mengetik sesuatu di sana.
"Si Nanang kenapa dah Nu," bisik Abian, sembari matanya melirik seseorang yang dimaksud.
Danu mengikuti arah pandang Abian, "Itu, pacarnya udah pulang dari pendidikan tapi si Nanang ngga dikabarin, malah Nanang tau dari hebohnya tetangga," jawab Danu ikut berbisik.
Padahal percuma sebenarnya, orang yang mereka ceritakan juga sepertinya tidak memperdulikan, hanya sibuk dengan dunianya sendiri.
"Bian, kemarin sore yang jemput Denti beneran pak Juna?"
Abian tiba-tiba tergagap, tiba-tiba Nanang bertanya dengan wajah seriusnya, "Katanya sih iya Nang, tapi lo tenang aja, si Juna juga disuruh kok sama bapaknya Denti," jawab nya meyakinkan.
"Ck. Bukan masalah disuruh atau ngga, masalahnya dia tuh ngga ngabarin. Lihat aja, pasti nanti dia telpon, karena yang penting-penting sudah dia kabari duluan, terakhir baru aku."
Tidak pernah Abian lihat Nanang seserius ini, ia sampai takut sendiri. Seperti yang dibilang tadi, tidak lama kemudian ponsel Nanang berdering, dan Abian terkejut saat melihat Nanang menjawab panggilan itu dengan ekspresi jutek dan kesal yang benar-benar bukan Nanang sekali.
"Kamu lagi di mana?" Ujar Nanang begitu menerima panggilan, tanpa menunggu lawan bicara menyelesaikan satu kata.
"Aku bilang kamu di mana, jawab aja apa susahnya. Di mana? Aku jemput." Nanang kembali bersuara setelah beberapa detik hening, mungkin lawan bicaranya di seberang sana sedang menjawab.
Setelah Nanang memastikan posisi pacarnya yang baru saja menelpon, ia buru-buru mengemasi barang nya, "Bian maaf ya, kamu nanti pulang nya sama Danu aja."
"Yaelah santai aja kali Nang, ga papa lo pergi aja sana."
Tanpa basa-basi lagi Nanang segera pergi dari sana, meninggalkan mereka berdua yang sedang menatap kepergiannya dalam diam. Kini tersisa Danu dan Abian di bawah pohon rindang, yang berada tepat di sebelah lapangan sederhana milik desa itu.
"Gue takut sama Nanang anjir, Nu. Itu mereka ngga papa kan ya."
Danu mengikuti arah pandangan Abian, melihat punggung Nanang yang perlahan menjauh, ia terkekeh, "Jangan khawatir banget kali Bian, mereka udah biasa kayak gitu, si Nanang juga mana berani apa-apain Denti walau semarah apapun dia, udah sayang banget, nanti juga baikan lagi," jelas nya kembali memakan pisang goreng yang mereka beli tadi.
Abian akhirnya membawa kembali pandangannya pada Danu di sebelah, "Tapi masa Juna ngga tau sama sekali kalau Denti pacaran sama si Nanang, mereka memang ngga publik ya?"
"Iya, yang tau cuman kita berdua aja. Mereka memang pacaran diam-diam, ngga tau kenapa. Oh iya, kalau kamu punya pacar Bian? Atau diam-diam juga ngikut si Nanang." Ujar Danu diakhiri dengan suara tawanya.
Yang ditanya tiba-tiba menggaruk tengkuknya sudah pasti tidak gatal, "Iya, gue juga diam-diam sih," jawab nya juga ikut tertawa, tapi malah terdengar canggung.
Mereka kembali pada kegiatan, seperti menceritakan tentang banyak hal, contohnya saja teman Abian yang bernama Yahesa dan kehidupan Abian dulu waktu masih tinggal bersama orang tuanya.
Hingga beberapa saat kemudian ponsel Abian berdering, wajahnya refleks mengembangkan senyum melihat nama yang tertera pada log panggilan.
"Halo sayang?" Sapa Juna dari seberang sana, Abian melihat Danu yang masih juga sibuk dengan ponselnya, tapi tidak akan didengar juga sih.
"Lagi main sama Danu," jawab nya agar Juna tau bahwa dirinya sedang tidak berada dalam posisi bisa bersikap seperti biasanya.
"Tapi suara mas ngga kedengaran juga kan ini."
"Iya, kenapa nelpon?" Tanya Abian merasa aneh, pasalnya ia sudah tidak terbiasa berbicara tanpa memanggil suaminya dengan panggilan biasa, seperti sedang di rumah.
"Sayangnya mas lagi di mana ini? Mau mas jemput ngga sayang, mas kebetulan lagi di luar, tadi habis dari warung."
Abian dengan antusias mengangguk walau lawan bicara di seberang sana tidak dapat melihat, "Boleh deh, bentar tanya Danu dulu ini di mana."
Setelahnya Abian menjauhkan ponsel, memanggil Danu yang sedang sibuk berkutat dengan ponsel, "Eh Nu, ini di mana posisinya?"
Danu mengerutkan keningnya, "Kenapa tiba-tiba tanya deh?"
"Gue mau dijemput aja katanya," jawab Abian mengundang anggukan kecil dari Danu.
"Kalau yang jemput pak Juna, bilang aja di lapangan besar, pasti udah tau." Ujar Danu, ia melihat Abian kembali berbicara dengan seseorang yang tersambung pada ponsel pintar milik pria itu sendiri.
Setelah memberitahu alamat, sambungan telepon pun terputus, "Padahal aku bisa hantar pulang atuh Bian kalau memang mau pulang sekarang, kasian pak Juna kalau mau jemput lagi." Danu kembali membuka suara.
"Kebetulan Juna lagi di luar, jadi daripada lo bolak-balik nganterin gue, mending gue suruh sekalian jemput aja."
Danu hanya mengangguk lagi, akhirnya ia menemani Abian untuk menunggu jemputan, sampai Juna benar-benar datang hingga menerbitkan senyuman pria di sebelahnya. Danu pandangi semuanya, ia menghela napas sedikit kasar saat melihat motor milik Juna perlahan menjauh.
***
Tidak langsung pulang, mereka menyempatkan untuk berkeliling dulu, mumpung waktu sore hari masih ada. Sengaja Juna melewati jalur yang lebih jauh, selain ingin menikmati waktu berdua, jalur itu juga sepi disaat hari sudah mulai sore seperti ini, membebaskan mereka dalam berduaan.
Juna melirik pada spion motor, melihat Abian yang sedang menempelkan pipi pada pundaknya, ia tersenyum, "Tadi cuman ada Danu, tumben Nanang ngga ada." Ujar Juna membuka suara.
"Itu loh mas, Nanang lagi pergi, ketemuan sama Denti lah istilahnya, tapi tadi Nanang kayak marah gitu, aku takut sendiri," jawab Abian menceritakan kejadian tadi.
Yang lebih tua mengangguk, "Oh iya, kamu kapan pergi periksa deh sayang, belum sama sekali kan ya?" tanya nya lagi.
Abian melirik spion motor, beradu tatap sebentar baru setelahnya menjawab, "Aku baru mau tanya mas juga sebenarnya, tapi tunggu mas libur deh baru kita pergi."
"Loh kenapa harus tunggu mas libur dulu? Kalau memang harus secepatnya mas bakal ambil jatah libur aja sayang."
"Ngga harus secepatnya juga kok ini, eh tapi mas libur nya Minggu kan ya? Ga bisa dong kalau gitu." Abian kembali berpikir, ternyata hal ini memang harus dipikirkan.
Juna tersenyum, "Makanya itu sayang, kapan mau perginya nanti mas ambil libur dulu."
"Nanti di rumah aja mas mikirnya mau kapan."
Mendengar itu Juna terkekeh kecil, akhirnya lanjut mengendarai motor pada jalanan yang di sebelahnya ada hamparan sawah membentang luas.
Di saat-saat seperti ini, di bawah langit yang mulai jingga, keduanya menaiki satu motor yang sama, pelukan Abian berikan dan usapan lembut pada tangan Juna berikan. Ini terlalu indah, keduanya sudah merasa sangat lengkap dan cukup, berharap, semoga bisa terus menyaksikan indahnya suasana senja dengan dengan hubungan mereka yang juga tetap indah.
berantakan banget sekarang jadwal up nya, sumpah maaf banget yaa, ini aku lagi usahain biar normal lagi up nya:))
KAMU SEDANG MEMBACA
𝙎𝙚𝙢𝙥𝙪𝙧𝙣𝙖 [𝙝𝙮𝙪𝙘𝙠𝙧𝙚𝙣] ✓
Fanficberisikan lika-liku sebuah pernikahan dari dua pribadi yang berbeda. -fanfic homo -jangan salpak -jaga² mpreg