Kedatangan Anin maupun Abian disambut oleh kedua orang tua mereka, lengkap dengan sang kakek yang juga datang pada hari itu setelah Anin memberikan info pada orang rumah jika ia akan pulang bersama Abian.
Pria itu turun dari mobil dibantu oleh Anin, sebenarnya bukan karena Abian masih sakit, melainkan lemas karena masih tidak percaya dengan kenyataan di depan mata, ada bagian besar pada dirinya yang tetap menutup serta menolak dengan tegas kenyataan itu.
Keduanya mulai memasuki pintu besar sebagai pintu utama, menolak para pekerja rumah yang ingin membantu dalam memapah Abian untuk berjalan.
Hingga tiba pada ruang keluarga, di sana sudah ada tiga orang yang memang terlihat seperti sedang menunggu kedatangan keduanya. Abian memandang satu persatu wajah yang terpusat pada nya, tangis nya kembali pecah setelah melihat sang kakek tersenyum lembut, seolah menenangkan diri yang kembali meringis tidak berdaya.
Abian berjalan menghampiri sang kakek, lalu menangis pada pelukan pria yang tidak lagi muda itu, menumpahkan kembali sedih dalam diri. Sedangkan Anin ikut duduk di sebelah Tiara, ikut memperhatikan saudaranya menangis pada pelukan sang kakek.
"Abian hamil ma, pa." Anin membuka suara setelah beberapa saat lalu ruang keluarga hanya terdengar tangisan Abian.
Tidak ada yang terkejut dengan fakta itu, Anin melihat papa mama serta kakeknya tidak mengeluarkan ekspresi terkejut sama sekali, seolah itu bukanlah hal baru bagi mereka bertiga.
Abian juga bingung, ada apa dengan respon keluarnya? Bukankah jika orang normal pada umumnya akan terkejut mendengar kalimat konyol barusan, karena sungguh ini sangat aneh dan tidak masuk di akal sehat manusia.
"Kami tau." Tiara membuka suara, dua anak itu memandang dengan ekspresi bingung.
Sang ibu memandang dua anaknya satu persatu terlebih Abian, ia tersenyum tapi air mata berhasil lolos, ia usap bening pada pipinya, "Kami tau kalau Abian akan hamil," jawabnya.
Arya merangkul istrinya, suasana pilu dalam ruangan sangat terasa sangat kental mencekik lima anggota keluarga.
Abian tegakkan tubuhnya, sipitnya masih senantiasa menciptakan aliran anak sungai, "Mama bicara apa sih, maksud dari mama yang tau aku bakalan hamil itu apa, terus kenapa kalian kelihatan santai aja. Ini ada apa sih, apa yang udah aku lewatin, apa yang aku ngga tau sebenarnya," ujarnya frustasi.
"Kamu memang bisa hamil sayang."
Anin mengerutkan keningnya bingung, Abian apalagi, kepalanya sudah kacau dipenuhi dengan hal-hal yang membuatnya hampir gila saat itu juga.
Tiara kembali menatap lekat anak laki-laki nya, "Kamu memang bisa hamil, mirip sama kakek kamu," lanjut Tiara, sedangkan Abian beralih memandang pria yang sudah dipenuhi garis usia di sebelahnya.
"Bukan kakek sayang, dia sudah lama pergi tepat setelah lahirin mama kamu." Suara pria yang tidak lagi muda terdengar, makin menambah sakit pada kepala.
Abian berusaha menerima segala fakta konyol ini, namun bagaimanapun sangat sulit dicerna oleh kepalanya yang sudah penuh. Bukankah dia jelas memiliki seorang nenek yang sering ia kunjungi di hari-hari tertentu.
"Kamu menuruni kakek mu Bian. Nenek yang sering kita kunjungi bukan nenek kamu, melainkan cuman sahabat lama dari kakek mu sekarang ini," ujar Tiara memberikan jeda sebelum lanjut menjelaskan, "Ini memang sudah semacam keturunan, anak pertama laki-laki, dan kamu anak laki-laki pertama mama. Maka dari itu kemarin mama papa nikahkan kamu sama Juna, karena mama tau dia anak yang baik baik, bisa menerima kamu tanpa repot membenci perbedaan kamu. Jadi bukan berarti kami mau mengusir kamu ke pedesaan seperti itu sayang." Jelas Tiara panjang lebar, lalu menghapus paksa air mata sebelum mengakhiri kalimatnya.
Sang kakek mengelus lembut rambut Abian, "Jangan benci sama kakek kamu yang sudah ada di atas karena buat kamu jadi beda ya, jangan juga benci sama orang tua kamu karena sudah ambil keputusan sebesar itu, asal kamu tau mereka setiap hari dipenuhi kekhawatiran akan masa depan kamu, sampai mereka menemukan suami kamu yang sekarang, mereka baru bisa tidur nyenyak," jelasnya.
Tangisan pria dewasa makin tumpah, tidak ada lagi kata-kata yang bisa ia keluarkan sekarang, Abian membutuhkan waktu untuk menyusun dan menerima semua hal gila ini, terlalu tiba-tiba dan terlalu mengejutkan untuk dirinya yang tidak tau apa-apa.
Anin menyaksikan semuanya, menyaksikan sebuah fakta besar yang membuatnya bungkam. Akhirnya ia tau, tau mengapa Abian sebegitu di sayangnya, bukan karena pilih kasih, tapi ternyata memang ada hal menyakitkan yang akan Abian tanggung.
"Kamu tinggal dulu di sini, nanti kalau udah mulai tenang baru boleh pulang."
Sang kepala rumah tangga bersuara, semuanya membenarkan, Abian hanya mendengarkan, sepertinya memang harus seperti itu, pikirannya sekarang belum stabil, masih berusaha menerima hal yang terus masuk memaksa keyakinan nya untuk menerima dan percaya.
***
Sedangkan di sisi lain, Juna baru sampai pada rumah, ia parkiran motornya dengan buru-buru, langkahnya tergesa-gesa, setelah memasuki kediamannya mata Juna berpendar mencari seseorang di setiap sudut rumah.
Juna sibuk mengurus acara kerja bakti tadi, jadi tidak sempat menemui Abian, Juna khawatir apalagi setelah mendengar ucapan selamat secara tiba-tiba di pagi tadi, ia khawatir bagimana keadaan suaminya, sungguh perasaan Juna sangat tidak enak sedari tadi.
Setelah selesai pun Juna langsung menghampiri Danu juga Nanang untuk menanyakan keberadaan Abian karena tidak melihat suaminya bersama mereka, panik makin Juna rasakan setelah keduanya mengatakan Abian ingin dihantarkan pulang lebih dulu karena sedang merasa tidak enak badan.
Hingga Juna telah berada di rumah nya, mencari-cari keberadaan Abian, namun tidak berhasil ia temukan suami kecilnya tersebut. Jantung Juna berdetak ribut, sampai mulai menyakiti, sungguh ia sekarang sangat khawatir dan panik disatu waktu bersamaan, hal ini mengingatkannya dengan kejadian di pasar lalu, bedanya sekarang kepanikan yang Juna rasakan lebih besar.
Sambil terus mencari disetiap ruang, Juna menelpon nomor Abian, dan langkahnya terhenti mendapati ponsel Abian sedang bergeletak bebas di atas kasur mereka. Masih dengan langkahnya yang tergesa-gesa, Juna keluar dari rumah, menghampiri rumah tetangganya di sebelah.
"Loh kenapa wajah pak Juna panik gitu? Ada apa pak?" Tanya ibu-ibu rumah tangga setelah membuka pintu, mendapati Juna yang berdiri di sana.
"Mohon maaf sebelumnya, ibu ada lihat Abian ngga? Tadi dia pulang duluan, tapi ngga ada di rumah," tanya nya, melihat ibu rumah tangga di depan sedang memutar ingatan kembali.
"Tadi sih waktu saya lagi nyapu saya lihat si Anin lagi gendong Abian masuk ke dalam mobil, Abian saya lihat tadi ngga sadar diri gitu."
Jawaban itu berhasil membuat Juna makin khawatir, dirinya mulai lemas, sungguh sangat ingin menjangkau dan merengkuh suaminya saat ini.
"Oh gitu ya, terima kasih ya bu."
Juna pamit, kakinya kembali bergegas menuju rumah, tujuannya sekarang yaitu akan mengunjungi semua tempat yang ada di pikirannya, intinya tidak ada petunjuk bagi Juna dalam mencari keberadaan suami kecilnya.
Di tengah matahari yang mulai terik, Juna mengendarai motornya menuju puskesmas, tempat pertama yang akan ia kunjungi.
"Ya Tuhan. Kamu ke mana sih sayang, jangan bikin mas khawatir." Batin Juna ditengah panik serta khawatir yang sedang menyelimuti nya.
seperti biasa mohon maaf atas segala typo dan lainnya:)
KAMU SEDANG MEMBACA
𝙎𝙚𝙢𝙥𝙪𝙧𝙣𝙖 [𝙝𝙮𝙪𝙘𝙠𝙧𝙚𝙣] ✓
Fanfictionberisikan lika-liku sebuah pernikahan dari dua pribadi yang berbeda. -fanfic homo -jangan salpak -jaga² mpreg