dua puluh enam.

7.5K 727 38
                                    

Berhari-hari Abian meyakinkan diri bahwa tidak apa-apa ditinggal Juna seharian, tapi hari ini, hari di mana Juna benar-benar pamit untuk melaksanakan perjalanan dinas nya, Abian tidak sanggup ternyata, pikirannya memikirkan bagaimana nasibnya seharian jika tidak ada suaminya di rumah, pasti tidak akan mudah.

"Katanya kemarin-kemarin ngga papa, kok sekarang nangis gini."

Saat ini Juna dengan setia menghapus jejak air mata pada pipi suaminya yang mulai berisi, sebentar lagi ia akan berangkat, semua bawaan pun telah siap, tapi Abian masih terus mengeluarkan air mata.

Abian makin mengeratkan peluk nya, membiarkan sergam milik Juna basah akan air mata, "Bisa jangan nginap ngga? Lama banget itu seharian," ujar nya terdengar merengek.

Juna bingkai wajah yang lebih muda, "Perjalanan nya lumayan jauh sayang, jadi harus nginap. Kamu kenapa ngga bilang dari awal kalau ngga bisa mas tinggal? Kan mas masih bisa ngusulin biar digantikan aja." Juna usap-usap pipi si manis menggunakan ibu jarinya dengan lembut.

Bibir Abian melengkung kebawah, kini ia tahan air matanya agar tidak turun lagi, "Kirain tadinya aku ngga papa, jadi iyain aja, ternyata ga bisa ini mas. Aku bisa ikut aja ngga? Ga mau sendirian."

Yang lebih tua mengembangkan senyum, "Hayo kalau gini siapa yang salah? Mas mau berangkat baru nangis gini, kepala kecilnya pasti mikir ga mau ngerepotin suaminya kan, padahal mas ngga papa juga." Setelahnya Juna kecup kelopak mata si kecil yang masih basah.

"Bukan aku sebenarnya mas yang ngga mau jauh, orang mau nya anak mu," ujar Abian sedikit menunduk melihat perutnya.

Kekehan dari Juna terdengar, "Kok salahin adek, bilang aja papi nya juga ngga mau jauh dari mas," balasnya, ia bawa satu tangan untuk mengelus perut Abian, merasakan dengan jelas kehidupan di dalam sana.

"Mas panggil Anin aja kalau gitu, temenin kamu. Mau?" Juna pandangi suaminya dengan sayang.

Gelengan Abian berikan, "Ngga usah deh, biar sendiri aja," balas nya.

"Beneran ngga usah? Jemputan mas ngga lama sampai loh sayang."

Yang ditanya mengangguk lesu, "Iya ga usah," ucap nya lalu masuk dalam pelukan yang lebih tua.

Juna balas dengan dekap yang lebih hangat, ia tau suami kecilnya sekarang sedang menahan untuk tidak menangis lagi, tapi Juna tidak bisa menunda juga, pasalnya semua sudah siap.

"Yaudah sebelum mas berangkat, mas kasih peluk sama cium yang banyak deh."

Mendengar itu Abian kembali mendongak, bibirnya kembali cemberut, Juna kembali panik, padahal tadi sudah lumayan reda.

"Mas jangan bilang gitu... Aku kepikiran kalau mas beneran mau pergi, mana kayak mau pergi lama lagi, memangnya mas ngga mau pulang lagi untuk kasih aku peluk sama cium yang banyak?"

Sempat Juna diam sebelum akhirnya tawa nya pecah, merasa gemas, tanpa pikir lagi Juna bubuhi semua kecupan pada wajah cemberut suaminya, ia beri peluk erat juga, lalu kemudian ia bingkai wajah yang masih tetap murung lucu, ia terkekeh, "Aduh maksud mas bukan gitu loh sayang, pokoknya ini bukan peluk sama cium perpisahan ya cantiknya mas sayangnya mas, besok, besoknya lagi, besok besok nya lagi mas juga bakal kasih peluk sama cium yang banyak, jadi jangan sedih gitu." Kembali Juna bujuk suaminya yang sangat sensitif pagi ini, membuatnya tidak semangat untuk berangkat karena tingkah kucu kasih hatinya.

Abian hanya mendengarkan setiap kata yang Juna katakan, sebuah kalimat yang berhasil mengobati mood jeleknya pagi ini. Akhirnya selama menunggu mobil yang menjemput Juna, mereka habiskan untuk melepas rindu yang sudah muncul, hingga Juna benar-benar berangkat meninggalkan Abian yang kembali merasa sedih berlebihan, pengaruh hormon memang semerepotkan ini.

𝙎𝙚𝙢𝙥𝙪𝙧𝙣𝙖 [𝙝𝙮𝙪𝙘𝙠𝙧𝙚𝙣] ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang