Mata sipit memancarkan kilat amarah, di dalam ruang tamu yang memiliki AC bahkan tetap terasa panas bagi pemuda yang masih menginjak usia dua puluh tahun awal.
"Gila aja aku nikah sama laki-laki. Aku ngga mau Ma, lagian aku masih waras pilih perempuan untuk aku nikahi nanti. Mama sama Papa mikirin apa sih pas nyuruh aku nikah sama laki-laki." Suara amarah itu memenuhi ruang, emosi yang meledak-ledak menjadi tontonan nyata bagi seorang ayah dan ibu.
Arya memandangi anak pertamanya, "Duduk dulu Bian. Ini ngga akan bisa kamu cerna dalam keadaan emosi begitu," ujarnya mendapat penolakan.
Pemuda bernama Abian memegang pelipis, memijat frustasi, walau dirinya mencoba tenang tapi segala hal konyol muncul mengacaukan kepala.
"Aku memang ngga akan bisa paham kali Pa. Kenapa harus aku? Kenapa ngga Anin aja yang kalian suruh nikah, bukannya lebih cocok kalau sama Anin, karena tu orang laki-laki dan ada anak kalian perempuan, kenapa harus aku coba?"
Frustasi tentu saja, Abian tidak dapat memahami jalan pikiran kedua orang tuanya sekarang.
Pria itu mengakui, bahwa memang tidak ada kegiatan bermanfaat semenjak ia lulus di bangku sekolah menengah atas selain menjadi beban keluarga, jalan kesana-kemari, berteman baik dengan dunia malam, bersenang-senang dengan minuman alkohol yang memabukkan.
Tapi bukankah masih tidak masuk akal jika alasan itu yang menjadi pemicu bagi orang tuanya untuk menikahkan dirinya? Terlebih dengan seorang pria juga, sama seperti dirinya.
"Kita cuman menjalankan kewajiban untuk mencarikan orang yang tepat untuk kamu,"
Abian menoleh, tersenyum miris, "Orang yang tepat? Tapi ini laki-laki Ma, bisa ngga sih kalian kasih aku pemahaman di mana letak tepat nya, sedangkan dilihat pake mata telanjang aja semua orang juga tau kalau ini aneh." ujarnya putus asa.
Arya dan Tiara bingung, bingung memberikan pemahaman akan alasan dari pilihan mereka.
Arya menghela napas berat, "Pokoknya mau bagaimanapun pernikahan kamu akan dilakukan, nanti kamu akan paham sendiri alasannya apa."
Suara tawa Abian terdengar, mata sipit itu memandangi orang tuanya satu persatu, "Kalau udah di putuskan kenapa masih ajak aku diskusi. Terlepas dari dia laki-laki dan aku juga laki-laki, kayaknya aku bisa ambil kesimpulan." Ada jeda sebentar sebelum Abian kembali meneruskan kalimat tadi.
"Kata kalian itu orang dari desa kan? Pasti kalian udah buat perjanjian kuno sama orang tua dari laki-laki itu untuk menikahkan anak kalian, dan Papa sama Mama pilih aku karena ngga mau kembaran aku, si anak kesayangan Mama sama Papa tinggal menderita di desa sana. Ahahahaha jujur aja kenapa sih, ngga usah ribet-ribet jelasin ini itu."
Kaki Abian bergerak meninggalkan tempat itu, meninggalkan orang tuanya yang memperhatikan punggung Abian semakin jauh menghilang dari pandangan.
~
Punggung menghantam kasur empuk, helaan napas lelah menyusul setelahnya. Abian menutupi mata dengan salah satu punggung tangan, membiarkan otak yang tidak seberapa itu mencerna segala sesuatu yang walau dipikirkan lagi memang sangat sulit untuk dipahami oleh logika.
Suara pintu dibuka mengganggu kegiatan, punggung tangan kembali Abian angkat, melihat ke arah pintu untuk mencari tau siapa yang telah mengganggu dirinya yang ingin benar-benar beristirahat dengan tenang.
Wajah serupa menjadi pemandangan Abian.
Ternyata itu adalah sosok dirinya yang lain, Anin, sosok kembaran nya. Setelah mengetahui siapa itu, Abian kembali merebahkan tubuh, tidak peduli, seakan Anin bukanlah hal yang penting.
KAMU SEDANG MEMBACA
𝙎𝙚𝙢𝙥𝙪𝙧𝙣𝙖 [𝙝𝙮𝙪𝙘𝙠𝙧𝙚𝙣] ✓
Fanfictionberisikan lika-liku sebuah pernikahan dari dua pribadi yang berbeda. -fanfic homo -jangan salpak -jaga² mpreg